CRYPTO DAN TAPER TANTRUM

Beberapa hari ini, aku banyak mengobrol masalah crypto dengan seorang sahabat. Aku sebagai seorang dari generasi X, agak susah memahami konsep-konsep digital semacam cryptocurrency ini. Dari penjelasan sahabat, aku paham bahwa crypto itu merupakan suatu mata uang digital. Perdagangan crypto, diibaratkan sahabatku seperti perdagangan valuta asing (valas). Dan seperti valas, yang punya berbagai macam label seperti dollar AS, Yen, Rupiah dll, crypto punya banyak label juga. Ada Bitcoin, Ethereum, Tezos dan lain-lain.

Sampai di sana aku paham penjelasannya. Akan tetapi kemudian yang membuat aku tidak paham adalah penjelasan-penjelasannya lanjutan tentang crypto ini. Kalau crypto ini merupakan mata uang digital, yang cuma eksis di dunia maya, mengapa lalu harus ditambang? Produksi crypto ini diistilahkan dengan ditambang, jelas sahabatku. Aku pusing mendengar penjelasannya dan otak gen X ku gagal paham, mengapa mata uang digital mesti ditambang, dan energi untuk menambangnya bisa sangat besar. Bahkan konon kata sahabat, proses menambang 1 keping bitcoin (salah satu merk cryptocurrency) adalah memakan daya 1.820 kilo watt per jam (kwh), setara dengan rata-rata pemakaian listrik rumah tangga di Amerika Serikat (AS) selama 62 hari atau kurang lebih 2 bulan.

Sampai di sini, aku harus berucap, “Maaf, sahabat, bisa nggak jelaskan lebih perlahan?”

Sahabatku mulai bermain-main crypto. Dan jangan salah memahami sahabatku, berpikir dia bercerita karena ingin mengajakku ikutan main juga. Dia bercerita semata-mata tulus ingin mengedukasi otak dedelku.

Beberapa hari ini, aku pun sedang hobi mendengarkan podcast-podcast di youtube. Selain podcast tentang crypto – supaya lebih mampu ‘mengejar’ ketika sahabatku bercerita, aku pun mendengarkan podcast yang membahas isu-isu sosial dan ekonomi lainnya. Di antaranya tentang tapering yang dilakukan pemerintah AS, yang mungkin ingin aku ceritakan pada sahabatku, tanpa mendiscourage gairahnya bermain crypto.

Tapering adalah kebijakan yang dilakukan oleh bank sentral di suatu negara, untuk kembali melakukan pengetatan setelah sebelumnya bank sentral tersebut telah melakukan pelonggaran untuk memulihkan perekonomian negara yang terpuruk. Dalam hal tapering off yang dilakukan The Fed – bank sentral US – saat ini adalah dengan cara mengurangi pembelian surat utang.

Ijinkan aku mundur sejenak untuk dapat menjelaskannya.

Pandemi Covid yang terjadi di seluruh dunia saat ini, menyebabkan perekonomian di banyak negara mengalami kelesuan. Aktivitas-aktivitas ekonomi banyak berkurang, menyebabkan penghasilan negara berkurang drastis. Sehingga, untuk memulihkan ekonomi yang terpuruk itu, negara harus memutar kembali roda perekonomian. Maka bank sentral di banyak negara, melakukan step in, dengan cara menurunkan tingkat suku bunga atau mencetak uang. Diharapkan apabila tingkat suku bunga rendah, maka orang akan termotivasi untuk berinvestasi dan berusaha. Uang dicetak untuk membeli obligasi-obligasi, baik obligasi pemerintah (treasury bond) maupun obligasi swasta (corporate bond). Pembelian-pembelian obligasi ini akan menyebabkan harga obligasi-obligasi naik, dan menurunkan tingkat suku bunga jangka panjang (yield) obligasi-obligasi tersebut. Dengan kata lain, pemerintah melakukan peningkatan likuiditas. Hal ini diharapkan akan menggairah pula minat orang untuk berinvestasi.

Likuiditas yang naik, artinya uang banyak beredar. Tetapi ketika uang banyak beredar ini belum dapat diimbangi oleh aktivitas produksi yang sempat lumpuh karena pandemi covid – terdapat shortage labor karena orang-orang belum dapat beraktivitas penuh, resources juga belum siap – maka, meminjam istilah Sri Mulyani, ‘likuiditas ini akan ngecembeng’. Tidak tahu harus dialirkan ke mana, walau tetap saja laksana air, likuiditas ini akan mencari kelas asset alternatif untuk berinvestasi. Terjadilah investasi ke banyak hal, misalnya ke properti dan crypto – menyebabkan property bubble dan harga-harga cryptocurrency melonjak tinggi.

Hal tersebut terjadi 2 tahun belakangan ini. Tetapi awal Nopember 2021 lalu, The Fed telah mengumumkan akan melakukan tapering off. Artinya The Fed akan mengurangi pembelian-pembelian obligasi yang dilakukannya. Tapering yang dilakukan The Fed ini akan mengakibatkan tingkat suku bunga naik kembali. Dan biasanya hal tersebut akan menyebabkan terjadinya capital out. Dana yang semula beredar, termasuk di Indonesia, akan kembali ke US. Likuiditas menurun. Berkaitan dengan cryptocurrency, hal ini bisa pula bermakna bahwa lonjakan harga yang selama ini terjadi pada crypto, akan melambat pula.

Adapun taper tantrum, tentu saja bermakna tantrum – ledakan emosi – yang diakibatkan karena The Fed melakukan tapering off. Tingkat suku bunga akan kembali naik, menyebabkan euphoria yang kemarin sempat tercipta akan tersendat.

Oiya, salah satu akibat banyak bank sentral kapan hari banyak mencetak uang, padahal di sisi lain masih terdapat shortage tenaga kerja dan energi (gara-gara kebijakan menghadapi climate change), adalah inflasi yang naik. Jadi inflasi itu terjadi di banyak negara di dunia, tidak hanya di Indonesia.

Rani Rumita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *