Angelina Sondakh menangis, mengatakan dengan terbata-bata tentang alasannya belum berani mengungkapkan dalang kasus korupsi Proyek Hambalang. Di depan Rosiana Silalahi, dalam wawancara di Youtube, Angie menyebut semua itu dilakukannya demi keselamatan Keanu, putranya. Termasuk keselamatan ayah dan ibunya, apalagi Kakak kandungnya pun sudah meninggal.
Namun Angie tetap berharap suatu saat nanti sang aktor utama terungkap ke publik. “Kalau suatu hari itu terungkap, aku nggak punya dendam buat siapapun. Aku cuma pengen anak saya percaya sama saya saja,” tuturnya.
Sontak saja wawancara Angie itu menjadi trending. Bukan hanya masyarakat trenyuh melihat kesadaran baru yang didapat Angie selepas menjadi penghuni lapas selama sepuluh tahun, tetapi juga masyarakat ikut terperangah pada sosok yang bagaikan Voldemort karena ‘namanya tak boleh disebut’.
Apakah tokoh yang ditakuti itu sejahat dan sekejam tokoh utama sihir hitam dari serial Harry Potter juga? Jika begitu banyak orang takut, indikasi ke arah sana pasti ada.
Angie bebas pada 3 Maret 2022, setelah divonis bersalah dalam kasus korupsi pembangunan Wisma Atlet SEA Games 2011 di Palembang. Meski terbukti bersalah, diduga Angie hanyalah pion dalam kasus tersebut dan bagian dari kasus Hambalang yang sering disebut-sebut sebagai mega korupsi. Lucky Sondakh, mantan rektor Universitas Sam Ratulangi, ayah Angie Sondakh, menyebut ada mastermind (dalang) alias aktor intelektual yang telah menjerumuskan putrinya selama berkarier sebagai politisi. Meski didesak Rossi agar menyebut dalang dari kasus tersebut, Angie memilih bungkam. ‘Kalau saya dibilang penakut, saya terima,” ungkap Angie dengan suara bergetar dan menangis.
Tak banyak yang sadar, kakak kandung Angie, Frank Nicolas Sondakh, yang biasa dipanggil Franky, meninggal mendadak di tahun 2014. Tak lama setelah Franky ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Subdit Tipikor Polda Sumut pada kasus dugaan korupsi sebesar 9,6 Miliar rupiah untuk pembangunan Youth Center Manado. Sebelumnya status Franky adalah saksi kunci. Pekerjaan pembangunan gedung Youth Center ini diduga tidak sesuai spesifikasi yang tertuang dalam kontrak.
Franky ditemukan tak sadarkan diri di salah satu kamar hotel bintang lima di Balikpapan, Kalimantan Timur sebelum dilarikan ke RS Pertamina Balikpapan. Di sana nyawanya tidak tertolong. Sesaat sebelum kematiannya, Franky diketahui bersama Semmy Laihitu, mantan Jaksa yang berprofesi sebagai Pengacara di Kota Manado. Kematian mendadak Franky ini tentu menimbulkan trauma pada keluarga besar Angie.
Yang menarik dari wawancara dengan Rossi itu, Angie sempat mengatakan bahwa korupsi tak mungkin dilakukan sendirian. Dan perkataannya ini memang benar sekali. Kasus Wisma Atlet itu sendiri belakangan menyeret beberapa nama lain yang berujung menjadi narapidana. Sebut saja Anas Urbaningrum. Anas terbukti menerima gratifikasi 2,21 miliar rupiah dari PT Adhi Karya terkait dengan proyek Hambalang. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin juga sempat menjadi pesakitan karena kasus yang sama. Ia terbukti memberi gratifikasi pada Anas Urbaningrum sebesar 25,3 miliar dan 36.070 dollar AS dari Grup Permai yang dimilikinya. Masih ada nama mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng yang dihukum 4 tahun penjara di tahun 2014. Saudaranya Choel Mallarangeng juga bernasib serupa.
Salah satu nama kader Demokrat lain yang dituding terlibat adalah mantan Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas. Sang Pangern Cikeas. Dugaan keterlibatan Ibas itu muncul dari pernyataan mantan Wakil Direktur Keuangan Grup Permai, Yulianis saat bersaksi di Pengadilan Tipikor pada 14 Maret 2013. Yulianis menyebutkan, Ibas pernah mendapatkan uang sebesar 200.000 dollar AS dari perusahaannya saat Kongres Partai Demokrat 2020 di Bandung. Ibas juga mendapatkan uang sebesar 900.000 dollar AS dari PT Anugerah Nusantara, perusahaan milik Nazaruddin. Nama Ibas bahkan tertera pada dokumen yang diduga milik Direktur Keuangan PT Anugerah, Yulianis.
Sampai di sini, melihat fakta Pangeran Cikeas menjadi satu-satunya petinggi Partai Demokrat yang lolos dari bui, kita tentu segera tahu, siapa ‘yang namanya tak boleh disebut’ itu.
Belakangan semakin banyak kasus yang menunjukkan bahwa ‘yang namanya jangan disebut’ itu punya kecenderungan untuk kejam. Entah kebetulan atau tidak. Kasus mantan ketua KPK, Antasari Azhar menjadi buktinya.
Antasari menjadi ketua Komisi Pemberantasan Korupsi pada tahun 2007. Dengan berani Antasari, menahan Aulia Pohan yang merupakan besan presiden SBY. Aulia diduga bertanggung jawab atas aliran dana dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) senilai 100 miliar rupiah kepada sejumlah anggota DPR dan pejabat kejaksaan. Aulia Pohan akhirnya divonis di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan hukuman 4,5 tahun penjara dan Mahkamah Agung meringankan hukuman mantan deputi gubernur BI itu menjadi tiga tahun.
Tak lama setelah penahanan Pohan, Antasari didakwa melakukan pembunuhan terhadap pengusaha Nasrudin Zulkarnaen, direktur Putra Rajawali Banjaran yang ditembak seusai bermain golf di Tangerang. Pada 2009 Antasari dinyatakan bersalah melakukan pembujukan untuk membunuh Nasrudin Zulkarnaen, dan divonis hukuman 18 tahun penjara. Antasari mendapatkan pembebasan bersyarat di tahun 2016. Saat pembebasan bersyarat itu Antasari sempat menyatakan tidak akan membongkar ‘rekayasa’ kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Hingga akhirnya, 25 Januari 2017, Antasari mendapatkan grasi dari Presiden Joko Widodo.
Diduga Antasari hanya ditumbalkan, bukan pelaku pembunuhan tersebut. Antasari sendiri pernah mendatangi Bareskrim, Polri pada 14 Februari 2017 dan menyatakan dirinya ‘dikriminalisasi’ oleh SBY. Antasari datang ke Bareskrim, antara lain didampingi Andi Syamsuddin Iskandar. Andi merupakan adik Nasrudin Zulkarnaen dan meyakini Antasari tak terlibat dalam kematian kakaknya.
Antasari juga mengakui pernah diperintah oleh SBY agar tidak menahan Aulia. Pernyataan ini langsung ditanggapi oleh mantan presiden itu dengan menyebut antara lain, “Apa belum puas terus memfitnah dan hancurkan nama baik saya sejak November 2016, agar elektabilitas Agus hancur dan kalah.” Saat itu AHY memang salah satu cagub DKI pada Pilkada 2017.
Tak hanya itu, SBY pun segera menyalurkan hobinya membuat cuitan galau, “
“Yang saya perkirakan terjadi. Nampaknya grasi kpd (kepada) Antasari punya motif politik & ada misi utk serang & diskreditkan saya (SBY).“
Cerita berlanjut saat akhirnya Ahok kalah dalam Pilkada DKI dan ditahan karena dianggap melakukan penistaan agama. Dalam persidangan Ahok, Ketua MUI Ma’ruf Amin menyangkal melakukan pembicaraan telepon dengan SBY. Tapi tim kuasa hukum Ahok sangat yakin bahwa mereka punya bukti percakapan. Kuasa hukum Ahok kala itu ingin membuktikan apakah ada peran SBY dalam dalam demo-demo terhadap Ahok.
SBY segera membuat konferensi pers, mengakui bahwa ada percakapan langsung melalui telepon dengan Ma’ruf Amin walau isinya diklaim sama sekali tidak berhubungan dengan kasus Ahok. SBY merasa dirinya disadap. Puncaknya tentu saja saat SBY menjadi tertawaan warganet saat membuat cuitan viral yang lagi-lagi bernuansa galau:
“Bapak Ma’ruf Amin, senior saya, mohon sabar dan tegar. Jika kita dimata-matai, sasarannya bukan Bapak tapi saya. Kita percaya Allah Maha Adil.“
Warganet menanggapinya sebagai lebay, sok pede dan sok penting.
Dalam persidangan kasus korupsi KTP-elektronik, nama SBY tiba-tiba muncul. Saksi Mirwan Amir, Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI 2009-2014, mengatakan SBY tahu proyek ini bermasalah. Yusnan Sholihin, salah satu pengusaha yang direkomendasikan Mirwan untuk ikut proyek e-KTP dalam persidangan yang sama, menjelaskan adanya enam kekurangan term of reference dalam lelang KTP-elektronik. Tanggapan SBY, “Kita untuk menuju Pilkada, proyek ini harus diteruskan“. Tahun 2010, Kemendagri menyiapkan uang Rp6 triliun untuk proyek ini. Satu tahun setelahnya, polisi mulai menyelidiki dugaan tender KTP-elektronik.
Kasus e-KTP itu sendiri meninggalkan banyak pertanyaan karena satu persatu saksi kunci meninggal. Terakhir adalah Kematian Johannes Marliem, penyedia produk automated finger print identification system (AFIS) merek L-1, yang digunakan dalam proyek e-KTP. Marliem meninggal di Amerika Serikat. pada 11 Agustus 2017.
Sebelum Marliem, ada dua saksi dari kalangan anggota Dewan meninggal. Mereka adalah politikus Partai Demokrat, Mayor Jenderal TNI (Purn) Ignatius Mulyono, dan anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Golkar, Mustokoweni.
Baik Ignatius maupun Mustokoweni diduga menerima aliran dana korupsi e-KTP sejumlah ratusan ribu dollar. Johannes Marliem sendiri menjadi saksi kunci karena ia mengantongi bukti pembicaraan para perancang proyek e-KTP selama empat tahun. Ia meyakini rekaman pembicaraan itu dapat menjadi bukti untuk menelisik korupsi yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun tersebut.
Entah apakah ini suatu kebetulan atau tidak. Masih ada hal lain yang akan mencengangkan kita tentang ‘yang namanya tidak akan disebut’ itu. Kali ini menyangkut kasus kematian aktivis HAM, Munir Said Thalib. Diawali oleh ketetapan Komisi Informasi Pusat (KIP) yang menyebutkan bahwa pemerintah harus membuka pada publik isi laporan Tim Pencari Fakta (TPF) terkait kasus pembunuhan Munir. Tak berselang lama, Kementerian Sekretariat Negara mengatakan mereka tidak memiliki dokumen asli tersebut, dan mengatakan menurut sejumlah laporan dokumen asli itu dipegang SBY.
Bisa diduga apa yang terjadi, pada 23 Oktober 2016SBY buru-buru menjelaskan kasus itu dalam 11 cuitan galau seperti biasa. SBY dan para ex kabinet Indonesia Bersatu sedang menyiapkan penjelasan soal kasus tersebut, tetapi ia merasa difitnah dan ditekan dengan pembentukan opini publik.
Pada 6 Oktober 2016, lagi-lagi cuitan galau muncul. Keterangan panjang diunggah terkait perkembangan kasus Munir di masa pemerintahannya. Intinya menyebut bahwa ‘naskah asli laporan Akhir TPF Munir tidak sengaja dihilangkan, tapi memang belum diketemukan‘ tapi salinan lengkap akan diserahkan ke pemerintah. Epic…!
Entah apa yang terjadi, Tapi kisah-kisah ini semua membuat kita makin memahami mengapa Angie memilih bungkam, demikian juga Antasari. Tentu kita semua, seperti juga doa Angie, berharap agar kasus-kasus ini bisa terungkap kebenarannya. Bukan untuk memelihara dendam, tapi agar orang-orang yang berpotensi bermasalah dengan kemanusiaan seperti itu tak akan pernah terpilih sebagai pemimpin maupun wakil rakyat.
Forgiven but not forgotten….
Iwan Raharjo