Menjelang Pilpres 2024, Budiman Sudjatmiko memberi angin segar bagi kita dengan gagasan Rekonsiliasi Nasional. Muaranya adalah Persatuan Nasional. Bersatunya semua unsur bangsa. Menyongsong masa depan tanpa terbebani dendam dan beban masa lalu. Dengan demikian Bangsa Indonesia menjadi lebih kuat dan siap menghadapi tantangan dan krisis global yang ditengarai akan makin kompleks. Ide itu menjadi ramai dibicarakan seiring pertemuan Budiman Sudjatmiko dengan Prabowo Subianto, bacapres sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra di kediaman Prabowo.
Murni atas keinginan pribadi dan tidak mewakili partainya, pada pertemuan 18 Juli 2023 itu, Budiman menyatakan mewakafkan dirinya untuk menjadi pencair kebekuan menjelang Pilpres 2024. Pencairan kebekuan ini penting untuk membangun persatuan nasional. Prabowo sebagai tokoh nasionalis dapat menjadi pelopornya. Apalagi Budiman menyebut Prabowo salah satu tokoh terbaik untuk memimpin Indonesia. Prabowo, menurut Budiman, telah menulis buku berjudul Paradoks Indonesia yang berisikan pemikiran-pemikiran besar tentang Persatuan Nasional. Pemikiran-pemikiran dalam buku itu sangat menggugah dan menjadi baik sekali bila segera terwujud.
Sayangnya masyarakat politik Indonesia belakangan ini terlalu dicekoki berita-berita politik yang dangkal, receh dan konspiratif. Para politisi yang saling melontarkan gimmick, lalu para pendukungnya saling melempar isu, saling serang. Hoax ditebar, kebenaran disembunyikan. Saling menggiring opini yang berpotensi memecah belah. Ajang Pemilu lebih terasa sebagai ajang bagi-bagi kekuasaan dan pameran oligarki, alih-alih berbagi visi misi untuk masa depan bangsa.
Tidak heran bila Budiman kemudian banyak diserang karena pertemuannya dengan Prabowo itu. Sebagai anggota PDIP, Budiman dianggap mbalelo karena Partai berlambang Banteng itu telah menunjuk Ganjar sebagai Capres. Budiman sebagai Tokoh Reformasi dan Korban Orde Baru, juga dianggap telah mencederai perjuangan Reformasi, karena Prabowo hingga saat ini dianggap bertanggungjawab atas penculikan mahasiswa di tahun 98. Ini masih ditambah pada serangan yang menjurus ke urusan privat, Budiman dianggap sebagai orang yang kecewa dan seterusnya dan seterusnya….
Semua reaksi negatif itu, termasuk juga aneka kampanye hitam lain yang menimpa tokoh-tokoh lain, semakin menunjukkan pentingnya Persatuan Nasional. Belakangan ini kita sebagai Bangsa memang seperti lalai pada agenda jangka panjang, hanya fokus pada kepentingan jangka pendek, dan mungkin sekali hanya berorientasi pada kepentingan kelompoknya. Militansi berlebihan. Bila dulu kita mendengar politik ‘devide et impera’ diterakan pada kolonialisme Belanda, rasanya hari-hari belakangan ini kita seperti melihat ‘devide et impera’ dilakukan oleh saudara sendiri demi kepentingan politik praktis. Reaksi keras pada Persatuan Nasional menjadi indikasinya.
Resistensi terhadap persatuan nasional bisa menjadi titik kemunduran bagi Bangsa ini. Resistensi ini akan menyebabkan masyarakat terdisorientasi dengan arah pembangunan sehingga tak lagi berbasis kepentingan nasional. Di tataran dunia, surutnya hegemoni AS, membawa dunia ke arah potensi gesekan antara pilihan untuk menjadi multipolar dan unipolar. Persatuan nasional menjadi sangat diperlukan agar Pembangunan Indonesia dapat berlangsung dalam bingkai dinamika kerjasama bilateral yang imbang dan berkeadilan.
Pilpres 2024 seharusnya menjadi milestone Indonesia untuk memajukan negerinya. Melanjutkan rintisan-rintisan yang telah dicapaian tujuh presiden yang telah memimpin Indonesia. Persatuan nasional harus menjadi game changer-nya.
Semuanya diawali dengan rekonsiliasi nasional. Tindakan nyata yang dilakukan oleh antar tokoh nasional untuk memulihkan persaudaraan di antara sesama bangsa Indonesia sehingga menumbuhkan kembali persatuan dan kesatuan sebagai sesama anak bangsa. Kesadaran ini, menurut Budiman, lahir karena perjalanan sejarah Indonesia kerap diwarnai konflik antar anak Bangsa. Efeknya tentu saja merusak serta menutup peluang-peluang baru untuk menjawab tantangan-tantangan masa depan, terutama ketika berkait kepentingan global.
Budiman menjelaskan bahwa dirinya dan Prabowo pernah berhadapan saat proses menumbangkan Orde Baru. Budiman sebagai aktivis sedang Prabowo merupakan prajurit TNI. Situasi dan kondisi kemudian membuat mereka harus berhadapan. Sesuatu yang tak dapat dihindari pada masa itu. Wajar bila akibatnya Budiman tak pernah dendam pada Prabowo meski pernah berseberangan. Sampai di sini, sebenarnya mengherankan bila masih ada yang menghujat Budiman karena pertemuan itu. Budiman korban langsung Orde Baru, pernah dipenjara Orde baru dan bisa jadi ia dianiaya di dalam penjara. Budiman bisa melupakan luka tersebut demi kepentingan yang lebih besar, masa depan bangsa dan negara.
Hari Subagyo, konsultan sekaligus mantan organisator Persatuan Partai Rakyat Demokratik (PRD), partai yang dulu membawa Budiman menjadi musuh Orde Baru, cukup mampu memandang jernih ide Persatuan Nasional yang digaungkan Prabowo dan Budiman ini.
“Anjangsana ke Prabowo dicap haram. Budiman adalah ikon politik dari segelintir kepemimpinan alternatif melampaui ikatan formalisme PRD maupun PDI Perjuangan. Saya tidak perlu membela karena ia tidak membutuhkannya. Pertemuan Kertanegara 18 Juli 2023 bukan siapa sowan siapa, tetapi tentang gagasan dan konteksnya. Gagasan soal persatuan nasional dalam konteks gerakan elektoral menuju Pilpres 2024 ke arah keberlanjutan kepemimpinan nasional yang inklusif,” demikian tulis Hari Subagyo dalam Surat Terbuka Hari Subagyo untuk Kawan Sejawat Penghujat Budiman Sujatmiko.
Hari Subagyo mengajak kita belajar pada Masyarakat Aceh. Sejak Pemilu 2009, partai lokal Aceh dapat ikut serta untuk Pemilu DPR Aceh. Partai Aceh yang didirikan oleh eksponen Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menjadi pemenangnya dengan memperoleh sepertiga kursi DPR Aceh. Pada Pemilu 2014, Partai Aceh menggandeng Partai Gerindra. Hasilnya Partai Aceh memenangkan DPR Aceh sedang Gerindra di DPR RI. Prabowo Subianto juga mengungguli Presiden Jokowi dalam Pilpres di Aceh itu.
Ini menarik karena dalam memori masyarakat Aceh tentu masih merekam trauma akibat pelaksanaan Daerah Operasi Militer (DOM). Jauh sebelum tragedi 27 Juli 1996, aksi militerisme terjadi massif di Aceh selama hampir satu dekade. Kedekatan masyarakat Aceh dengan Prabowo yang juga mantan militer itu menjadi bukti adanya rekonsiliasi di Masyarakat Aceh terhadap Tentara.
Afrika Selatan adalah contoh lain negera yang berhasil membangun rekonsiliasi pasca politik Apartheid. Rekonsiliasi ini kemudian model bagi banyak rekonsiliasi lain. Proses rekonsiliasi di Afrika Selatan berdampak positif dengan proses pembangunan. Penanganan masalah HIV/AIDS yang selama ini menjadi momok di Afrika Selatan, menjadi bukti keberhasilan pembangunan setelah rekonsiliasi nasional pasca Apartheid.
Concern utama rekonsiliasi di Afrika Selatan itu adalah menciptakan pola hubungan baru yang lebih harmonis di antara berbagai macam kelompok. Bertumpu pada pencegahan konflik dan bukan fokus pada restorative justice (proses keadilan untuk kejahatan atau kekerasan di masa lalu). Kejahatan atas kekerasan di masa lalu, dilakukan melalui kebijakan pemerintah dan bukan perbuatan individual. Pihak militer dan keamanan yang selama ini dianggap sebagai aktor penting pelaku kekerasan, melalui kebijakan negara, dinyatakan bukan pelaku dan berhak untuk menerima pengampunan penuh (full pardon).
Belajar dari Afrika Selatan, apa yang terjadi di era Orde Baru juga demikian. Bukan kesalahan individu, melainkan kesalahan kebijakan pemerintahan pada masa itu. Bukan kesalahan Prabowo, Wiranto, Hendropriyono, SBY,, Luhut dan siapapun.
Di Indonesia rekonsiliasi itu sebenarnya sudah dirintis. Jokowi tanpa ragu-ragu menunjuk Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan sejak 2019. Ini berarti rekonsiliasi pasca Orde Baru, sekaligus rekonsiliasi pasca polarisasi dan perpecahan dalam Pilpres 2014 dan 2019. Megawati bahkan pernah berduet dengan Prabowo sebagai capres dan cawapres dalam Pilpres 2009. Menjadi aneh bila kemudian ada yang selalu berteriak tentang pengkhiatan Reformasi. Teriakan yang berulang setiap lima tahun. Ada kepentingan apakah?
Di mata Budiman, tokoh-tokoh nasional kita sebenarnya punya cita-cita yang sama, concern yang sama, melihat Indonesia secara strategis sama. Bila Megawati tekanannya pada stunting dan ketahanan pangan, Jokowi pada hilirisasi, Andika Perkasa pada government dan tata kelola sumber pertahanan yang bersih, Luhut pada digitalisasi dan pendidikan, maka Prabowo geopolitik dan geostrategi. Dari situlah kemudian Budiman dan Prabowo bersepakat untuk menyosialisasikan ide persatuan nasional. Agar menjadi jembatan menuju bangsa dan negara yang lebih maju ke depannya.
Kegiatan itu mulai mendapat tanggapan positif dari berbagai kelompok masyarakat. Di Medan baru-baru ini para Habib, ustadz bertemu dengan teman-teman aktivis gerakan Islam dan bersepakat menggaungkan persatuan nasional. Ini ditambah aktivis-aktivis persatuan dan demokrasi.
Dalam pidato di Harlah ke-25 Partai Kebangitan Bangsa di Solo pada 23 Juli 2023, Jokowi pun menyatakan perlunya persatuan nasional sebangsa dan setanah air. “Lah wong yang di atas saja, ketua-ketua partai sering makan bareng, capres-capres itu ngopi bareng. Kok di bawah saling bertengkar berkepanjangan, kangge nopo (ini mau apa) udruk-udrukan ning medsos? Kita ini satu saudara. Nggih mboten?” Demikian kata Jokowi saat itu.
Persatuan nasional, sekali lagi, akan menjadi game changer dalam Pemilu 2024 karena jauh lebih membawa ‘values’ daripada aksi konspirasional akibat perbedaan preferensi politik. Jika hari-hari ini Prabowo dan Budiman dihujat karena menyuarakan Persatuan Nasional, bisa jadi karena memang ada self defense dari kelompok yang sadar telah kalah ‘values’.
Jefferson Adji Nugroho