Di Balik Pertemuan Fenomenal Prabowo dan Budiman

Nama besar Budiman Sudjatmiko baru-baru ini membuat reaksi masyarakat perpolitikan Indonesia kian panas di tahun politik ini. Aktivis sekaligus demonstran legend musuh Orde Baru yang kini menjadi politisi dari PDIP itu dengan gagah berani menemui bacapres dari Gerindra sekaligus Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Tak tersisa dendam di antara keduanya, meski di masa lalu keduanya berseberangan. Prabowo dengan besar hati mengatakan bahwa apa yang terjadi di antara keduanya saat itu adalah karena keadaan. Prabowo bahkan dengan mantap menegaskan, “Kita bersaing untuk bersanding.”

Bisa ditebak, pertemuan ini memunculkan sekelompok orang reaktif. Meski kedatangan Budiman ke rumah Prabowo itu tidak mewakili partainya, beberapa tokoh PDIP terlihat jengah dan mengecam pertemuan itu. Mereka menganggap Budiman sebagai kader yang tidak loyal, tidak disiplin, dan tentu saja tidak tegak lurus Partai. Singkatnya, Budiman bukan petugas partai yang baik.

Tak sedikit pula yang mengecam Budiman karena menganggapnya telah melupakan perjuangan Reformasi yang dirintisnya lebih dari dua puluh tahun lalu. Budiman dianggap kehilangan idealismenya karena bekerjasama dengan Prabowo yang sering dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas penculikan Aktivis-aktivis di Tahun 98. Ada pula tudingan Budiman tergiur logistik Prabowo, karena belakangan para buzzer capres kerap menuding capres-capres lawannya bermain uang. Seperti biasa, lempar terus isu negatif ke publik, meski tidak benar bila isu ditiupkan terus menerus, maka akan dianggap sebagai kebenaran.

Ada pula yang menganggap karier politik Budiman sudah habis sejak ia kalah dalam Pemilihan Legislatif 2019. Rekan separtainya pun mengatakan Budiman politisi gagal, karena bukan lagi anggota legislatif, plus gagal menjadi menteri di era Jokowi……

Whatever, reaksi-reaksi itu menunjukkan Budiman tetaplah sosok fenomenal. Untuk orang yang telah dikatakan sebagai politisi gagal oleh rekan senior dari partainya, sungguh aneh bila mereka terlalu reaktif pada Budiman. Jika Budiman memang nothing untuk apa menghabiskan energi menyerang Budiman. Jika ia seorang pecundang, Prabowo pastilah tak akan menyambut Budiman di kediamannya dengan penyambutan lengkap, full team, komplit dengan konferensi pers yang diliput media-media besar. Ini bisa diartikan, Prabowo menghargai Budiman atau bahkan mengerti potensi dan kekuatan Budiman. Kita tahu, ada politisi separtai Budiman yang juga menyatakan mendukung Prabowo, dan Prabowo ‘belum’ mengundangnya.

Walau demikian, pertemuan Budiman sang fenomenal pemberani tak takut mati dengan Prabowo itu juga menghasilkan reaksi positif. Para intelektual umumnya mengacungi jempol untuk langkah Budiman itu. Hasan Nasbi dalam podcast-nya memuji ide rekonsiliasi nasional Budiman. Hasan Nasbi pun sempat nge-tweet tentang FW De Klerk yang bergandengan tangan dengan Mandela dalam rekonsiliasi Afrika Selatan. Keduanya kemudian mendapat Nobel Perdamaian karena menjadi pelopor penghapusan Apartheid.

Ade Armando dan Alifurrahman termasuk yang mengapresiasi Budiman. Bahkan Alifurrahman, yang podcast-nya kerap menyerang Prabowo, perlu membuat satu episode khusus tentang kedekatan batinnya pada Budiman. Bila Budiman menjadi cawapres, katanya, ia tentu akan mengalami pergolakan batin. Bukan tak mungkin ia akan berbalik arah mendukung Budiman.

Dalam podcast itu, Alif menceritakan tentang awal kedekatannya dengan Budiman. Tanpa sengaja Alif mengatakan semua berawal dari ‘penugasan’ kepada Alif untuk mewawancara sekaligus meliput kegiatan-kegiatan pemberdayaan Budiman sebagai salah satu capres potensial. Mengingat kedekatan Alif pada Megawati dan PDIP, bisa jadi penugasan yang dimaksud diberikan oleh Ibu Ketum. Tak lama kemudian, Seword, media yang didirikan Alif merilis content pujian pada Budiman melalui Youtuber Begawan.

Tak hanya Seword, CokroTV yang selama ini terkenal sebagai Ganjarist garis hardcore, bahkan membuat content yang mengapresiasi Pertemuan Prabowo dan Budiman itu. Tak tanggung-tanggung, aktivis perempuan Nong Darol Mahmada khusus terjun mewawancarai Budiman.

Sebelum heboh pertemuan ini, Prof. Rhenald Kasali, akademisi sekaligus motivator terkenal, pernah membuat content khusus yang mengapresiasi Budiman. Rhenald Kasali menganggap Budiman sebagai orang tepat menjadi pemimpin nasional. Integritasnya tak pernah diragukan, intelektualitasnya apalagi, dan tentu saja nasionalisme dan kemanusiaannya. Setelah pertemuan dengan Prabowo itu, Rhenald Kasali mewawancarai Budiman. Mengulik latar belakang dan maksud pertemuan Prabowo dan Budiman itu. Dari wawancara itu terlihat sebuah diskusi yang bernas sekaligus pemikiran visioner Budiman. 

Ternyata geopolitik dan masa depan dunia, khususnya Indonesia, menjadi salah satu diskusi Budiman dalam pertemuannya dengan Prabowo itu. Prabowo bahkan mengajak Budiman merenung, apakah gerakan Non Blok masih relevan. Dunia yang terus berkembang telah melahirkan polarisasi baru yang berbeda dengan era perang dingin, unipolarism versus multipolarism. Pada dasarnya memilih multipolarism serupa dengan kebijakan aktif di gerakan non blok pada masa lalu. Politik luar negeri bebas aktif. Tidak mengikatkan diri pada kekuatan politik tertentu. Concern pada upaya-upaya menjaga perdamaian dunia.

Prabowo dan Budiman juga bersepakat, untuk menyikapi perubahan dunia yang makin cepat dari hari ke hari, suatu Bangsa minimal harus adaptif, untuk kemudian meningkat menjadi Bangsa yang responsif dan antisipatif. Tetapi yang terbaik adalah menjadi scenario builder. Bangsa yang tak terjebak agenda bangsa lain. Indonesia dalam menyambut masa depan harus dipimpin oleh seorang pemimpin yang down to earth futurist. Pemimpin yang membumi namun tetap mempunyai terobosan ke depan dan punya wawasan geopolitik. Siapa pun itu.   

Pertemuan Prabowo dan Budiman ini mengungkapkan beberapa permasalahan dalam dunia politik Indonesia. Pertama, mungkin ada masalah intern di tubuh partai-partai besar. PDIP misalnya, beberapa kadernya bertemu bahkan mendukung Prabowo meski garis kebijakan partai telah menunjuk Ganjar Pranowo sebagai bacapres. PDIP pun tidak terlihat akan bekerjasama dengan PSI, meski PSI telah memilih Ganjar sebagai capres jauh-jauh hari sebelum penunjukan PDIP. Golkar bahkan terancam Munaslub. Bukan tak mungkin Partai Beringin ini akan senasib dengan Partai Demokrat. Kemelut-kemelut intern itu juga terjadi dalam partai-partai lain.

Artinya, mungkin partai-partai sebagai wadah berdemokrasi masyarakat belum melakukan fungsinya dengan benar. Kurang demokratis dan berjarak dengan keinginan masyarakat. Tak cukup mampu menyerap aspirasi masyarakat. Kesan yang ditangkap, keinginan partai sering tidak seirama dengan harapan publik, terlalu politis, memiliki kepentingan-kepentingan tertentu. Akibatnya, pergolakan terjadi di tubuh partai-partai itu.

Bisa jadi demokrasi juga telah menjadi sangat berbiaya mahal. Apa yang kerap disebut secara bercanda dalam obrolan-obrolan di media sosial sebagai ‘konglobirokrat’. Demokrasi dianggap hanya melahirkan pejabat publik yang dipilih karena memiliki ‘darah biru’ atau ‘tajir melintir’. Tentu tidak semua pejabat seperti itu, Presiden Jokowi misalnya. Seorang biasa, tak punya darah biru birokrasi maupun politik, merintis bisnis dan karir politiknya dari bawah.

Di situlah bisa kita pahami mengapa pertemuan Prabowo dengan Budiman diapresiasi banyak orang terutama dari kelompok intelektual dan generasi Z. Hanya dalam tempo singkat, kanal-kanal medsos yang memuat dan mengulas pertemuan itu dibanjiri viewers. Wawancara Budiman dengan Akbar Faisal dalam tempo singkat mencapai 634K viewers, wawancara Budiman dengan Rhenald Kasali bahkan tembus 200K viewers hanya dalam 12 jam. Tidak sedikit yang berpendapat Budiman layak memimpin Bangsa ini minimal sebagai wapres. Artinya, mereka menyukai terobosan Budiman karena telah lelah dengan polarisasi sekaligus perpecahan yang diakibatkannya. Mereka telah lelah pula dengan politik identitas. Mereka pun bosan dengan pertemuan-pertemuan para politisi yang diliput besar-besaran tetapi minim makna. Hanya lobi politik ataupun unjuk barisan.

Pertemuan Budiman dan Prabowo itu terasa sekali nuansa kenegarawanannya. Tak ada deal politik, semua murni demi rekonsiliasi nasional. Menyiapkan persatuan Bangsa agar lebih fokus dan tangguh mempersiapkan tantangan masa depan yang makin sulit. Dunia yang terancam dilanda berbagai krisis. Semua yang sering lupa direnungkan para calon pemimpin Indonesia karena hiruk pikuk dunia politik sering kali begitu sibuk berkompetisi mengalahkan lawan, melupakan cara-cara positif seperti berkolaborasi dan bersinergi.

Mereka berharap pada Budiman serta serta ‘Budiman-budiman’ lain yang berintegritas dan setia pada janji Republik Indonesia untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Iwan Raharjo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *