Nama Prabowo Subianto terus melesat dalam setiap survei. Angkanya tembus 40 persen, sementara saingan-saingannya sulit beranjak dari kisaran 30 persen. Peningkatan elektabilitas ini sayangnya juga berimbas dengan naiknya serangan pada PS.
Sesungguhnya, rivalitas dengan cara menyerang lawan politik adalah bentuk kampanye negatif yang tak akan dilakukan PS. Sejak awal PS menekankan ia dalam Pilpres kali ini akan menjadi orang pertama yang menekankan kampanye positif. Cara-cara yang fair untuk berkampanye.
Hasilnya jelas terlihat, timses PS bisa jadi satu-satunya timses yang hanya fokus pada visi misi PS untuk Kebangkitan Indonesia. Merangkul semua menjadi saudara dan mengakhiri polarisasi politik. PS memang kini dianggap tokoh penengah, seseorang yang netral dan bisa diterima dua kutub polarisasi itu. Kelompok nasionalis maupun kelompok-kelompok keagamaan.
Posisi PS yang netral ini semakin membuat serangan pada dirinya menjadi-jadi. Keberadaan figur-figur ‘public enemy’ seperti Fadli Zon selalu menjadi titik serangan buzzer-buzzer yang berkepentingan agar PS kalah di Pilpres kali ini. Dukungan dari jaringan HTI/FPI/Wahabi kepada PS pada dua Pilpres sebelumnya juga tak selesai-selesai disuarakan para buzzer untuk menjatuhkan elektabilitasnya.
Karena memang pendidikan politik, pendidikan kewarganegaraan di Indonesia belum mumpuni sehingga mayoritas kelompok masyarakat belum bisa berpikir jernih dan rasional, mengedepankan empati. Masih banyak yang terjebak info-info yang terlanjur tertanam di benak, namun sebenarnya diragukan kebenarannya. Tak mampu mengosongkan pikiran sejenak, melepas prasangka.
Apa yang dikatakan sebagai kedekatan PS dan kelompok radikal, sekali lagi adalah upaya untuk merangkul. Indonesia baru, Indonesia yang lebih baik di masa depan bukanlah sesuatu yang dibangun dari memelihara dendam. Semua kesalahan-kesalahan bangsa ini yang telah terjadi biarlah kita tutup dengan damai. Tidak saling menyalahkan. Yang penting ke depan, setiap pelanggaran dengan keras akan ditindak sesuai hukum yang berlaku. Ini tentu diperlukan keberanian dan ketegasan. Untuk dua hal ini, PS adalah juaranya.
Tetapi orang sering lupa pada satu kelebihan lain dari PS. Kebesaran hatinya. Menerima tawaran Jokowi untik menjadi Menteri Pertahanan adalah buktinya. Banyak tokoh politik sulit berdamai dengan rivalnya. Ego seorang yang merasa diri pemimpin kerap mengalahkan kepentingan yang lebih mulia. Kepentingan Bangsa dan negara.
PS terbukti mampu mengalahkan egonya. Bahkan bekerja sama dan bersinergi sehingga kini Presiden Jokowi nyaman dan mempercayakan banyak tugas-tugas strategis kepada PS. Tak punya dendam dan bisa dipercaya memang kepribadian PS yang harus diteladani.
Ini termasuk juga soal tuduhan Penculikan di tahun 98. Sebagai prajurit yang ksatria, memegang teguh nilai-nilai Sapta Marga, ia menerima dengan perwira semua keputusan tak adil yang menimpa dirinya. Belum tentu orang lain di posisi itu bisa sesabar dan ikhlas itu. Yang lain mungkin akan memberontak, playing victim, berteriak-teriak menyalahkan yang lain. Belakangan tuduhan-tuduhan terhadap PS itu tidak terbukti. Satu per satu kesaksian tentang ketidakterlibatan PS dalam peristiwa penculikan itu terungkap.
PS menunjukkan dirinya meneladani Presiden Soekarno saat diguncang Peristiwa 65. Bung Karno memilih dirinya menjadi tahanan daripada harus melihat bangsa ini terpecah antara pendukungnya, ataupun pendukung rezim baru. Apa yang dialami PS di tahun 98 pun serupa itu. Dinamika politik yang panas saat itu memungkinkan Tentara sebagai perisai pertahanan negara rawan terpecah belah. PS tak ingin itu terjadi, meski ia menanggung cap buruk sebagai pelaku penculikan.
Ketulusan itu tentu membuat para buzzer lawan politiknya makin gerah. Mereka terua menerus mencari isu untuk menghambat bahkan menjatuhkan elektabilitas PS. Food estate kemudian yang digoreng. Dipersalahkan dan dianggap gagal.
Untuk program sebesar Food estate tentulah bukan kewenangan Kementerian Pertahanan semata. Ia adalah program nasional kewenangan Presiden dan melibatkan berbagai sektor. Dan tentu saja multiyears. Bukan langsung instan hasilnya. Bercocok tanam bukanlah seperti membuat benda mati. Begitu dibuat langsung jadi. Bercocok tanam melibatkan alam serta kontinuitas dan waktu yang tak sebentar.
Begitulah begitu banyak orang menyerang, tak lain tak bukan karena PS makin hari makin menunjukkan tak hanya kematangan berpolitik namun juga kenegarawanannya. Ia telah memberi contoh berpolitik yang dewasa dan bertanggung jawab. Adu visi dan bukan cuma lempar isu.
Nia Megalomania