Pangeran Cikeas kembali beraksi. Kali ini Kanjeng Ibas ditemukan sedang asyik pencitraan bagi-bagi minyak goreng. Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat bernama panjang Edhie Baskoro Yudhoyono terlihat dalam kegiatan pasar murah dengan menyalurkan 16 ton minyak goreng di Ngawi, Jatim, Selasa 8 Maret 2022. Demikian banyak tertulis di media-media.
Sang pangeran pun terlihat ikut sibuk menuangkan minyak per liter secara langsung untuk para warga yang sedang mengantre. “Meniko, biar kulo sing tuangkan langsung minyak gorengnya ya. Sabar…. Sabar ya Bu.. ikut antri,” demikian kata sang Pangeran meski terlihat sedikit canggung.
Sambil membagi minyak goreng itu, Ibas berkata bahwa ia mendapati realitas di Kabupaten Ngawi bahwa minyak goreng langka. Realitas yang ditemuinya saat ia reses. Dan realitas ini sungguh meresahkan hati Kanjeng Ibas. Sebagai wakil rakyat, Ibas mendapati realitas bahwa ia harus menyerap aspirasi rakyat soal kelangkaan minyak goreng ini. Ibas terus menerus menyebut kata realitas. Ia terlihat sedang suka kata realitas. “Akan tetapi, realitasnya masyarakat masih harus membeli minyak goreng dengan harga yang lebih dari itu, bisa sampai 20 ribu hingga 30 ribu,” ungkap Ibas.
Tentu saja ada realitas yang lupa disebutkan Ibas. Mau tahu banget?
Pertama, Ibas lupa realitas bahwa Angelina Sondakh sudah menghirup udara bebas lagi. Angie kini bebas berbicara realitas tentang peran Ibas dalam kasus-kasus korupsi yang mengaitkan Partai Demokrat. Realitas ini mungkin sengaja dilupakan Ibas karena bisa bikin pala puciiiiiing.
Realitas kedua yang juga tak diungkap Ibas, dari mana ia mendapat minyak goreng hingga 16 ton? Dari hobi koleksi minyak goreng alias menimbun? Tentu saja hal ini aneh. Ibas sendiri realitasnya sempat berkata agar mereka membatasi pembelian minyak goreng, realitasnya ia punya akses ke minyak goreng hingga 16 ton.
Sebenarnya ini tidak perlu kita herankan. Era Pemerintahan SBY terkenal dengan pemberian izin gila-gilaan untuk mengubah hutan menjadi lahan sawit. Bisnis sawit yang menjadi bahan baku minyak goreng, disinyalir punya banyak peran untuk membesarkan Partai Demokrat.
Kita bisa melihat realitas ini dalam studi LSM Greenomics Indonesia. Tercatat di sana, luas pelepasan kawasan hutan untuk ekspansi perkebunan sawit masa SBY jauh lebih besar dibanding masa Presiden Joko Widodo yang telah menerapkan moratorium atau jeda tebang untuk lahan sawit.
Dilansir dari Antara pada 29 Maret 2019, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, Vanda Mutia Dewi mengatakan pelepasan kawasan hutan menjadi lahan sawit pada era SBY mencapai 1,77 juta hektare atau 27 kali luas DKI Jakarta. Pada era itu, pelepasan kawasan hutan untuk ekspansi perkebunan sawit mencapai 96 persen dibanding pelepasan kawasan hutan untuk hal lainnya.
Riset lain berjudul Tycoon in the Indonesian Palm Oil menyatakan ekspansi luar biasa perkebunan kelapa sawit di era SBY itu menciptakan masalah lingkungan dan sosial secara serius. Terjadi kerusakan hutan secara berkesinambungan dan hilangnya hak tanah oleh masyarakat, disebabkan oleh ekspansi perkebunan sawit. Di sisi lain, para pemilik perusahaan justru diduga memarkir dana kekayaan mereka di negara surga pajak. Selama masa itu, yang menjadi pebisnis sawit di Indonesia adalah 25 grup bisnis raksasa yang masuk kategori orang terkaya di Indonesia dengan aset mencapai 2-6 miliar USD. Puluhan raja sawit itu punya konsesi tanah berskala puluhan sampai ratusan ribu hektar, yang tersebar dari Sabang hingga Merauke.
Realitas berikutnya yang kembali mencengangkan kita, bisnis sawit terbukti menyeret petinggi Partai Demokrat tersangkut masalah korupsi. Sebut saja mantan anggota penasehat Partai Demokrat, Hartati Murdaya. Sebagai pebisnis sawit di bawah nama PT Hardaya Inti Plantations (PT HIP) yang memiliki lahan seluas 70 ribu hektar di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah (Sulteng).
Hartati Murdaya kemudian terlibat suap pengurusan sertifikat Hak Guna Usaha perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Nama Hartati sendiri sempat dikaitkan dengan kasus korupsi IT KPU Pemilu 2009. Hartati adalah oknum dekat Cikeas, entah apakah Ibas akan mengakui realitas ini. Pengadilan kemudian membuktikan Hartati terbukti bersalah atas Tindak Pidana Korupsi.
Terkuaknya kasus Hartati Murdaya membukakan mata banyak orang tentang imbalan yang diminta oknum-oknum dalam pengurusan izin perkebunan sawit. Kedekatannya dengan SBY serta posisinya di Partai Demokrat seolah menjelaskan bila Demokrat ada dibalik oknum-oknum tersebut. Bila melihat betapa mudahnya Ibas untuk mengakses 16 juta ton minyak goreng, bisa jadi karena memang Ibas berhubungan dengan mereka-mereka yang telah dibantu memperoleh izin perkebunan sawit dengan mudah di masa lalu.
Masih ada ada lagi kasus yang melibatkan petinggi Partai demokrat. Kali ini mantan bendahara Partai Demokrat, Nazaruddin. Pada tahun 2011, kebun sawit seluas 2.500 hektar milik Nazaruddin di Kabupaten Bengkalis Riau berdiri di kawasan hutan produksi milik negara. Sesuai aturan, status kawasan produksi tidak boleh dialihfungsikan. Tapi anehnya, sejak dibeli Nazarudin, perkebunan sawit ini terkesan tidak terurus. Banyak buah sawit yang sudah matang di atas pohon, dibiarkan begitu saja. Padahal, bisnis sawit merupakan bisnis menggiurkan. Belakangan kasus yang melibatkan Nazarudin diantaranya adalah tindak pidana pencucian uang. Mungkin kebun sawit pun digunakan untuk hal ini.
Bisnis sawit memang terkenal memiliki potensi korupsi. Sektor ini pula yang sering menjadi pemasukkan untuk partai-partai politik di Indonesia. Hal ini tentu menunjukkan pertautan kepentingan yang sangat besar antara bisnis dan politik di sektor sawit.
Di era SBY pula itu, terjadi deforestasi atau pembabatan hutan akibat ekspansi pembukaan sawit yang mengakibatkan internasional menggugat Indonesia. Di antaranya Uni Eropa. Komisi Eropa terang-terangan menggugat 45 persen dari ekspansi produksi minyak sawit sejak 2008 hingga 2015 telah menyebabkan kerusakan hutan, lahan basah dan gambut.
Dua foto satelit NASA (National Aeronautics and Space Administration) tahun 2001 dan 2019 bahkan menemukan wilayah deforestasi luas di Papua. Belakangan diketahui wilayah tersebut adalah perkebunan sawit yang konsesinya dimiliki PT. Dongin Prabhawa di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kemudian memaparkan data yang serupa temuan Greenomics bahwa hampir seluruh pelepasan kawasan hutan di Papua dan Papua Barat untuk sawit diberikan di tahun 2005 sampai 2014 pada masa SBY.
Menariknya pelepasan kawasan hutan untuk pembangunan sawit di perusahaan ini diberikan Menteri Kehutanan dijabat oleh MS. Kaban dari era Presiden SBY. MS Kaban sepanjang tahun 2004 hingga 2009, menerbitkan izin-izin perkebunan kepada para pelaku bisnis tertentu seluas hampir 600 ribu hektar atau setara hampir 9 kali lipat luas DKI Jakarta. Kita semua tahu dari partai mana MS kaban berasal. Apakah ini menguak satu realitas lagi bahwa ada partai lain di luar Demokrat yang juga ikut bermain dalam bisnis sawit?
Yang jelas satu realitas kita dapatkan, di era SBY konsesi hutan diberikan dengan gila-gilaan. Tanpa memikirkan dampaknya terhadap lingkungan alam. Deforestasi yang dikecam dunia itu dibiarkan oleh rezim SBY.
Bukan hanya deforestasi. Realitas yang kini ramai diperbincangkan lainnya adalah konsesi tambang batubara. Di era SBY, konsesi ini banyak diberikan bagi kroni-kroni Demokrat. Dan kini harga batubara melambung di dunia akibat krisis energi Eropa plus invasi Rusia ke Ukraina yang menyebabkan embargo bagi Rusia. Ada kemungkinan para eksportir batubara yang notabene orang-orang dekat Partai Demokrat kembali kaya raya. Bisa hidup bagai Sultan, atau bahkan mendanai Pangeran Cikeas untuk maju di 2024. Entahlah..
Realitas yang jelas di depan mata adalah Ibas punya akses ke 16 ton minyak goreng di saat minyak goreng konon langka. Mungkin ini efek keterlibatan SBY dan jajarannya ekploitasi berlebihan pada sawit itu? Pebisnis sawit berlomba-lomba balas jasa. Yang jelas Partai Demokrat terlihat sangat gemerlap di era SBY tapi lempem setelah era SBY berakhir. Kehabisan amunisi karena tak ada lagi dana konsesi? Mari kita tanyakan Ibas tentang realitasnya.
Kita tunggu Ibas bicara realitas…
Nia Megalomania