Feodalisme Dalam Dunia Pendidikan Tinggi Indonesia

Sejak PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum) diberlakukan, sebenarnya idealisme pendidikan tinggi negeri sebagai mercusuar sekaligus benteng masa depan bangsa telah lama runtuh. Tujuan awal Pemerintah menjadikan PTN ber-Badan Hukum, idealnya untuk memberinya status otonomi agar bisa menggalang dana dari masyarakat (dalam arti luas), baik secara khusus kepada calon mahasiswa maupun sumber2 dana lainnya yang memungkinkan ia bisa semakin mandiri.

Catat untuk mandiri! Bukan untuk jadi serakah dan melimpah ruah…

Bagaimana sebuah PTN bisa “naik kelas” berstatus berbadan hukum? Konon ada lima alasan dasar, yang bila dilihat sepintas menjadi sangat sumir dan debatable, yaitu: (1) Mampu menyelenggarakan Tridharma Perguruan Tinggi yang bermutu; (2) mengelola organisasi PTN berdasarkan prinsip tata kelola yang baik; (3) memenuhi standar minimum kelayakan finansial; (4) menjalankan tanggung jawab sosial; dan (5) berperan dalam pembangunan perekonomian.

Dari kelima alasan tersebut, bukankah seluruh PTN maupun PTS juga demikian adanya. Memiliki ide dasar, fungsi dan kontribusi yang sama persis. Tapi mengapa sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012, hingga sepuluh tahun kemudian di tahun 2022 hanya ada 15 PTN yang menyandang status BH? Sekali lagi ini hanya mencontoh gaya kapitalisme dan leberasme pendidikan, yang ukurannya sekedar membuat “rangking dan rating”. Yang daripadanya melahirkan tuntutan bahwa pendikan yang baik korelasinya harus selalu mahal!

Dengan demikian, alih2 semakin memerdekakan fungsi PTN sebagai kawah candradimuka generasi muda terbaik bangsa. PTN tak lebih etalase toko yang saling bersaing dalam menjajakan dirinya. Ia tidak pernah betul2 memandirikan dirinya, memberikan subsidi kepada masyarakat yang tidak mampu, dan basis riset yang bermanfaat langsung bagi masyarakat. Ia justru jatuh harga sebagai ajang eksploitasi mahasiswa baru di satu sisi, dan saling bersaing berebut dana CSR yang memang saling terkait erat antara para alumni dan almamaternya.

Pola eksploitaisi vertikal dan horizontal, yang pada akhirnya menjadi ajang korupsi sebagaimana jamak terjadi di hari-hari ini.

Hal ini menyiratkan bahwa feodalisme yang di masa lalu, coba dibongkar habis dan dijadikan alasan memerdekanakan kembali bangsa ini. Justru kembali tumbuh subur, bukan sekedar difasilitasi, didorong sekuat tenaga banhkan dengan dilindungi undang-undang.

Di sinilah barangkali celah, jurang atau mungkin kesenjangan antara PTN-BH dengan yang bukan. Apa pun hal yang dilakukan oleh “Kelompok 15” seolah sah, benar, dan legal. Para petinggi PTN tersebut berperan seolah mereka adalah “land lord” atau tuan tanah yang berhak menetapkan tarif berapa pun, agar seorang calon mahasiswa bisa diterima di PTN yang berada di wilayah kekuasaan mereka. Mereka tentu saja akan punya 1001 argumentasi kenapa begini, mengapa begitu!

Hingga harusnya bisa dimengerti, apa yang dilakukan oleh PTN-Bukan BH sebenarnya adalah mencuri2 celah dan kesempatan di antaranya….

Apa yang dilakukan Rektor Unila itu adalah sebuah gunung es yang hanya “kebetulan” saja dibongkar hanya untuk dijadikan demplot, suatu contoh. Bahwa akhirnya mereka para “land lord” itu bisa juga dihukum. Secara pribadi, saya yakin apa yang terjadi di Unila, juga dimungkinkan terjadi di nyaris semua PTN yang termasuk strata Perguruan Tinggi Badan Layanan Umum (BLU). Yang berada di jalur tengah, di atas status terbawah yang sekedar sebagai “Satker”. PTN Satker inilah yang sebenarnya cerminan yang jauh lebih “murni ala masa lalu”, ketika seluruh hidupnya masih ditanggung oleh APBN.

Bahwa sebelumnya, KPK telah jauh hari mengendus sinyalemen “praktek jual beli kursi” itu sudah sering diberitakan. Bahwa konon KPK, secara khusus telah melakukan safari inspeksi untuk terus mengingatkan. Terutama menyangkut PTN yang berstatus “abu-abu” seperti PT-BLU itu. Status yang daripadanya pengelolaan kampusnya bisa berjalan secara lebih “fleksibel”. Dimana ia bisa “meniru” kakaknya, menetapkan jalur penerimaan melalui berbagai jalur. Tapi dengan pertanggungjawaban yang jauh lebih longgar.

Di sinilah celah dan kesempatan ini dimanfaatkan, dengan tanpa pandang bulu jurusan. Konon untuk jurusan paling tidak populer sekalipun, diterapkan “sumbangan” yang tidak masuk akal. Bayang seseorang yang “hanya” masuk di jurusan bimbingan konseling harus dipalak hingga angka 20 juta. Jadi tak mengherankan bila di Jurusan Kedokteran bisa mencapai angka hingga 350-500 juta. Sebuah angka yang tidak masuk akal, hanya untuk sekedar sebuah PTN semenjana di daerah yang sesungguhnya secara status sosial-ekonomi masih termasuk dprovinsi tertinggal secara akademis.

Namun demikianlah adanya watak dasar “tuan tanah”. Mereka apa pun profesinya adalah manusia serakah. Mereka yang merasa bisa memanfaatkan setiap “lahan”nya seproduktif mungkin. Bila perlu memadukan pola intensifikasi sekaligus ekstensifikasi.

Persoalan yang ramaai di hari ini, menjadi sangat menyedihkan, ketika menelisik sosok Karomani, seorang “profesor langka” yang meniti karier dari strata yang paling bawah. Ia adalah kloter terakhir lulusan dari Sekolah Pendidikan Guru (SPG) sebelum level ini dianggap tak lagi relevan bagi zamannya. Artinya ia adalah orang yang sejak awal dibekali “ilmu pedagogik”. Pendidikan karakter yang barangkali di masa sekarang dianggap bukan lagi tugas seorang guru, tapi menjadi lahan bisinis bagi mereka yang mendaku diri sebagai “motivator”.

Tak heran ia menjadi salah satu bagian dari Forum Rektor, yang menjadi ketua bidang “Pendidikan Karakter”. Dalam banyak kesempatan, ia sering terdengar mengkritik “tanah air”-nya sendiri, daerah Pandeglang yang sejak masa kolonial hingga hari ini, yang satu2nya hal yang abadi justru adalah keteringgalan dan keterbelakangannya. Bukan saja karena luas wilayahnya, keterpencilannya, tapi watak para warga yang teraniayai sementara pemimpinnya yang tak lebih sebagai “para penjahat berdasi yang tega memeras rakyatnya”.

Watak feodalistik yang ternyata bukan saja menjadi pilihan karakter para pemimpin, tetapi menular pada warganya. Dan pendidikan sekalipun ternyata tak mampu menghapusnya, terapi justru ia menjadi “baju baru” untuk melanggengkannya.

Secara pribadi, saya sudah lama putus asa dan hilang harapan terhadap sistem pendidikan di Indonesia pasca orde reformasi. Hanya tampak “cuma-cuma, tak berbayar” di pendidikan negeri hingga sampai tingkat menengah pertama. Salah kelola, karena hanya berfokus pada tertib administrasi tapi nyaris miskin inovasi dan kreatifitas. Namun karena karakternya itu justru menjadi kuda tunggangan untuk ambisi kelompok mayoritas yang lebih mengedepankan “imtaq”, berbasis agama. Dengan menutup habis harapan bahwa pendidikan justru adalah jalan berpikir kritis, merdeka, dan kreatif.

Dimana akhirnya penyeragaman adalah jalan pilihan yang ditempuh atas dasar menubuhkan kebersamaan dan penegakan kedisplinan. Yang sering disamarkan atau malah disalahartikan sebagai pendidikan karakter!

Aneh, karakter kok seragam…

Satu-satunya yang seragam, di masa kini adalah keinginan menjadi para feodal baru. Mereka yang berwatak pengejar rente, jual beli lahan yang justru sadar bahwa itu bukan miliknya. Kesempatan sesaat yang harus sepenuhnya dikejar, justru karena memahami mereka selalu berada dalam kesempitan waktu…

Pendidikan kita hari ini adalah wajah acak adut berwatak dasar feodalisme, dalam semangat keserakahan kapitalisme, namun dalam bungkus agama yang tak boleh dibantah dan ditawar.
.
.
NB: Saya menolak asumsi ngawur yang mengatakan apa yang terjadi dalam kasus Prof. Karomani, karena afiliasi politiknya yang berbau PKS. Bagi saya siapa pun mereka yang ada di level PTN yang berstatus BLU akan melakukan hal yang sama. Pembedanya, hanya jauh lebih halus dan tak seserakah itu. Mereka yang sangat tersamar dan tidak provokatif. Atau sebaliknya, jauh lebih sarkastis dan rakus, tapi lagi beruntung tidak kegaruk KPK. Bukankah, dalam setiap operasinya KPK dalam melakukan OTT sekedar sebagai “contoh kasus”.

KPK itu wataknya dasar kolektor kasus yang menjadikannya sekedar deret hitung. Hanya eksibisi, yang tak pernah menyentuh hingga ke akar.

Praktek jual-beli kursi di PTN, saya yakin tak akan pernah pupus, selama yang membutuhkan “status, gelar, dan ijazah” justru adalah si orang tua. Ini adalah persoalan keluarga yang diseret2 ke area publik. Kebutuhan ambisi dan pencitraan pribadi yang akhirnya dimanfaatkan banyak pihak yang semestinya adalah benteng terakhir peradaban intelektual. Mereka yang sudah sejak ratusan tahun lalu telah diingatkan oleh Harry J. Benda sebagai “para calon pengkhianat baru” justru karena satus nya sebagai para intelek.

Negeri ini semakin jauh dari cita2 awal kemerdekaan, untuk memupus habis kolonialisme yang sesungguhnya dimungkinkan karena watak para pemimpin domestiknya yang sedemikian feodalistik. Saya makin bisa memahami kenapa pendidikan ala Taman Siswa yang dulu digaungkan Ki Hadjar Dewantara dengan jargonnya Tu Wuri Handayani, hanya tersisa sebagai pameo tinimbang mengakar sebagai ideologi.

Tersebab tuntutan harus mapan, yang selalu disalahartikan sebagai jadi kaya raya. Tuntutan untuk menjadi cerdik cendekia, hanya dengan berderet gelar akademisnya. Tuntutan ini itu, ambisi bla bla bla yang sebenarnya malah bukan tujuan dasar pendidikan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *