Bongbong Menang dengan Hoax: Keluarga Cendana Akan Meniru?

Ferdinand Marcos Jr alias Bongbong hampir dipastikan menjadi presiden Filipina. Suara untuk Bongbong unggul jauh, hampir dua kali lipat atas pesaing terdekatnya, Leni Robredo. Empat dekade setelah ayahnya dilengserkan dalam revolusi kekuatan rakyat (people power), kemenangan Bongbong akan membawa dinasti Marcos yang kontroversial kembali berkuasa.

Sebenarnya di Filipina, seorang putra mantan presiden terpilih menjadi presiden bukan hal yang pertama kali terjadi. Presiden Gloria Macapagal-Arroyo adalah putra Presiden Diosdado Macapagal. Noynoy atau Presiden Benigno Aquino III adalah putra Presiden Corazon Aquino. Tradisi demokrasi Filipina yang merupakan warisan dari Amerika Serikat yang pernah menjajah negeri tersebut, telah melahirkan banyak dinasti politik sejak dulu kala.

Hanya saja cerita menjadi berbeda saat Bongbong menang kali ini. Karena ayahnya, mantan Presiden Ferdinand Marcos memegang tampuk pemerintahan di negaranya sebagai diktator bertangan besi. Sejarah tentang Marcos ini nyaris serupa kisah tentang Presiden Soeharto, penguasa Orde Baru selama 32 tahun. Bila Marcos digulingkan pada 1986, Soeharto lengser di tahun 1998 juga setelah didahului serangkaian demo mahasiswa dan masyarakat yang menuntut reformasi. Seperti juga Marcos, Soeharto dan kroninya menumpuk kekayaan pribadinya dari duit negara, serta meninggalkan utang luar negeri yang besar. Soeharto juga bertindak represif terhadap lawan politiknya atas nama stabilitas. Membungkam pers dan mahasiswa. Setelah mundur, Soeharto sempat didakwa melakukan korupsi atas penyalahgunaan dana yayasan amal. Ia tak pernah menghadiri persidangan. Hingga meninggalnya, kasus itu tak pernah selesai. Entah karena apa, konon karena pengaruh Soeharto yang masih sangat kuat.

Bagaimana dengan Marcos?

Marcos banyak melakukan pelanggaran HAM berat terutama terhadap lawan politiknya demi mempertahankan kekuasaan. Yang terkenal adalah pembunuhan terhadap Senator Benigno Aquino Jr atau yang kerap dipanggil Ninoy. Aquino ditembak tepat sesaat setelah mendarat di bandara Manila setelah sebelumnya mengasingkan diri di Amerika.

Marcos yang berkuasa selama 21 tahun (1965-1986) menjebloskan tak kurang dari 600 lawan politiknya ke penjara militer, termasuk 246 pastor dan biarawati Katolik. Marcos  memberlakukan Undang-Undang Darurat pada 22 September 1972 yang membuat parlemen dibekukan, politisi oposisi ditahan, dan penyensoran total diterapkan. Marcos kemudian mengendalikan pengadilan secara penuh. Sejak itu Filipina mengalami masa terkelam sepanjang sejarah negeri itu. Amnesty International melaporkan, selama pemberlakuan UU Darurat, Marcos telah memenjarakan 70.000 orang, menyiksa 34.000 orang, dan menewaskan 3.200 orang lebih. Korupsi rezim Marcos membuat utang luar negeri Filipina berjumlah fantastis.


Marcos juga menggunakan posisinya sebagai presiden untuk menjadi salah satu pencuri terbesar dalam sejarah negerinya. Mulai dari mencatut bantuan asing dan militer hingga membangun kapitalisme di seputar kroninya. Melakukan pencucian uang dan menyembunyikan harta hasil korupsi senilai setidaknya 10 miliar dollar AS di Swiss dan beberapa negara lain.

Semua penyalahgunaan kekuasaan oleh Marcos itu berakhir pada 25 Februari 1986 ketika pecah People Power Revolution. Hanya dalam tiga hari, gerakan moral People Power di Manila berhasil menumbangkan rezim Marcos. Gerakan moral ini dipimpin Cory Aquino, istri mendiang politikus Benigno Aquino yang kelak menjadi Presiden Filipina menggantikan Marcos. Semua elemen masyarakat berpartisipasi dalam gerakan itu.

Keluarga Marcos pun kabur ke Hawaii. Termasuk Bongbong yang saat itu tercatat sebagai Gubernur Provinsi Ilocos Norte. Massa yang berdemo kemudian menguasai Istana Malacanang dan terkaget-kaget melihat koleksi sepatu mahal milik istri Marcos yang berjumlah 3 ribu pasang. Sepatu-sepatu dan tas-tas Imelda ini kemudian menjadi simbol era Marcos yang korup.

36 tahun setelah Marcos digulingkan, dinasti mereka merebut kekuasaan kembali. Diawali dengan pemakaman Marcos di Taman Makam Pahlawan Nasional Filipina setelah lebih dari 32 tahun jenazahnya diawetkan. Pemakaman ini atas izin Presiden Rodrigo Duterte, setelah sebelumnya ditolak oleh presiden-presiden pendahulunya. Keputusan tersebut menuai protes dari warga Filipina, termasuk mantan Presiden Noynoy Aquino. Kembalinya keluarga Marcos ke kancah politik nasional Filipina tak lepas dari peran Duterte, sebagai sahabat dekat Keluarga Marcos. Putri Duterte, Sara, kini menjadi wakil Presiden. Bongbong pun sempat menjadi salah satu kandidat wakil presiden Duterte.

Apa yang terjadi di Filipina ini mencemaskan banyak pihak karena berpotensi terjadi di Indonesia. Terutama kekhawatiran kembalinya dinasti Soeharto alias Keluarga Cendana, karena rekam jejak pelanggaran HAM, represif dan KKN di masa lalu. Semua meragukan niat baik keluarga tersebut seandainya berkuasa kembali di Indonesia.

Bongbong juga layak diragukan untuk memimpin Filipina. Ia dianggap tidak pintar-pintar amat. Dua kali drop-out saat berkuliah di Universitas Oxford, Inggris dan Wharton Business School. Saat mahasiswa ia terkenal hedonis dan mempunyai Rolls Royce yang digunakannya agar terlihat keren. Bongbong sekali lagi mengingatkan pada figur Tommy Soeharto dan putra-putra Presiden Soeharto lainnya yang juga terlihat hidup hedonis saat ayahnya berkuasa. Setelah reformasi, Tommy dan saudara-saudaranya pun aktif berpolitik, baik melalui jalur Partai Golkar, maupun mendirikan partai sendiri. Sama seperti Bongbong.

Yang menarik perhatian dunia adalah cara Bongbong memenangkan Pilpres kali ini. Bongbong memanfaatkan komposisi penduduk Filipina yang terdiri dari 56 persen pemilih di bawah umur 40 tahun. Sebagian di antaranya bahkan pemilih pemula. Mereka lahir tanpa mengalami era Marcos yang otoriter. Tak paham sejarah.

Narasi medsos Bongbong mengubah persepsi generasi muda tentang Marcos. Para propagandis Bongbong menggunakan medsos untuk membersihkan sejarah kelam ayahnya. Bongbong mencoba membersihkan sejarah kelam rezim ayahnya dengan narasi-narasi fiktif tentang pertumbuhan ekonomi yang besar di era Marcos dan mengaburkan fakta korupsi dan pelanggaran HAM berat yang dilakukan Marcos. Serupa dengan narasi-narasi seperti “enak zamanku tho” yang banyak disuarakan pendukung Soeharto. Baru-baru ini di Indonesia viral berita tentang Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa berusia baru 20 tahun dengan entengnya berkata, “Di Orde baru kita peroleh yang namanya kebebasan, kesejahteraan kita punya.” Para muda buta sejarah.

Generasi muda buta sejarah memang target target narasi-narasi hoax itu. Bongbong banyak memanfaatkan video pendek aplikasi Tiktok yang populer di kalangan muda.  Ini pun bisa terjadi di Indonesia. Komposisi penduduk di Indonesia serupa Filipina, didominasi generasi muda. Dan banyak masyarakat Indonesia aktif di media sosial serupa Tiktok.

Bongbong sendiri belajar dari Donald Trump yang membayar banyak Public Relation papan atas dan buzzer untuk menyebarluaskan kabar palsu dan pembohongan politik dengan masif. Hal serupa juga terjadi di Indonesia sejak beberapa pemilu lalu, saat peredaran hoax  sangat masif. Apalagi kelompok Bongbong ditopang pula kekuatan logistik yang kuat, warisan Marcos yang bejibun, seperti juga harta Cendana yang tak habis tujuh turunan.

Dikutip dari laman Rappler, Fatima Gaw, ahli Komunikasi Massa Universitas Filipina mengatakan, Bongbong mengaku sebagai korban dari ketertutupan informasi pemerintah Filipina pasca penggulingan ayahnya. Menggambarkan keluarganya sebagai keluarga yang tidak melakukan korupsi dan tidak melakukan pelanggaran HAM. Playing victim hingga semua orang jatuh iba.

Keluarga Marcos benar-benar berinvestasi begitu banyak dalam menciptakan disinformasi selama enam tahun ini. Mereka bahkan mendekati Brittany Kaiser, whistleblower terkenal untuk melakukan rebranding ulang sejarah keluarga Marcos. Fakta ini diceritakan langsung oleh Kaiser, meski dibantah oleh juru bicara tim kampanye Bongbong. Apa yang dilakukan Bongbong ini pernah dilakukan tim kampanye Anies Baswedan saat menggunakan Eep Saefullah Fattah sebagai konsultan kampanye. Bukan tidak mungkin cara yang sama juga telah digunakan Keluarga Cendana untuk mengubah image Soeharto.

Selanjutnya kemenangan Bongbong juga disebabkan pola hubungan patron-klien di masyarakat Filipina. Pola ini menyebabkan kelompok yang kuat atau memiliki modal menjadi sumber ketergantungan. Di Filipina meski Marcos sudah dijatuhkan, mereka punya pengikut yang dulu diuntungkan saat Marcos berkuasa. Ini pun terjadi di Indonesia. Ada kelompok-kelompok tertentu yang akan berjuang mati-matian untuk kembalinya Keluarga Cendana, karena dulu sangat diuntungkan rezim tersebut.

Faktor lainnya adalah banyaknya masyarakat miskin dengan tingkat literasi rendah di Filipina. Mereka yang mudah dibohongi karena tak mampu memilah informasi yang benar ataupun salah. Mereka berkecenderungan untuk mendengar informasi yang disukainya saja. Dalam hal ini berita-berita tentang harga murah atau bantuan ekonomi selalu menarik perhatian mereka. Tak peduli betapa utopisnya. Pepesan kosong. Akibatnya mereka rentan pemutar balikan sejarah. Sekali lagi, kondisi ini pun terjadi di Indonesia.

Di Indonesia ketika keluarga Cendana tengah berusaha membersihkan nama Presiden Soeharto, nyaris tak banyak generasi muda tahu bila Tommy Soeharto pernah dipenjara. Ia divonis bersalah untuk kasus korupsi tukar guling lahan Bulog. Hakim Agung yang memvonis Tommy kemudian ditembak mati dan Tommy terbukti terlibat dalam pembunuhan tersebut. Ia juga terbukti memiliki senjata api secara ilegal. Masih banyak lagi masalah seputar Keluarga Cendana, termasuk juga fakta terbuka bahwa tiga anak Soeharto menjadi pengemplang pajak di Indonesia. Dan ini, tak banyak masyarakat sadar.

Kemenangan Bongbong dipandang sebagai arus balik reformasi politik yang pernah dijalankan Filipina pasca penggulingan Marcos tahun 1986. Selama dua Pilpres terakhir, saat terpilihnya Duterte tahun 2016 dan Bongbong di tahun 2022, rakyat Filipina memilih pemimpin yang dinilai mengebiri demokrasi dan melanggar hak asasi manusia. Duterte ditengarai melakukan pelanggaran HAM dengan adanya pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing) berdalih menjaga ketertiban. Duterte pula yang membuka jalan bagi kembalinya dinasti Marcos ke pemerintahan Filipina.

Dan lagi-lagi, serupa dengan Filipina, ada arus balik reformasi di Indonesia. Meski Indonesia tak sampai dipimpin oleh tokoh pelanggar HAM seperti Duterte, maraknya hoax, yang akhirnya membuat masyarakat terpolarisasi. Lahir pula kelompok-kelompok yang terus saja merongrong ke-bhinekaan dengan cara-cara intimidatif. Termasuk dengan demo-demo yang diduga kuat ada pendananya, yaitu mereka yang berduit banyak dan berkepentingan untuk berkuasa.

Ada pula kelompok yang selalu merongrong pemerintah serta mengganggu ketertiban dan keamanan sehingga masyarakat-masyarakat lugu terperdaya slogan “enak jamanku”. Tanpa teringat betapa menyeramkannya rezim itu. Tanpa sadar mereka telah terperdaya informasi yang terdistorsi. Tanpa sadar kebahagiaan berbicara bebas, termasuk bermedsos, yang mereka rasakan kini, akan lenyap nyap nyap nyap di tangan rezim otoriter.

Orang Politik di manapun sama saja. Mereka selalu berjanji akan membangun jembatan-jembatan, di tempat yang tak ada sungainya” 

(Nikita Khrushchev)

Iwan Raharjo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *