Budiman Dihujat, Budiman Melesat

Akhirnya surat pemecatan itu pun terbit. Ditandatangani oleh Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, politisi fenomenal Budiman Sudjatmiko resmi dipecat oleh partai Banteng. Tentu saja Budiman tidak terkejut dengan keputusan ini. Sejak kedatangannya ke rumah Kertanegara untuk bertemu Prabowo, Budiman siap menerima segala konsekuensi tindakannya itu. Saat mendeklarasikan dukungan kepada Prabowo untuk menjadi Presiden RI, sekali lagi Budiman menyatakan siap dengan konsekuensi mendukung Prabowo.

Budiman tak terlihat kecewa dengan pemecatan itu. Dalam wawancaranya dengan Metro TV malam ini, Budiman secara eksklusif menceritakan  dan menunjukkan surat pemecatannya. Tidak terlihat emosi negatif pada dirinya. Budiman tetap tenang dan jernih menjelaskan pandangan-pandangan visionernya, alih-alih menjelekkan PDIP yang telah memecatnya ataupun Ganjar yang tidak dipilihnya. Tetap menjadi politisi yang cemerlang, rasional, dan tak gemar playing victim ataupun berkampanye negatif pada yang memusuhinya.

Beberapa hari sebelumnya, dalam acara Talk Show bersama Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka dan politisi serta Putri Gus Dur, Yenny Wahid, Budiman dengan tegas menyatakan siap menanggung segala konsekuensi dan sanksi dari PDIP. Sanksi terberat sekalipun seperti pemecatan. Ia bahkan menjelaskan pada Gibran bahwa menjadi politisi itu harus berani. Karena pintar tanpa berani hanya menjadikan kepintarannya untuk diri sendiri. Jujur tanpa keberanian pun hanya menjadi jujur untuk diri sendiri. Akibatnya tidak ada pengajaran moral atau akhlak yang selayaknya menjadi tugas politisi.

Secara kebetulan Gibran bersama Effendi Simbolon juga pernah dipanggil PDIP karena kasus yang serupa. Effendi karena dengan gamblang mendukung Prabowo. Sedang Gibran karena relawan Gibran mendeklarasikan dukungan pada Prabowo saat keduanya bertemu di Omah Semar.Sejak itu Gibran beberapa kali kedapatan berkegiatan bareng Prabowo sehingga mengundang aneka interpretasi bahwa Gibran memang mendukung Prabowo.

Nyali dan keberanian Budiman Sudjatmiko memang tak perlu diragukan lagi. Teruji sejak era Orde Baru. Bila yang dihadapi hanya celaan dan hujatan seperti yang dialaminya sejak mendeklarasikan diri mendukung Prabowo, tentu ia tidak takut. Dipecat pun ia tidak malu, karena baginya yang memalukan hanyalah dipecat karena kasus korupsi. Budiman sangat menjaga integritasnya bila berkaitan dengan korupsi. Ia berbeda dengan kebanyakan politisi lain yang doyan bila dimanjakan materi. Tidak heran ketika kasus penerima suap eKTP ramai di tahun 2013, namanya tetap tak tersentuh. Semua anggota Komisi 2 yang membawahi proyek eKTP, termasuk Ganjar Pranowo, disinyalir menerima aliran dana suap, kecuali dua orang: Budiman dan Ahok. Keduanya kita tahu memang fenomenal dan berintegritas.

Pendukung lawan politiknya menuduh Budiman menyeberang ke Prabowo karena cuan. Segala berita receh bin absurd bin imajiner kemudian dilontarkan para buzzer-nya. Mulai dari Budiman tidak punya apa-apa, hingga dianggap tidak ada artinya. Begitu masif kisah itu disampaikan para buzzer sehingga justru mengungkapkan keanehan-keanehan dunia politik kita yang selama ini tak muncul ke permukaan. Pertama, di tengah ramainya berita korupsi, bahkan seorang pegawai pajak saja bisa hidup bagai Sultan dan memiliki kekayaan ratusan milyar, kebersahajaan Budiman menjadi indikasi bahwa hidupnya bersih dari korupsi. Mengingatkan kita pada Bung Hatta yang mendambakan sepatu Bally. Hingga meninggal Bung Hatta belum mampu membeli sepatu idamannya.

Kedua, mengapa orang dengan kualifikasi seperti Budiman bisa tidak menjadi ‘apa-apa’ di partainya. Budiman sejak muda berotak brilyan. Ia merumuskan AD/ART Partai Rakyat Demokratik, yang kelak banyak klausul-klausul dalam AD/ART tersebut di­-adopt menjadi AD/ART banyak partai baru yang lahir setelah reformasi. Saat menjadi anggota legislatif, semua mengakui peran Budiman sebagai inisiator UU Desa yang kemudian menjadi pijakan kemandirian dan pembangunan Desa. Tidak heran bila namanya harum di kalangan tokoh Desa. Jaringan Desa ini menjadi salah satu pendukung fanatik Budiman. Deklarasi Prabu di Semarang pada 18 Agustus 2023 lalu menggentarkan lawan-lawan politiknya karena melihat massa Prabu yang luar biasa banyak. Menyemut dari gedung Marina Convention Center hingga bibir pantai yang berjarak hampir 1 kilometer. Mereka pun meneriakkan Budiman Wapres, tak hanya mengelu-elukan Prabowo sebagai Presiden ke delapan.

Prabowo kemudian dengan memuji Budiman sebagai sosok yang cerdas, lulusan salah satu Universitas terbaik di dunia, Cambridge University. Bahkan tanpa ragu Prabowo mengakui, dulu Prabowo tidak diterima di Cambridge, untung diterima menjadi tentara. Tidak cukup memuji pintar, Prabowo memuji Budiman karena hatinya bersih dan orangnya pemberani. “Orang pintar banyak, tetapi yang hatinya bersih dan pemberani langka,” demikian kira-kira pujian Prabowo.

Sampai di sini kita tentu paham mengapa lawan politik plus buzzer-nya kejang-kejang. Budiman terbukti pintar, berhati bersih dan berani, plus terindikasi didukung massa yang membludak. Kualifikasi ini membuat gentar. Memaksa lawan terpaksa memakai cara-cara berkampanye yang negatif. Jika Budiman seorang pecundang, atau nothing seperti fitnah mereka, untuk apa menghabiskan energi dengan menyerang seorang yang digambarkan ‘receh dan hanya remahan krupuk lempem dan gepeng terinjak sepatu lars’.

Mau perbandingan? Ketika berbicara tentang Soekarno, Budiman dapat menceritakan panjang lebar ajaran-ajaran Soekarno disertai gambaran apa yang akan dilakukan Soekarno dalam tataran geopolitik terkini. Menjelaskan Algoritma Soekarno. Sedang Ganjar dalam suatu kunjungan ke rumah bersejarah yang dulunya tempat tinggal HOS Cokroaminoto, hanya bisa menjelaskan: di sini pernah tinggal Soekarno blablabla… hanya menceritakan kisah hidup yang dapat dengan mudah kita copast  dari Wikipedia. Tanpa ide visioner, tanpa empati. Tidak heran bila Ganjar belum mengiyakan tawaran Debat Capres dari BEM UI. Sementara dua cawapres lain, Anies Baswedan dan Prabowo dengan mantap dan berani mengiyakan tawaran itu.

Hujatan pada Budiman memang tidak main-main sejak menyatu dengan Prabowo itu. Yang paling parah tentu saja tuduhan Budiman telah melacurkan diri karena mendukung Prabowo yang dianggap sebagai tokoh penculikan di era akhir Orde Baru. Tuduhan kepada Prabowo itu tentu saja tendensius sekali karena selalu berulang setiap lima tahun. Setiap menjelang Pemilu.

Dua hal dilupakan orang. Pertama, fakta bahwa dalam Pilpres 2009, Prabowo menjadi cawapres Megawati yang berasal dari PDIP. Saat itu sama sekali tidak ada hujatan pada Prabowo sebagai pelaku penculikan. Kedua, di tahun 2019, sepuluh tahun kemudian, Presiden Jokowi yang berasal dari PDIP, melantik Prabowo  sebagai Menteri Pertahanan. Tentu ini bukti bahwa masyarakat luas telah melakukan rekonsiliasi. Tidak terpaku pada masa lalu. Memandang masa lalu sebagai pelajaran berharga dan terus menatap ke depan.

Para penghujat itu senang memelihara dendam. Senang memicu perpecahan. Tidak belajar dari Afrika Selatan yang bangkit dari kekelaman politik apartheid saat Nelson Mandela bergandengan tangan dengan FW De Klerk, pemimpin Afrika Selatan masa apartheid. Afrika Selatan bahkan dengan tegas menganggap segala kejahatan yang terjadi akibat politik apartheid dilakukan melalui kebijakan di masa lalu dan bukan perbuatan individual.  Pihak militer dan keamanan yang selama ini dianggap sebagai aktor penting pelaku kekerasan, melalui kebijakan negara, dinyatakan bukan pelaku dan berhak untuk menerima pengampunan penuh. Dari situ Afrika Selatan kembali membangun negerinya. Berhasil menekan laju penyebaran HIV/ AIDS yang selama ini menjadi momok dan bencana besar negeri itu.

Indonesia harusnya bisa belajar dari Afrika Selatan itu. Menatap ke depan dengan kembali merapatkan barisan. Mewujudkan Persatuan Nasional sebagaimana yang digagas Prabowo dan Budiman. Namun alih-alih menyetujui, banyak yang justru mengejar sahwat politiknya hingga menggunakan cara-cara negatif. Tanpa malu, tanpa mampu belajar dari Budiman. Hingga detik ini, hingga keluar surat pemecatannya, Budiman tak sekalipun menjelek-jelekkan mantan partainya, ataupun Ganjar Pranowo yang tak didukungnya. Budiman mengingatkan kita pada ucapan Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer:

”Kita Telah melawan, Nak Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *