Makin dekat Pilpres, makin banyak kejutan yang terjadi. Yang terbaru tentu saja Deklarasi Pasangan Capres Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar. Mengagetkan karena beberapa waktu sebelumnya, Cak Imin masih ‘bertunangan’ dengan koalisi pendukung Bacapres Prabowo Subianto.
Langkah Anies dan Cak Imin dianggap ‘jitu’. Artinya mereka bergerak berbasis data penguasaan teritorial. Kita ketahui Anies kuat di wilayah Jawa Barat dan luar Jawa, sedang PKB kuat di Jawa Timur. Menggandeng Cak Imin berpotensi meraup suara dari Jawa Timur. Bahkan banyak yang berpendapat Jawa Timur menjadi ajang ‘pertempuran’ Pilpres 2024 yang sesungguhnya. Seperti 2 Pilpres lalu.
Tak hanya itu, secara kemampuan, Anies dan Cak Imin itu setara dan satu frekuensi. Anies dan ide-ide perubahannya. Cak Imin dan kemampuan organisator-nya. Anies yang visioner, Cak Imin yang pragmatis dan selalu survive di papan atas rimba politik Indonesia. Inilah koalisi dua kancil. Ibarat calon pengantin, chemistry keduanya sama sehingga berpotensi untuk sukses.
Usai deklarasi Anies – Cak Imin itu kemudian sempat berhembus tentang ide menduetkan Ganjar Pranowo sebagai Capres dan Prabowo Subianto sebagai wapres. Apakah bila berduet Ganjar-Prabowo bisa menyerupai duet Anies – Cak Imin yang saling melengkapi itu?
Menyandingkan keduanya justru akan menjadi ‘mega blunder’. Keduanya bagaikan dua makluk yang berasal dari planet yang berbeda. Ibarat Ganjar hidup di planet yang makluknya bernafas dengan Nitrogen, Prabowo mungkin dari planet yang makluknya bernafas dengan Oksigen.
Mari kita soroti elektabilitas keduanya. Dalam enam bulan terakhir, elektabilitas Prabowo makin sulit dikejar oleh Ganjar. Bahkan selisih elektabilitas keduanya sering kali tembus dua digit. Baik survei Capres dengan banyak tokoh-tokoh lain, ataupun head to head dengan Ganjar, Prabowo selalu memimpin. Amat sangat tidak logis bagi Prabowo untuk menjadi wakil Ganjar.
Dalam urusan Pilpres, Prabowo nggak kaleng-kaleng. Prabowo berhasil membuat Jokowi hanya bisa menang dengan selisih tipis, meski Jokowi telah menjadi incumbent dan punya rekam jejak sebagai Presiden yang cukup berhasil dengan pembangunan infrastrukturnya di periode pertama.
Perlu diingat juga pendukung Jokowi tak otomatis mendukung Ganjar, meski mereka satu partai. Banyak dari mereka justru mendukung Prabowo. Wajar bila elektabilitas Ganjar selalu terseok-seok di bawah Prabowo.
Fakta lain yang tak bisa dikesampingkan, Ganjar tidak pernah memiliki rekam jejak menang Pemilu dengan angka meyakinkan. Ia menjadi anggota DPR RI bukan karena suaranya yang mencukupi, melainkan karena Pergantian Antar Waktu. Kemenangannya atas Sudirman Said dalam Pemilihan Gubernur Jateng Tahun 2018 pun tipis. Hanya 58,78 persen, meski Ganjar adalah incumbent dan hanya ada 2 pasangan. Saat itu, Ganjar bahkan mengalami kekalahan di empat kabupaten yang sebelumnya dikenal sebagai basis PDI Perjuangan yakni Brebes, Tegal, Purbalingga dan Kebumen.
Dalam menentukan koalisi, orang sering terjebak melihat jumlah elektabilitas dua orang, lalu menjumlahkannya, untuk kemudian menganggap hasil penjumlahan itu sebagai angka elektabilitas pasangan koalisi tesebut. Faktanya tidak sesederhana itu. Pendukung Capres justru akan berhenti mendukung ketika Capresnya menjadi pasangan Prabowo yang selama ini dianggap kompetitornya. Pemilih Ganjar terkonfirmasi tidak akan memilih Prabowo, demikian juga sebaliknya. Pemilih Prabowo sudah pasti tidak menyukai Ganjar. Menyatukan keduanya hanya akan menggembosi suara masing-masing.
Apalagi ada faktor yang sampai saat ini ‘identik’ dengan Ganjar. Ia dianggap bacapres tanpa nuansa leader, tanpa nuansa pemimpin. Ini bukan saja karena ganjar dianggap sekadar ‘petugas partai’, tetapi juga karena di banyak kejadian ia bahkan kalah pamor dengan Puan Maharani. Dalam Apel Siaga Pemenangan Ganjar misalnya, bintang pada acara itu tentu saja Puan Maharani. Yang berteriak lantang agar PDIP solid memenangkan Ganjar. Sedang Ganjar terlihat nervous dan hanya mampu membacakan pidato dengan teks.
Dalam lobby-lobby koalisi, Ganjar terlihat tidak berperan. Berbeda dengan Anies dan Prabowo. Koalisi Indonesia Maju yang mendukung Prabowo bahkan menyerahkan keputusan sepenuhnya pada Prabowo untuk memilih wakilnya. Sebaliknya, meski Ganjar yang bakal jadi Capres, justru Puan yang ke sana ke mari menggalang kerja sama. Bahkan dengan AHY. Soal penentu wakil bagi Ganjar, orang bodoh pun tahu kalau itu nanti akan menjadi keputusan Megawati. Ganjar tak mungkiiiiiiiiiiiin punya hak suara. Seandainya Megawati memilih Aldy Tahir, Ganjar hanya bisa pasrah menerima.
Ini tentu saja terjadi karena secara umum masyarakat meragukan Ganjar. Ganjar dianggap kurang cakap memimpin. Selama menjadi Gubernur misalnya, angka Covid di Jawa Tengah tinggi. Bahkan sempat ramai berita tentang keluhan tenaga kesehatan di Jateng karena penyerapan anggaran Covid lambat. Angka stunting dan kemiskinan di Jateng pun cukup tinggi. Ini masih ditambah beberapa kasus yang membuat masyarakat menyangsikan Ganjar.
Dari Wikipedia ditulis, selama menjadi anggota DPR RI, Ganjar pernah diperiksa KPK di tahun 2008, terkait kasus korupsi alih fungsi hutan lindung di Banyuasin, Sumatera Selatan untuk kepentingan Pelabuhan Tanjung Api-Api.
Di Wikipedia itu pula, nama Ganjar disebut dalam kasus aliran dana Bank Indonesia pada April 2008. Saat itu ditemukan dokumen berisi nama-nama anggota DPR yang diservis Bank Sentral dan Ganjar ada di dalamnya. Lima lembaga non-pemerintah melaporkannya ke KPK. Ganjar mengatakan saat itu ia diundang ke luar negeri oleh BI. Jika kunjungan itu dinilai haram, katanya, ia siap mengembalikan uang yang diterimanya. BI pun mengakui otentisitas dokumen tersebut.
Kembali dari Wikipedia, tertulis pula tentang Muhammad Nazaruddin selaku mantan Bendahara Umum Partai Demokrat menyebut nama Ganjar ketika menjadi saksi di sidang lanjutan perkara korupsi e-KTP. Kepada hakim, Nazar berkeyakinan bahwa Ganjar menerima uang dalam proyek pengadaan e-KTP. Bahkan dia mengaku melihat sendiri penyerahan uang kepada Ganjar yang saat itu menjabat Wakil Ketua Komisi II DPR. Hingga kini kasus tersebut belum terbukti.
Dua kasus lingkungan hidup juga membelit Ganjar. Pertama kasus Pembangunan Semen Indonesia di Pegunungan Kendeng yang ditolak warga, sedang yang lainnya adalah kasus pembangunan penambangan batu andesit di Desa Wadas. Dalam kasus Kendeng, MA telah mengabulkan permohonan gugatan PK warga Kendeng dan WALHI yang menolak pembangunan PT. Semen Indonesia. Ganjar kemudian diam-diam mengubah Amdal dan memberi izin lingkungan baru kepada PT Semen Indonesia. Belakangan Ganjar pun banyak disorot karena kasus banjir rob sepanjang Pantura. Banjir rob konon telah terjadi sejak pertama Ganjar menjabat Gubernur. Hingga mendekati masa jabatannya yang kedua berakhir, belum ada kemajuan yang berarti dalam penanganan banjir ini.
Semua kasus itu seakan menegaskan bahwa Ganjar bukan pemimpin yang cakap. Ganjar hanyalah tokoh populis. Orang yang paham memainkan pencitraan dirinya. Ia mungkin tidak memiliki tim yang kuat. Kampanye-kampanyenya terlihat tanpa terobosan penting karena masih berkutat di level pencitraan ala selebriti. Jogging, nongol di kerumunan massa dan hanya melemparkan gimmick bukan ide atau gagasan. Bahkan Ganjar terlihat tidak berani menjawab tantangan BEM UI untuk debat Capres. Berbeda dengan Anies dan Prabowo yang telah menyatakan siap menghadiri Debat Capres UI itu.
Buzzer Ganjar pun sering melakukan kampanye ‘hitam’ menyerang Capres lain terutama Prabowo. Ganjar pun tak terlihat menyuruh mereka berhenti. Mereka masih berkutat pada tema-tema yang rawan polarisasi, seakan mengambil keuntungan dari situ. Semua kelemahan Ganjar itu akan menggerogoti elektabilitas ketika Ganjar menggandeng Prabowo sebagai wakilnya. Semua pemilih Prabowo bisa jadi akan lari memilih yang lain.
Memilih koalisi itu seperti mencari jodoh. Tidak bisa sembarangan dan hanya karena alasan-alasan transaksional. Apalagi bila koalisi didasarkan data hasil Pemilu lima tahun lalu. Keadaan masa kini bisa jadi telah sangat berubah.
Arus politik menjelang Pilpres memang masih sangat cair. Yang terjadi memang masih saling jegal. Sesama politisi saling menyandera kepentingan.
Tetapi perlu diwaspadai konspirasi politik untuk menggagalkan lawan secara tidak fair. Termasuk juga politisi tidak pede seperti Ganjar yang berupaya membuat barikade untuk melindungi kelemahannya.
Koalisi-koalisi seharusnya dibentuk untuk mengkolaborasi kekuatan untuk saling mengisi, bukan bersandar untuk meminta perlindungan dari kelemahannya. Akhirnya koalisi gemuk identik dengan bagi-bagi kursi. Agenda reformasi tidak bisa berjalan. Koalisi gemuk hanya menjadi ajang tawar menawar, bahkan saling mencari suaka. Akhirnya Pemilu hanya fokus pada keinginan partai dan bukan keinginan rakyat.
Iwan Raharjo