Carter dan Kisah-kisah Kecil Para Presiden Amrik

Ini catatan iseng beberapa hari lalu, namun karena belum selesai, baru pagi ini saya selesaikan. Saat saya tulis itu, saya sedang istirahat di rumah karena flu disertai demam. Agak siang, badan terasa enakan dan saya pun jadi iseng menonton pemakaman Presiden Jimmy Carter.

Berita-berita tentang Presiden-Presiden US selalu menarik perhatian saya. Baik berita duka maupun suka. James Earl Carter II atau Jimmy Carter, ttercatat sebagai presiden US yang paling panjang umur. Pada 1 Oktober 2024 kemarin, Presiden Carter merayakan ulang tahunnya yang ke seratus. Meski saat itu sudah semakin lemah, beberapa waktu sebelum ulang tahunnya,  Carter masih sempat menyampaikan pesan melalui anaknya Chip. “Saya akan merayakan ulang tahun saya yang ke seratus, agar bisa memilih untuk Kamala.” Beberapa hari setelah ulang tahunnya, Carter benar-benar hadir memilih dalam Pilpres 2024.

Carter juga tercatat sebagai Presiden US pertama yang lahir di Rumah Sakit. Demikian yang saya baca di Wikipedia. Reaksi pertama saya tentu saja kaget. Valid ini berita? Setahu saya, Florence Nightingale yang merintis keperawatan di Rumah Sakit modern sudah lahir jauh sebelum Carter. Artinya Rumah Sakit sudah ada jauh sebelum Carter lahir. Kemudian saya pikir-pikir lagi, walaupun Rumah Sakit sudah lama ada, mungkin melahirkan awalnya belum masuk bagian dari layanan Rumah Sakit. Semua orang masih melahirkan di rumah dengan bantuan dokter, bidan ataupun dukun bayi.

Dalam eulogy untuk kakeknya, Jason Carter menceritakan betapa ia sering terbangun malam-malam karena panggilan telpon dari Poppa. Panggilan sayang untuk kakeknya. Jason kemudian menelepon balik Carter, menanyakan ada apakah gerangan. Carter menjawab, ia tidak menelepon Jason. “I didn’t call you, I’m taking a picture,” lanjut Carter. Semua hadirin tertawa mendengarnya. Kegaptekan Carter ini manusiawi. Pertama karena Carter sudah sepuh. Dan kedua, orang di level Carter dihargai oleh kemampuannya mengambil keputusan strategis, bukan dari kemampuan mengoperasikan gadget. Ini mah kelas klerk…

James Earl Carter III atau yang biasa dipanggil Chip, putra Carter yang juga membacakan eulogy, mengenang saat ia mendapat nilai buruk dalam pelajaran Bahasa Latin. Carter yang terlihat kecewa, meminta Chip menunjukkan bukunya. Carter pun membolak balik buku Bahasa Latin itu dengan serius. Besoknya, dan juga sepanjang liburan, Carter langsung memberi bimbingan Bahasa latin pada Chip. Benar-benar tanpa mengenal hari libur. Saat kembali bersekolah, Chip langsung mendapat nilai 100 untuk Bahasa Latin. Kisah ini bagi saya, pembelajaran tentang semangat belajar. Kisah ini juga menunjukkan, orang hebat tidak suka jalan pintas. Dengan menyogok gurunya agar meluluskan ujian Latin misalnya.

Presiden-presiden US sendiri terkenal dengan tradisi hanya yang pintar yang bisa menjadi presiden. Terpelajar. dengan nilai-nilai akademik yang menakjubkan selama bersekolah. Lulusan Harvard, MIT, perwira jenius ahli strategi perang, juara debat, pemimpin redaksi jurnal hukum elit, pemusik jazz, dan sederet prestasi lain yang menunjukkan kedekatan tradisi menjadi presiden dan kemampuan belajar yang unggul. Bahkan George W Bush, kerap diolok-olok bukan hanya karena dia ‘anak presiden’ sehingga diduga memperoleh banyak kemudahan, tetapi juga sebagai presiden US yang dianggap nilai-nilainya selama kuliah terlalu banyak C. Sedang-sedang saja. berbeda dengan para presiden lain yang bertaburan nilai A.

Carter sendiri dikenal sebagai Presiden US yang ‘damai’. Tidak suka mengajak negaranya terlibat ‘perang’, seperti kebanyakan presiden-presiden US lainnya. Ia bahkan dikritik sebagai Presiden yang terlalu lunak dan tidak suka pamer ke’adidayaan’ Amerika. Ia justru membuat kesepakatan dengan Korea Utara untuk menghentikan aktivitas nuklir, menormalisasi hubungan dengan Deng Xiaoping, memediasi Arab-Israel…. sesuatu yang ‘bukan Amerika banget’. Satu-satunya pertikaian yang dilakukan US selama pemerintahan Carter hanyalah ‘memboikot Olimpiade Moscow’.

Carter bercerita, saat masih aktif dinas di US Navy, terjadi kecelakaan pada reaktor atom milik Kanada di Sungai Chalk yang membuat reaktor tersebut mengalami kebocoran. Jutaan liter radioaktif membanjiri Sungai Chalk di dasar bangunan reaktor. Carter ditugasi oleh kesatuannya untuk membantu Kanada menyelesaikan permasalahan kebocoran reaktor ini. Proses ini membuat semua anggota tim penyelamat harus mendekat ke lokasi bocor sendirian, dan hanya dalam 90 detik untuk memasang dan mengencangkan sekrup. Waktu yang terbatas ini untuk mengurangi risiko terpapar radioaktif. Bertahun kemudian saat menjadi Presiden, pengalaman berhadapan dengan bahaya radioaktif ini sangat mempengaruhi pandangan-pandangn Carter tentang senjata atom. Inilah yang membuatnya menjadi Presiden Amerika yang paling ‘damai’.

Carter kemudian mengakhiri karirnya di US Navy, kembali melanjutkan tradisi bisnis keluarga sebagai petani kacang. Awal tahun 60an, Carter memulai babak baru sebagai Senator Georgia, menjadi Gubernur Georgia di tahun 1973 dan akhirnya menjadi Presiden US. Saat kampanye Gubernur, isu-isu segregasi kulit berwarna masih sangat mendominasi politik di wilayah Carter. Carter terlihat sebagai orang yang mendukung segregasi karena tidak pernah berbicara tentang persamaan hak, kebebasan dan hal-hal serupa. Yang terjadi justru masyarakat Georgia kena prank. Dalam pidato inagurasinya, Carter menyatakan, “The time for racial discrimination is over.” Tentu saja semua orang kaget karena mengira selama ini Carter pendukung segregasi. Selama kampanye, Carter dengan sadar tidak menyenggol isu-isu segregasi karena akan membuatnya sulit memenangkan Pemilu. Pragmatisme dalam berpolitik ternyata tak hanya ada di negeri kita.

Acara pelepasan jenazah Carter sendiri cukup menarik bagi saya. Kelima Presiden US terakhir berkumpul. Bill Clinton menjadi yang paling senior saat ini, diikuti George W Bush, Obama, Trump dan Biden. Media sibuk membahas wajah awkward Trump dan Kamala saat bertemu. Sedang saya lebih suka melihat bagaimana para Presiden itu berinteraksi satu sama lain. Bush dan Al Gore bersalaman erat dan akrab, meski mereka rivalitas dalam Pilpres tahun 2000. Kemenangan yang sedikit kontroversial. Adalagi Trump dan Mike Pence yang juga bersalaman hangat dan membuat heboh jagad. Entah karena apa… kali ini saya kudet.

Yang banyak menarik perhatian, tentu saja saat Trump yang duduk bersebelahan dengan Obama, terlihat sangat akrab mengobrol. Entah apa yang dibicarakan keduanya. Tapi menarik disimak ucapan Trump tentang apa yang diobrolkannya dengan Obama. “I didn’t realize how friendly it looked,” demikian kata Trump. “We have little different philosophies, right? I don’t know, we just got along. But I got along with everybody on that. You know, we met backstage before we went on, and I thought it was a beautiful service, but we all got along very well.

Bagi Trump dan Obama, mereka hanya berbincang biasa. Keramahan dan keakraban yang memang wajar dilakukan oleh dua orang saling mengenal yang kebetulan duduk bersebelahan di suatu acara kebaktian yang indah dan syahdu. Bukan sesuatu yang ‘serius-serius amat’. Andaikan mereka mengobrolkan sesuatu yang serius, atau bahkan ‘deal’ untuk melakukan suatu kegiatan besar, mereka tidak menjadikannya konsumsi publik.  

Saya sedikit tertawa setelah membaca komen Trump itu. Baik Obama dan Trump tidak dalam posisi ingin mengesankan bahwa keduanya bukan Cuma dekat tapi ‘sekutu’ alias ‘bolodewe’. Mengapa demikian? Ya nggak tahu kok tanya saya.. hehehe.

Mungkin karena tradisi persaingan politik di sana lebih fair, tidak perlu terlalu banyak gimmick, karena memang sudah relatif tidak ada informasi terselubung. Semua terbuka dan gamblang. Satu sama lain tidak perlu mengesankan bahwa mereka masih kuat meski sejatinya korban, atau mengesankan diri sebagai korban meski sejatinya pelaku, dan juga sebaliknya. Tidak banyak lagi isu yang bisa dimainkan di luar masalah ideologi, kebijakan ataupun progress kegiatan.

Tidak adanya lagi informasi yang bisa dimainkan ini selalu mengingatkan saya pada Hipotesis Pasar Efisien yang dulu sering diulas saat kuliah, ketika membicarakan bursa. Pasar dikatakan efisien ketika tak ada lagi tempat untuk ‘excess profits’ dengan memanfaatkan informasi terselubung. Harga-harga mencerminkan semua informasi yang ada, yang diketahui semua orang tanpa bisa disembunyikan. Harga tomat anjlok benar-benar karena panen melimpah ruah, dan tidak ada celah bagi orang untuk menyebar info palsu ‘adanya virus dalam tomat’. Karena tidak akan ada yang percaya.  Ini baru urusan pasar buah-buahan, sayuran dan bahan pangan.

Bayangkan pada ‘pasar politik’. Terlalu banyak informasi intrinsik, informasi terselubung, biasanya terjadi karena sistem belum berjalan sebagaimana regulasi yang ada. Bisa diutak-atik seenaknya. Inilah yang melahirkan banyak isu, atau bahkan menjadi celah bagi para pelaku di ‘pasar politik’ itu untuk membangun citra palsu, disinformasi, hoax atau bahkan lahirnya regulasi yang tidak fair dan tidak mewakili keadaan sebenarnya.

Bayangkan bila Trump dan Obama berbincang akrab di negeri dengan pasar politik yang belum atau jauh dari efisisien. Akan ada banyak tafsiran seperti: Obama meninggalkan Demokrat dan menjadi bagian dari rencana membangun rezim otoritarian bersama Trump. Atau tafsiran lain: Trump ternyata seorang antek Demokrat yang berpura-pura menjadi Republik. Dan ingat, di negeri dengan pasar politik belum efisien, segala tafsir, konspirasi dan analisis itu bisa jadi memang benar terjadi.

Hoax atau tidak, betulan terjadi atau tidak, negeri dengan pasar politik belum efisien memberi peluang masyarakatnya untuk tertipu. Salah pilih karena mengira yang dipilihnya akan berlaku sebagaimana harapannya. Di negeri Trump sono, orang memilih Trump atau Kamala bukan karena tertipu, tetapi memang mengagumi visi misinya, kesamaan ideologinya, ataupun menyukai personalitasnya. Sekali lagi… bukan karena tertipu. Jika Trump dianggap rasis, dan hari ini menjadi mayoritas pilihan masyarakat US, bisa jadi memang masyarakat US memang rasis. Mereka paham Trump punya kecenderungan rasis, tidak bermain dalam ‘halu’ bahwa Trump seorang malaikat yang tidak punya salah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *