Dari Omnibus Lipstick Sampai Lukisan Gagal Pameran (Obrolan tentang Gap Demokrasi)

Saya sedang mencari buku-buku Soe Hok Gie di situs belanja online. Kaget aja kemudian ketika mendapati beberapa judul buku Hok Gie yang nongol diikuti serangkaian foto lipstick dan produk make up.

Namanya juga emak iseng kebanyakan fantasi, pala saya mendadak sibuk mikir algoritma apa yang mempertemukan Hok Gie dan lipstick. Apakah ada bahasa lain di dunia ini yang menyebut lipstick dengan kata ‘soe’ atau ‘hok’ atau ‘gie’…

Atau jangan-jangan perempuan-perempuan saat ini, di samping berpenampilan modis to the max juga penyuka tulisan-tulisan berat Hok Gie? Hati saya mendadak bahagia.

Bluk… ternyata realitas menyakitkan. Fantasi saya yang tinggi itu akhirnya sampai pada kenyataan betapa kudetnya saya. Boro-boro khalayalan saya bener tentang emak-emak kini gemar bacaan serius… ternyata di dunia ini ada produk kosmetik dengan brand ‘Madame Gie’. Brand rajanya lipstick ombre.

Emak-emak lebih paham arti ‘ombre’ sedang saya lebih paham arti ‘omnibus’,membayangkan ‘omnibus lipstick’. Lipstick yang bisa digunakan untuk aneka keperluan. Bisa jadi eyeshadow, bisa jadi blush on tanpa membuat pipi kayak habis ditampar sandal gunung, bisa jadi balsem gosok, dan mungkin juga bisa jadi pencuci mulut. Atau mungkin bisa membuat bibir kita hanya sanggup mengeluarkan kata-kata manis dan magis.

Mungkin ada gap besar antara saya dan realitas di dunia sekitar saya. Saya menyuka apa, mereka menyuka apa. Mereka peduli apa, saya peduli apa. Salahkah itu? Tidak. Semua benar, semua juga ada konsekuensinya.

Demokrasi juga begitu, seringkali ada gap yang menjadikan demokrasi gagal menghasilkan keputusan yang adil… cara terbaik demokrasi mungkin dengan musyawarah hingga mufakat, dimana masing-masing pihak bisa menerima hasil keputusan setelah negosiasi yang panjang. Tetapi dalam skala yang besar, seringkali mufakat sulit terwujud, karena dispersi keinginan-keinginan manusia sangat lebar bentangnya. Maka kemudian manusia menemukan mekanisme voting. Apakah mekanisme ini sempurna? Jelas tidak, seperti juga semua sistem yang ada di semesta ini,  pasti ada celah-celah yang bisa digunakan.

Celah terbaru yang sering digunakan adalah populisme. Menggunakan isu-isu yang ‘populer’ untuk memainkan sentimen masyarakat. Betapapun receh dan dangkalnya isu tersebut, tidak peduli efeknya, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Negara bangkrut misalnya.

Hitler adalah contoh sempurna orang yang ngadalin demokrasi. Naik dengan cara-cara demokratis, karena sukses menggunakan isu kebangutan Jerman padamasyarakat yang sedang putus harapan pasca kalah perang. Ternyata setelah naik, Hitler pula yang menghentikan demokrasi di Jerman. Bahkan membuat masyarakatnya ‘ngelu’ karena terpaksa ikut berperang di sana-sini. Belum lagi genosida yang dilakukan Hitler.

Demokrasi memang punya titik lemah yang membuat praktik demokrasi seringkali mendatangkan hasil yang tidak berkeadilan. Faktor ekonomi dan pendidikan seringkali menjadi titik lemah, menjadikan pemilih emosional, tidak mampu memilih secara rasional. Penelitian Lipset (1959) menunjukkan 4 indikator utama penopang perkembangan demokrasi adalah kekayaan, derajat industrialisasi, urbanisasi dan tingkat pendidikan. Penelitian ini masih ditambah temuan Przworski (2000) bahwa kediktatoran lebih mungkin tumbang di wilayah dengan pendapatan per kapita antara US $ 1,000 hingga US $ 7,000.

Menilik pada Pilkada Jakarta 2024 yang baru usai, didapati fakta bahwa rata-rata masyarakat Jakarta berpendidikan setara SMA dengan per kapita 299,7 juta Rupiah (Data BPS). Tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat Jakarta ini rupanya lebih tinggi dari rata-rata tingkat pendidikan dan pendidikan masyarakat Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatra Utara yang setara SMP dengan pendapatan kurang dari 60 juta Rupiah. Pilkada Jakarta 2024 sendiri dianggap titik cerah bagi demokrasi karena disinyalir nyaris tidak ada noda buruk demokrasi seperti: money politics dan intimidasi untuk memilih calon tertentu. Agaknya pendidikan dan kemakmuran memang indikator utama keberhasilan demokrasi. Agaknya memang kata-kata Bung Hatta dalam Demokrasi Kita memang benar, “Demokrasi membutuhkan kebebasan politik dan independensi ekonomi.”

Kisah kelam Hitler dan sejarah Jerman ternyata juga ada blessing in disguises. Kabar baiknya, kekalahan Hitler bukti bahwa demokrasi tetap yang terbaik, bahkan penelitian pun menunjukkan hal itu. Kabar baiknya lagi, dua dekade pasca Hitler bunuh diri dan Jerman kalah lagi, lahirlah masyarakat dengan kesadaran baru. Rasional, menjunjung HAM, anti perang, efisien, kompetitif dan siap berkolaborasi. Jerman bukan saja maju, tetapi membuat biaya untuk menang pemilu menjadi murah. Menghasilkan politisi dan pemimpin yang qualified dan bukan didukung karena prinsip ‘asal bapak tenang’..

Tentang ‘asal bapak tenang’ itu tergambar apik banget dalam salah satu lukisan yang gagal dipamerkan karena alasan-alasan yang kelihatannya politis. Lukisan-lukisan itu kemudian menyebar viral di aneka jejaring sosial. Sebagai penyuka lukisan ala-ala Scream, Van Gogh dan goresan naif Erica Hestu Wahyuni, saya suka.

Ada lukisan tentang ‘menjilat’. Saya tidak bisa menyangsikan lagi, betapa saya sangat bersetuju dengan ide lukisan itu. Sambil kembali berfantasi, siapa tahu kelak ditemukan ‘omnibus lipstick’ yang mempermudah urusan ‘menjilat’ hanya cukup dengan dioleskan di bibir. Lidah tidak benar-benar bekerja….

Keisengan pula membawa saya browsing aneka artikel tentang perupa Yos Suprapto itu. Salah satu lukisannya tentang cakrawala menggetarkan hati saya. Judulnya matahari kembar di Ibukota. Bukan matahari kembar itu fokus perhatian saya, tetapi pemaknaan sang perupa tentang cakrawala. Selama ini, kata Beliau, cakrawala selalu menjauh bila kita dekati. Tetapi saat ini, justru cakrawala yang mendekati kita. Saya tertawa membayangkan para-para cakrawala membuat aneka konten provokatif sambil membagi-bagi harta untuk membeli suara.

Artikel tentang sang perupa itu ditutup dengan kutipan dari Bertold Brecht:

Ada orang yang berjuang satu hari, itu baik! Ada orang yang berjuang satu tahun, itu lebih baik! Ada lagi yang berjuang bertahun-tahun, itu sangat baik sekali! Tetapi, ada lagi yang berjuang seumur hidup, itulah yang amat dibutuhkan!”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *