“Fanatisme VS Rasionalitas Pendukung Capres/Cawapres”: Hasil Diskusi Forum Pasar Gede (1)

Diskusi publik digelar oleh Forum Diskusi Pasar Gedhe pada Jumat 10 November 2023, di Cendhono Cafe, Kota Solo dengan mengangkat tema “Fanatisme VS Rasionalitas Pendukung Capres/ Cawapres”. Berikut notulensinya:

NOTULENSI DISKUSI 10 NOVEMBER 2023

FORUM DISKUSI PASAR GEDE

Tema: FANATISME VS RATIONALITAS PENDUKUNG CAPRES DAN CAWAPRES

Moderator: Guntur Wahyu Nugroho

Moderator (M): ada dua macam orang yang sulit dinasehati: 1. Orang jatuh cinta 2. Pendukung capres atau cawapres. Mereka tidak bisa menerima kritikan bagi calon pilihannya. Sulit rasional.

Kami melihat bila pilpres kali ini konsentrasinya adalah mengkritisi masalah-masalah politis seputar Capres/cawapres. Karakter program kerja dan visi misinya itu justru jarang diulas. Sayangnya yang kita lihat antar pendukung sudah caci mencaci. Sehingga yang terjadi berantem, gelut.. mulai dari gelut onine sampai gelut beneran.

Kami harap pendukung bisa rasional. Meski dari pengamatan kami, yang sering rame pendukung Prabowo Gibran dan Ganjar Mahfud. Kami meminta masukan dari Bapak-bapak Ibu tentang fanatisme yang terjadi

Ajiyono, Koordinator Ganjarist Solo Raya: Saya termasuk pendukung awal Ganjar. Mendeklarasikan Ganjar di Agustus 2021. Saya bukan orang partai. Saya pernah bersangkutan kerja dengan Prabowo Subiyanto saat Danjen Kopassus, Ganjar saat Gubernur dan Anis karena punya rumah di Jakarta.

Saya rasional aja. Jempol saya buat Ganjar. Tiga calon semua bagus. Tapi saya pilih yang terbaik. Saya lihat saya rekam jejaknya baik.

PS lebih TNI daripada TNI. Beliau tidur bareng prajuritnya di Barak. Keras dalam arti disiplin tentara. Tapi mengurus negara tidak seperti negara. Barak Kopassus saya yang ikut membangun.

Tapi kalau di birokrasi, lebih pas Ganjar.

Anis, jelas payah. Buktinya adalah pembangunan Jakarta. Tidak bisa memaksimalkan pembangunan meski ada Litbang di sana. Berapa kali ada masalah-masalah sepele yang tidak perlu terjadi kayak kelebihan bayar dll. Herannya meski ada banyak kejadian, kenapa tidak pernah ada panggilan Kejaksaan dan KPK.

Saya memilih rasional karena berpikir atau bertindak berdasarkan logika.

Pandapotan Rambe, Dosen. Praktisi Komunikasi: Di sini saya membahas dari pengalaman di Kampus. Kebetulan saya mengajar Pancasila, Anti Korupsi dan Komunikasi Politik.Apa yang ada di textbook sangat berbeda dengan yang terjadi saat ini. Saya ingin mahasiswa saya rasional.Sebagai odsen saya harus berdiri di atas semuanya, meski saya telah punya pilihan.

Tugas kami sebagai dosen adalah membuat anak rajin membaca. Sebagai aktivis mahasiswa UNS 83, dulu sebelum bicara kami membaca. Baik Sukarno dll. Anak sekarang beda. Otaknya sudah templates. Tergantung dari siapa yang mencuci otaknya. Mereka tidak lagi bisa berpikir rasionalitas. Yang paling penting adalah mengajarkan rasionalitas bagi mahasiswa. Itu yang saya takutkan akan adanya kampanye di kampus. Takut mahasiswanya ribut, dosennya juga.

Moderator: dulu memang dibiasakan berpikir kritis, sekarang cangkokan.

Bagi kami, daripada para pendukung-pendukung itu bertengkar. Lebih baik yang bertengkar di atas. Elitis. Konflik horisontal biar di atas aja. Antara elit. Bukan masyarakat. Pendukung di grass root melihat gonjang-ganjing dengan tanpa baper. Ngopi bareng

Zaga, Dosen FE UNS: Saya tidak bergabung partai. Saya hanya mewakili pemuda. Menurut saya judul diskusi salah. Lawan rasionalitas itu emosionalitas.. dari emosional itu menuju fanatisme. Menurut saya, yang emosional pendukung PS, yang rasional pendukung GP.

Kedua, apakah saya rasional atau emosional? Saya rasional, sampai ini saya belum bergabung dengan relawan manapun. Belum bergabung dengan manapun.

Imelda Yuniati, relawan Gibran Kagege Bolone Mase: Inilah pemilu paling demokratis yang pernah saya ikuti. Karena sampai H min sekian sebelum pencoblosan, kita belum tahu siapa yang akan dipilih.

Kalau rasional, saya kira semua rasional. Hanya kemudian bisa menjadi fanatis. Di situlah mengapa saya pribadi tidak canvasing pada pemilih yang sudah menetapka A atau B, tetapi memilih yang swing.

Kalau yang dianggap fanatik pendukung PS, rasanya ya enggak juga. Kita semua ada yang fanatik dan ada yang tidak. Yang sehat banyak kok. Yang ada adalah para swing voters yang salah Googling. Kena cekokan di mana gitu.

Ajiyono: Saya sampai ke Solo tahun 1988. Gibran sebagai walikota saya nggak paham tapi tidak ambil pusing.

Bonnie Herwendra, pengusaha Semarang: Melihat judul diskusi ini, bagi saya judulnya salah. Benar. Pemilihan Capres dan Cawapres ini bagi saya irasional. Rasional bisa dibikin. Misal, saya tertarik X saya bisa dirasionalisasi. Fanatisme bukan kesalahan otak, tetapi penyimpangan konstruksi berpikir.

Ada pengalaman saya pribadi. Di Gedung Wanita Solo, saya melihat Gibran dengan sebel. Bocah kemaki, ndangak, tengil… Tapi Rabu pagi saya melihat dia di KPU saat pendaftaran Cawapres dengan beda. Lebih keren. Tengilnya hilang. Kalau cewek saya jatuh cinta.

Mengenal rasional, apa benar politik di Indonesia itu rasional? Di mana letak rasionalitasnya kalau PKB gabung PKS? Kita anggap Indonesia masih muda dalam demokrasi.  Kita lihat di Amerika, pemilih Partai Republik dan Demokrat itu irasional. Tetap patron klien.

Ayolah kita rukun.

Moderator: mengutip suatu ungkapan, ‘Politik itu main-main, tapi korbannya yang bukan main.”

Teddy, Ganjarist: Saya bagian dari pendukung Gama.

Irasional memang bisa dirasionalisasi, namun fanatisme tidak bisa.

Fanatisme saat ini cenderung tidak ada. Karena kita semakin moderat. Semakin terbuka dan adaptasi dengan perkembangan situasi yang terjadi. Rationalitas sebenarnya tidak perlu lagi. Karena politik membutuhkan kedalaman rasa. Tidak bisa tiba-tiba. Tapi ada kedalaman rasa.

Ada Malin Kundang, pengkhiatan.. karma politik itu ada. Hati-hati dengan itu. Itu adalah wilayah rasa. Bila ingin main-main nggak apa. Tapi kita lihat sampai mana kekuatannya.

Berdasarkan proses pula, kita akan melihat konsistensi seseorang membangun bangsa ini dengan mengutamakan kepentingan bangsa, bukan keluarga atau golongannya. Jadi konsep-konsep merasa disakiti itu seharusnya sudah selesai. Perjuangan masa depan akan lebih sakit. Makanya ‘rasa’ harus dipakai. Tega atau tidak tega akan menjadi rasa yang banyak dipergunakan.

(bersambung ke bagian 2)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *