Aroma Pilpres 2024 semakin menyeruak. Satu persatu partai politik mendeklarasikan bakal Capresnya. Berita-berita seputar siapa yang akan dicapreskan, siapa yang akan dicawapreskan, lobby-lobby elite politik, bahkan tafsir atas aneka gesture para elite politik itu ramai dibicarakan. Berita ini menjadi bahan pembicaraan yang mengasyikkan, mulai dari orang biasa di kampung-kampung, hingga para elite bisnis maupun politisi.
Tetapi sayangnya ada yang luput dari perhatian kita. Semua pembicaraan ‘copras-capres’ itu tak pernah menyentuh hal terpenting yang seharusnya dibahas: visi dan program apa yang akan dijalankan. Sejatinya seorang politisi, apalagi yang akan memimpin suatu negara, haruslah pribadi yang memiliki rekam jejak yang baik, punya keberpihakan pada rakyat dan terutama memiliki gagasan-gagasan yang baik untuk negara di masa depan. Anggap saja semua bakal capres yang telah dicapreskan itu telah memiliki dua kriteria pertama: rekam jejak baik dan keberpihakan kepada masyarakat. Bagaimana dengan gagasan besar untuk negaranya?
Sejauh ini kita melihat berita capres yang banyak disebut dan dimunculkan dalam survey masih terbatas pada isu-isu popular. Ketika membahas relijiusitas, mereka belum berani menyentuh isu-isu sensitif seperti bentuk tindakan tegas yang akan diambil untuk mencegah intoleransi dan tindakan-tindakan diskriminatif pada minoritas. Gagasan agar masyarakat makin dapat menerima keberagaman pun belum ada yang kongkret. Meski semua tahu, sejatinya inti ajaran agama adalah budi pekerti yang berdasarkan kemanusiaan, memanusiakan manusia.
Nama Presiden Soekarno, founding father RI sekaligus penggali Pancasila, kerap disebut tatkala para pemimpin dan politisi itu membicarakan nasionalisme. Tetapi membicarakan tentang gagasan-gagasan Bung Karno dengan komprehensif rasanya masih jauh. Baru sebatas mengenalkan sejarah hidup Bung Karno. Alih-alih memahami algoritma Soekarno. Memahami cara berpikir Bung Karno sehingga dapat menerapkannya pada situasi saat ini. Soekarnoisme yang kekinian.
Salah satu jasa terbesar Bung Karno, selain menggali, merumuskan Pancasila dan memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia, adalah membangun kepercayaan diri Bangsa Indonesia. Kepercayaan diri ini terlihat jelas dalam kebijakan geopolitik Bung Karno. Indonesia, di masa Bung Karno, menjadi trendsetter kekuatan penyeimbang di antara dua kekuatan besar yang ada saat itu. Era Perang Dingin.
Dalam salah satu podcast di YouTube, aktivis Reformasi sekaligus inisiator UU Desa, Budiman Sudjatmiko pernah menjelaskan, kekuasaan global menurut Bung Karno seharusnya secara etis adalah negara adidaya yang tidak menghisap jajahan. Perang Dunia Kedua memang telah membuat banyak negara jajahan merdeka, namun mereka tetaplah belum merdeka secara ekonomi, bahkan secara politik, dari negara-negara yang menjajahnya. Hebatnya, hanya dalam kurun waktu 10 tahun, Bung Karno membawa Indonesia menunjukkan kemandirian dan kepemimpinannya sehingga mampu menjadi inisiator Konferensi Asia Afrika yang kemudian berlanjut dengan KTT Gerakan Non Blok. Kemandirian Bangsa (Bung Karno menyebutnya dengan berdikari, berdiri di atas kaki sendiri) berakibat Pancasila dibahas di forum-forum internasional.
Kini, dunia didera masalah-masalah baru. Munculnya wabah-wabah penyakit baru serta kelangkaan pangan dan energi sebagai akibat kerusakan lingkungan. Geopolitik juga jauh berubah. Perang Dingin telah lama usai, Dedolarisasi dan Amerika sudah bukan satu-satunya kekuatan adidaya lagi. Russia dan China mulai menjadi kekuatan dan poros baru. Russia yang menguasai teknologi nuklir tetapi lemah dalam teknologi informasi, menggandeng China yang memang pakar IT. Mereka saling berbagi teknologi. Lalu ada Ukraina, negeri muda pecahan Soviet yang baru saja merayakan demokrasinya. Memilih pemimpin populis, dan lansung tertatih-tatih menghadapi serangan Russia. Zelenskyy bisa jadi bukanlah seorang pemimpin yang visioner, terpilih karena populer sebagai mantan komedian. Ia gagap menanggapi invasi Russia.
Populisme juga terjadi di Amerika, negeri yang konon simbahnya demokrasi. Donald Trump memenangkan Pilpres dengan mengusung isu-isu SARA. Konon tak ada program dan gagasan besar yang diusungnya. Trump makin ‘fenomenal’ karena menjadi presiden Amerika pertama yang didakwa pengadilan dan terancam masuk penjara.
Berkaca dari kisah-kisah itu, tentu mengkhawatirkan jika Presiden Indonesia di masa depan hanyalah seorang populer, tanpa gagasan besar. Indonesia perlu pemimpin yang tidak gagap di tengah perubahan geopolitik dunia, sekaligus mampu menyelesaikan krisis ekonomi, pangan, energi dan lahirnya wabah-wabah baru. Ini masih ditambah dengan ancaman makin cerdasnya Artificial Intelligence yang makin menggerus lahan-lahan profesi manusia.
Di dalam negeri, kita punya problem sosial baru. Di masa Orde Baru, problem sosial yang ada dipicu oleh konflik vertikal. Pemerintah yang represif. Reformasi menyelesaikan masalah-masalah tersebut dengan adanya Amandemen UUD dan hadirnya regulasi-regulasi baru untuk menjawab tuntutan masyarakat di era Orba: demokrasi dan otonomi daerah. Kini problema sosial kita adalah konflik horizontal. Masyarakat yang mudah bertindak represif, minim literasi sehingga kerap bertindak tanpa data yang valid. Korban disrupsi informasi. Pendidikan di Indonesia menjadi salah satu penyebab utama masalah-masalah ini.
Semua itu menuntut pemimpin Indonesia ke depan harus seorang visioner. Tak cukup hanya rekam jejak yang baik dan berpihak pada rakyat. Visioner menuntut seorang yang cerdas. Cerdas sendiri mensyaratkan keluasan wawasan, kedalaman berpikir sehingga mampu memetakan permasalahan-permasalahan yang terjadi bukan hanya di Indonesia melainkan di dunia. Dari situ akan lahir inovasi-inovasi. Shortcut-nya adalah penguasaan sains dan teknologi. Pemimpin yang menguasai sains dan teknologi.
Penguasaan teknologi ini bukan hanya karena (lagi-lagi) alasan populis: banyaknya pemilih muda akibat bonus demografi. Menguasai teknologi bukan sekadar mampu menggunakan teknologi atau membuat algoritma untuk menyelesaikan masalah yang ada, melainkan menggunakan imajinasinya untuk mengidentifikasi masalah baru yang akan timbul di masa depan atau bahkan menyelesaikan masalah yang belum ada. Di sinilah sains berperan. Sedangkan teknologi akan melahirkan inovasi-inovasi yang berorientasi untuk memudahkan cara hidup sekaligus meningkatkan kualitas hidup.
Mari kita ambil contoh pembangunan Desa menuju kemandirian ekonomi. Sebagai inisiator UU Desa, Budiman Sudjatmiko menjelaskan bahwa menata masa depan Indonesia harus dimulai dari Desa. Desa kita memiliki sumber daya alam yang kaya. Potensi ekonomi yang besar. Sayang selama ini kita lebih banyak menjualnya dalam bahan mentah karena ketakmampuan mengolah. Membangun dari Desa terutama harus mampu mengembangkan penduduk dan UMKM setempat untuk mengolah dan mengelola sumber daya alam itu. Pemerintah bukan hanya harus membuat kebijakan berbasis teknologi yang mendukung usaha rakyat, tetapi sudah saatnya pemerintah mulai melakukan pengadaan-pengadaan teknologi tinggi untuk usaha rakyat sekaligus memberikan transfer pengetahuan. Termasuk mencari komposisi paling optimal antara penggunaan mesin canggih tanpa harus menghilangkan lapangan kerja.
Muara dari pembangungan dari Desa adalah kemandirian ekonomi bagi penduduknya sekaligus ketahanan budaya karena masyarakat Desa selalu mengakar kuat pada kearifan lokalnya. Itu baru salah satu contoh. Pendidikan, salah satu masalah pelik Indonesia lainnya masih gagal mencetak masyarakat yang imajinatif sekaligus memiliki critical thinking. Sedang masyarakat masih mengira orang yang cerdas adalah yang pandai menghafal. Kemampuan menghafal jelas akan dilibas AI, karena kemampuan manusia dalam menghafal tak akan melampaui komputer yang memang tak punya hambatan penyakit-penyakit seperti lupa, linglung ataupun bebal.
Teknologi akan sangat membantu melahirkan sebuah sistem yang baik dan adil bagi siapapun yang hidup didalamnya tanpa pandang bulu. Bangsa yang menguasai teknologi tidak akan pernah game over. Sejarah kekuatan-kekuatan besar dunia telah membuktikan itu. Sejak zaman Firaun.
Masalahnya kita sedang berlomba dengan waktu. Kecepatan perubahan teknologi itu eksponensial, yang menyebabkan kecepatan perubahan sosial juga eksponensial. Sedang negeri kita masih berkutat dengan ‘drama-drama’ politik yang terkadang jauh sekali untuk menjawab persoalan riil masyarakat. Membuat kita nyaris mandeg. Sementara jarak kita dengan teknologi semakin berlipat jauhnya. Mungkin kita harus mulai mengintensifkan pencarian kita pada pemimpin yang paling paham sains dan teknologi (science and technology friendly).
Vika Klaretha Dyahsasanti