Mungkin berulang kali sudah saya katakan hal ini: pernah ada masa saya agak ‘menertawakan’ peringatan Hari Kartini dan Hari Perempuan hanya sekadar dengan parade berbusana tradisional. Waktu mengubah saya sedikit lebih bijak. Saya tidak menertawakannya lagi, alih-alih mengecam. Saya bahkan sampai di suatu titik dimana saya juga menikmati betapa estetiknya event berbusana tradisional.
Kartini sendiri dalam suratnya pada Stella Zeehandelar, menulis, perhatian publik Belanda yang besar pada dirinya dan adik-adiknya, bisa jadi berawal karena tampilan mereka yang eksotis dengan kebaya dan sarung. Akan berbeda jika mereka sehari-hari berbusana Eropa. Pikiran-pikiran progresif dari perempuan Jawa yang sehari-harinya masih berbusana adat.
Dari sana kemudian tulisan-tulisan Kartini di media menyentak kesadaran mereka, sama seperti Max Havelaar yang kemudian membangkitkan kesadaran Belanda untuk menerapkan politik etis di wilayah koloninya.
Lalu bagaimana nasib perempuan pada hari ini? Jelas sudah jauh lebih baik. Kesempatan yang terbuka lebar untuk berkarir. Peningkatan keamanan dan kenyaman saat di ruang publik, kesehatan reproduksi yang lebih baik. Meski tentu saja bukan tanpa kekurangan.
Hingga hari ini perempuan kerap dipersepsikan sebagai kaum rempong, gemar meribetkan hal-hal yang tidak substansial. Tentu tuduhan itu tidak tanpa dasar, meski tidak bisa dianggap sebagai stereotype perempuan. Perlu riset mendalam untuk membuktikan kesahihan anggapan tersebut.
Namun,
Dunia keseharian kita memang tidak asing dengan perdebatan berlarut-larut di suatu pertemuan PKK, hanya untuk menentukan apakah yang akan dihidangkan dalam rapat adalah lemper bungkus daun pisang atau lemper bungkus plastik. Tanpa alasan yang esensial seperti ramah lingkungan versus efisiensi… atau setidaknya kesukaan mayoritas peserta. Semuanya hanya adu subyektivitas.
Belum lagi keributan berbuntut like and dislike hanya karena hal receh seperti dress code dan pose saat foto bersama. Ditambah mudahnya kaum perempuan terbuai tampilan dan gaya hidup hedon sekaligus menjadi dangkal karena kesadaran religius-spiritual mandeg sebatas mengikut aturan berbusana. Belum meningkat dalam kesadaran etis.
Jika diperpanjang lagi, maka berujung pada ketidaksukaan perempuan terhadap kaumnya sendiri, ketika mendapati ada perempuan lain yang berprestasi. Resistensi pada Ibu Megawati, Sri Mulyani, Neno Warisman, Ratna Sarumpaet dll bisa jadi lebih kuat diutarakan perempuan sendiri daripada resistensi pada Rafi Ahmad, Ahmad Dhani dan Hotman Paris. Semuanya lagi-lagi dengan alasan subyektif, penilaian pribadi yang bias.
Saya kira itulah tantangan kaum perempuan ke depan. Mengurangi stereotype sebagai kelompok ‘baperan’ dengan menjadi pribadi yang tangguh. Mengurangi fokus yang berlebihan pada apa-apa yang hanya bersifat tampilan, kulit, ataupun topeng.
Julia Suryakusuma, feminis terkenal, menyebutkan peran sentral perempuan Indonesia dalam memperjuangkan demokrasi di tahun 98. Saat itu Suara Ibu Peduli bergerak turun ke jalan menyuarakan keprihatinan atas naiknya harga susu. Bersama gerakan mahasiswa, gerakan perempuan ini akhirnya menumbangkan orde baru dan menjadi motor Reformasi. Negara menjadi lebih demokratis dan menjunjung HAM.
Demokrasi, seperti kita semua tahu, memiliki unsur kesetaraan. Kesempatan yang sama dalam penyelenggaraan negara, sehingga dimungkinkan terjadinya checks dan balances, mencegah suatu kelompok menjadi terlalu kuat dan bertindak semena-mena. Intimidatif dan menindas.
Ada sebuah peribahasa suku Indian Cheyenne:
“A nation is not conquered until the hearts of it women are on the ground. Then it’s finished; no matter how brave its warriors or how strong their weapons…”
Jika suatu bangsa bisa dikalahkan dengan menaklukkan kaum perempuannya, maka logis jika kebalikannya juga berlaku. Jika perempuan dijadikan benteng awal dan akhir bangsa, niscaya bangsa itu akan kuat. Perempuan Indonesia sudah pernah menjadi pelopor demokrasi, tentu juga bisa menjadi pelopor lainnya. Termasuk juga pelopor penjaga demokrasi.
Selamat Hari Kartini