Kembali saya akan sedikit ngecupris soal etis, etika ataupun moral. Karena konon, kali ini masyarakat Indonesia sedang berpolemik besar tentang etika dan moral. Polemik ini mengakhiri kecenderungan sepuluh tahun ini saat kita terpolarisasi karena pandangan-pandangan yang berbeda dalam memandang religiusitas.
Pertanyaan tentang moral itu membuat saya kembali membuka buku The Righteous Mind karya Jonathan Haidt. Di Bab empat, Haidt mengutip Politeia (Republic), dialog-dialog Plato dan Socrates tentang keadilan. Ada kisah tentang tokoh bernama Glaukon. Glaukon menantang Socrates untuk memilih: menjadi orang luar biasa jujur dan adil sepanjang hidup tapi dianggap bajingan oleh orang-orang di sekitarnya, atau menjadi penipu, pembohong, orang jahat, namun dianggap jujur dan mulia oleh orang di sekitarnya.
Bagi Glaukon, orang-orang berperilaku etis, hanya karena mereka takut ketahuan atau tertangkap. Mereka takut dihukum, minimal takut reputasi mereka hancur. Perbuatan mereka dilakukan hanya karena legally correct atau bahkan hanya sekadar politically correct.
Berbeda dengan Glaukon, Plato (yang merupakan murid Socrates) meyakini kesempurnaan nalar. Bagi para rasionalis (orang serupa Plato yang memuja kesempurnaan nalar), pada dasarnya kita tahu cara yang benar untuk berperilaku, sekaligus mencela mereka yang berperilaku salah. Bagi Plato, perbuatan manusia didorong oleh alasan-alasan etis (ethically correct).
Jonathan Haidt cenderung mendukung Glaukonan, karena temuan-temuan dalam penelitian psikologi mendukung hal tersebut. Penalaran moral dibentuk dan diasah untuk membantu kita mengejar tujuan sosial yang strategis. Sebagai makluk sosial, manusia membuat tatanan dunia cenderung bersifat Glaukonan. Orang-orang berupaya keras untuk terlihat benar daripada menjadi benar. Penampilan ataupun persepsi orang biasanya jauh lebih penting daripada kenyataan.
Buku itu memberi contoh suatu penelitian yang dilakukan terhadap orang-orang di depan kasir saat menunggu uang kembalian. Kasir diminta memberikan kembalian yang jauh lebih besar dari seharusnya. Ternyata hanya 20% saja yang berterus terang pada kasir dan berkata kasir memberi uang terlalu banyak.
Hasil penelitian menjadi berbeda, ketika kasir memberikan uang kembalian lebih besar dari jumlah yang seharusnya, namun menanyai mereka apakah uang yang diterima sudah benar. Dalam kasus ini, 60% mengatakan uang kembalian terlalu besar dan mengembalikan sisanya. Penelitian ini menunjukkan, bila ada kesempatan, banyak orang jujur akan berlaku curang. Di sisi lain, orang ternyata takut pada hukum, sekaligus juga takut penilaian orang terhadapnya.
Kepedulian terhadap penilaian orang lain ini pula yang menyebabkan kita sangat peduli pada jajak pendapat publik. Kita pun menjadi mudah diarahkan dengan hasil jajak pendapat itu. Sesuatu yang menyebabkan populisme subur, terutama di era post-truth. Akibatnya kita sering terjebak dalam bias konfirmasi, kecenderungan untuk mencari dan menafsirkan hal-hal baru dari nilai-nilai yang sudah kita terima sebelumnya, hanya karena survei mengatakan begitu. Untuk mengatasi bias konfirmasi ini, maka diciptakan uji validitas dan reliabilitas dalam melakukan survei. Tujuannya untuk menguji kesahihan dan konsistensi variabel-variabel suatu jajak pendapat. Entah apakah semua survei memakai tehnik ini.
Haidt kemudian mengatakan, efek buruk bias konfirmasi membuat kita menjadi ahli dalam berbohong, menipu, serta mencari alasan sehingga akhirnya kita pun mempercayai kebohongan itu sendiri. Kita merasa jujur. Ini menjadi antitesis dari pikiran-pikiran Plato dan para rasionalis yang mengatakan, kemampuan menalar dengan baik mengenai isu-isu etis menyebabkan perilaku yang baik. Bagi Plato, pergeseran pandangan ataupun kegamangan menimbang benar salahnya sesuatu secara etika, tak pernah ada. Sekali lagi, penelitian Haidt menyangkal pikiran Plato.
Ini masih ditambah hasil penelitian David Perkins yang menemukan bahwa orang lebih banyak berarguman dari sisi ‘saya’ daripada sisi ‘orang lain’. Jangan terlalu berharap seseorang dapat melihat keseluruhan isu secara utuh dan berimbang. Subyektif adalah kecenderungan manusia. Di sisi ini, seseorang yang sedang ditegur, atau dikritik secara obyektif, cenderung merasa dinyinyiri. Semakin tinggi IQ seseorang, maka ia akan makin mampu mencari alasan-alasan cerdas untuk membentengi kepentingannya.
Haidt kemudian meneruskan tulisannya tentang filsuf Eric Schwitzgebel yang mencoba mencari tahu apa yang dipercaya para rasionalis: bahwa penalaran adalah jalan utama menuju kebenaran moral, dan mereka percaya bahwa orang-orang yang menalar dengan baik, lebih mungkin bertindak benar secara moral. Schwitzgebel kemudian melakukan survei tentang moral. Penelitiannya Schwitzgebel menemukan bila buku-buku etika, yang diasumsikan sebagian besar dipinjam oleh mereka yang peduli etika, lebih banyak dicuri atau tidak dikembalikan daripada buku-buku lain di perpustakaan. Dengan kata lain, ketika seseorang mengatakan melakukan sesuatu dengan beretika, bisa jadi sejatinya justru ia sedang menabrak etika. Ini menjelaskan mengapa seseorang yang terlihat santun, diam dan kalem, bahkan memposisikan diri sebagai victim, ternyata justru menjadi aktor intelektual dari serangkaian pelanggaran etika.
Kemudian Haidt memberikan nasehat yang bagi saya cukup jitu. Bila Anda ingin membuat orang berperilaku lebih etis, ada dua cara yang bisa anda tempuh. Anda bisa mengubah sifatnya tetapi memerlukan waktu yang sangat lama. Atau Anda dapat membuat orang itu melihat hal-hal lain yang menggugah intuisinya untuk berperilaku etis. Regulasi yang ketat, viral di media karena hal-hal tak etis, mungkin bisa men-drive seseorang menjadi berlaku etis.