Dari Mahkamah Kehormatan Menuju Hak Angket dan Sidang Istimewa: Perjalanan Penegakan Nilai Etis di Indonesia

Proses persidangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) atas dugaan pelanggaran kode etik Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman belum selesai. Katakanlah Anwar Usman dinyatakan melakukan pelanggaran berat kode etik dan dicopot dari jabatannya, apakah terbuka jalan untuk menganulir atau membatalkan putusan No. 90/2023 yang memberikan karpet merah bagi Sang Keponakan maju Pilpres ?

Toh saat mengabulkan sebagian, MK tidak segan-segan menambah norma baru yang dengan demikian bertindak sebagai positive legislator. Mestinya ada cara supaya putusan No.90/2023 tidak bisa dilaksanakan secara efektif dan segera di tahun ini.

Kalau pun tidak ada solusi lain untuk mencegah putusan tersebut berlaku secara efektif dan segera meskipun hakim yang memutuskan terbukti melakukan pelanggaran kode etik yang berat sehingga harus dicopot dari jabatannya, maka solusi yang tersisa adalah melalui proses politik formal di DPR.

Dengan cara apa proses politik itu dijalankan ? Dengan menggelar hal angket, yaitu hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu pelaksanaan UU/Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Tunggu dulu, keputusan MK adalah produk yudikatif dan MK bukanlah pemerintah melainkan lembaga Yudikatif. Jadi hak angketnya salah alamat dong. Eit…tunggu dulu. Kita perlu melihat konteksnya terlebih dahulu. Bahwa putusan MK menyebabkan turunnya tingkat kepercayaan publik terhadap MK sebab ada conflict of interest di situ dimana Ketua MK adalah paman dari politikus muda, yang memperoleh jackpot politik apabila permohonan dikabulkan. Dan bapaknya adalah orang yang paling berkuasa di negara Indonesia ini.

Kemudian konteksnya disambungkan dengan payung hukum Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pada pasal 2 disebutkan bahwa penyelenggara negara baik itu Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif harus jujur, terbuka dan terpercaya serta mampu membebaskan diri dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik terhadap masyarakat, bangsa dan negara.

Jadi hak angket yang diinisiasi oleh DPR terhadap pembusukan integritas MK memperoleh basis legitimasi normatif dari Tap MPR. Dan yang namanya proses politik, pasti akan terjadi proses negosiasi kepentingan. Ini penting dilakukan untuk menyelamatkan Marwah lembaga-lembaga negara apalagi ada potensi besar bahwa pemilu 2024 tidak akan berjalan secara fair karena keterlibatan oknum2 lembaga negara dalam memenangkan kandidat tertentu.

Bukan tidak mungkin apabila ditemukan bukti yang memadai tentang adanya grand design serta campur tangan istana yang bermuara pada terbitnya putusan no. 90/2023, DPR meminta MPR untuk mengagendakan Sidang Istimewa. Dan kita akan melihat Rakyat Berdaulat ketika Presiden RI datang memenuhi panggilan itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *