Di Balik Larangan Ekspor Minyak Goreng: Keberanian Jokowi dan Pengusaha Sawit yang Dimanja di Era SBY

Palm Oil Producing Industry Concept with Workers Collecting Fruits, Processing Factory with Pipes Emitting Smoke, Pollutant Gas Emission, Protesters with Stop Banners. Cartoon Flat Vector Illustration

Presiden Jokowi sekali lagi melakukan gebrakan. Dengan gagah berani melarang ekspor minyak goreng dan bahan bakunya per 28 April 2022 hingga batas waktu yang akan ditentukan kemudian. Tujuannya agar pasokan minyak goreng di dalam negeri kembali melimpah dan harganya turun. Harga minyak goreng sendiri terhitung meroket sejak Oktober 2021 hingga menembus di atas 24.000 rupiah per liter.

Keputusan Jokowi kali ini sangat-sangat beresiko. Banyak yang takut Indonesia akan dimusuhi dunia karenanya. Tak semua pemimpin siap melakukannya. Hanya yang berpotensi negarawan saja yang mau. Jangan heran bila semua yang berjiwa patriotis mendukung keputusan besar ini.

Tanpa ragu anggota Komisi VI DPR RI Nusron Wahid menyatakan keputusan Jokowi ini sangat berpihak pada rakyat. Berpihak pada rakyat, saudara-saudara! Yang selama enam bulan terakhir dipusingkan dengan langka dan tingginya harga minyak goreng. Kebijakan baru Presiden Jokowi soal larangan ekspor minyak goreng ini juga sekaligus dianggap sebagai pernyataan perang kepada para konglomerat besar yang tak memiliki jiwa nasionalisme. Keputusan Jokowi ini juga didukung oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki).

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), yang selama ini sangat kritis terhadap meroketnya harga minyak, seketika memuji dan mendukung keputusan Jokowi. Ketua Harian YLKI Tulus Abadi melihat, larangan ekspor  minyak goreng menjadi bentuk hukuman terhadap industri minyak sawit yang dinilainya jumawa. Lebih mementingkan meraup untung di tengah melonjaknya harga minyak sawit dunia, daripada melayani permintaan pasar dalam negeri. Tega memasok minyak goreng domestik dengan harga sangat tinggi. Kebijakan larangan ekspor tersebut dapat membuat industri minyak sawit jera.

Selama ini Jokowi sudah cukup bersabar memberi kesempatan bagi industri minyak goreng untuk menurunkan harga. Namun, para pelaku industri minyak goreng justru terkesan menolak mengikuti harga yang ditetapkan pemerintah. Saat pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng 14.000 rupiah per liter, stok minyak goreng kemasan langsung langka di pasaran. Tapi simsalabim saat HET dicabut, stok minyak goreng langsung melimpah.

Kejaksaan Agung pun belakangan menemukan adanya penyelewengan ekspor bahan baku minyak goreng yang menyebabkan kelangkaan di dalam negeri oleh tiga perusahaan, yakni PT Wilmar Nabati Indonesia, Permata Hijau Group (PHG), dan PT Musim Mas. Segera setelah penetapan tersangka, Persis Solo yang selama ini bekerja sama dengan PT Wilmar, melalui Kaesang Pangarep salah satu pemilik Persis, memutus kontrak kerja sama dengan Wilmar. Menurut Kaesang, meski hubungan kedua belah pihak berlandaskan asas profesionalisme dan tidak ikut campur dalam urusan masing-masing perusahaan, namun Persis Solo memiliki tanggung jawab moral yang berasal bukan hanya dari para penggemar sepak bola, tapi juga masyarakat secara keseluruhan. Apa yang dilakukan Persis Solo terhadap pengusaha nakal dalam bisnis minyak goreng, tentu saja akan diikuti pihak-pihak lain.

Memang kebijakan larangan ekspor minyak goreng ini mau tidak mau akan menggerus pendapatan devisa negara. Namun para pengamat ekonomi umumnya hanya mengkhawatirkan efek keputusan ini bila diberlakukan dalam jangka panjang. Jika ekspor terlalu lama dilarang, industri sawit dalam negeri tidak akan mampu menyerap seluruh hasil produksi. Apalagi buah sawit tidak bisa disimpan dalam waktu lama, sehingga harus segera diolah di pabrik. Petani kecil, yang menjadi 41 persen pemasok biji sawit tentu akan semakin bergantung pada para konglomerat pemilik pabrik sawit. Mereka yang mungkin dengan sadis akan mempermainkan harga dan merugikan petani.

Sebagaimana diketahui, Indonesia adalah produsen minyak kelapa sawit (CPO) terbesar di dunia menggantikan Malaysia. Pengusaha sawit umumnya konglomerat yang tak hanya memiliki pabrik kelapa sawit sendiri tetapi juga memiliki perkebunan kelapa sawit hingga puluhan ribu hektare, bahkan ratusan ribu hektare di atas tanah milik negara yang dijadikan Hak Guna Usaha (HGU).

Era Pemerintahan SBY terkenal dengan pemberian izin gila-gilaan untuk mengubah hutan menjadi lahan sawit. Tercatat di era ini, 10 orang terkaya di Indonesia adalah pengusaha sawit sebagaimana dirilis Majalah Forbes. Mulai dari Anthony Salim dari Grup Salim, Sinar Mas Group hingga Chairul Tanjung yang selama ini lebih dikenal dalam bisnis media dan perbankan. Bisnis sawit juga pernah menyeret banyak petinggi Partai Demokrat dalam kasus korupsi. Mulai dari Hartati Murdaya hingga Nazaruddin. Ini masih ditambah penggundulan hutan (deforestasi) gila-gilaan di era SBY akibat bisnis sawit. Entah apakah SBY masih cukup berperan dalam industri sawit di era Jokowi. Hanya saja, baru-baru ini banyak yang terbelalak saat Ibas membagikan 16 ton minyak goreng di Ngawi. Di tengah kelangkaan minyak goreng.

Banyak yang khawatir, para konglomerat akan marah dan mengganggu pemerintahan Presiden Jokowi. Bukan hanya tak mendukung, namun berkonspirasi dengan pihak-pihak tertentu untuk mengganggu pemerintah Jokowi. Yang paling parah (amit-amit) menjadi bohir bagi setiap kekacauan yang terjadi di Indonesia. Karena keberanian Jokowi ini tentu membuat shock banyak mafia minyak goreng yang selama ini tertawa di atas derita rakyat. Para konglomerat-konglomerat besar  yang mulai bersiap tak lagi bisa meraup untung sebesar-besarnya.

Kira-kira sampai kapankah larangan ekspor minyak goreng ini berlangsung? Para pengamat mengira sampai tercapai kestabilan pasokan dan harga dalam negeri. Larangan ekspor ini juga mungkin menjadi langkah awal mencapai cita-cita besar Indonesia untuk tak lagi menjadi pengekspor bahan baku. Caranya tentu saja sesuai dengan rencana besar Jokowi untuk membangun industri hilir di segala bidang, termasuk bisnis sawit. Indonesia perlahan beralih menjadi pengekspor bahan jadi, setelah sebelumnya mencukupi kebutuhan dalam negeri.

Rintisan ke sana tentu berat. Larangan ekspor minyak goreng, sebagaimana aturan sebelumnya tentang batubara dan nikel, akan membuat Indonesia berhadapan dengan negara-negara dunia yang selama ini menggantungkan diri dari pasokan Indonesia. Bukan sekadar berhadapan konglomerat nakal! Kebanyakan mereka negara-negara yang bermain di industri hilir namun tak punya bahan baku. Tapi tentu saja Indonesia tidak takut. Untuk apa meraup untung yang besar jika banyak rakyat kita menderita. Sebab Undang-undang mengamanatkan agar ‘Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’.

Iwan Raharjo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *