Sangat disayangkan seorang Dahlan Iskan menganggap peristiwa ini tidak penting.
Pertama ini bukan soal presidensi, karena syarat menjadi presiden tidak harus sarjana. Zaman bu Mega juga hanya ijazah SMA. Ini bisa dimengerti karena sistem politik kita berbasis kepartaian. Suatu saat partai buruh menang pemilu, bisa saja pemimpin partai buruh yg mungkin saja bukan sarjana mencalonkan diri sebagai presiden dari partainya meskipun bukan sarjana, selama partainya menang pemilu sah saja.
Tapi soal memalsukan ijasah, yang implikasinya kalau benar adalah penggunaan gelar kesarjanaan adalah soal lain bagi publik. Ini soal etika, yang menjadi landasan kebudayaan dan peradaban kita. Apakah Dahlan Iskan silap menganggap persoalan ini bukan persoalan besar, mengingat yang melakukan adalah orang besar yang peristiwa ini dampaknya besar bagi sejarah bangsa ini.
Kedua, pranata masyarakat didasarkan atas kesepakatan-kesepakatan. Ia menjadi dasar bagaimana jalannya hormat-menghormati, saling mengakui. Ijazah adalah simbol perjuangan seseorang sampai pada proses tertentu. Sampai hari ini menjadi simbol penanda-petanda kesepakatan yang terjadi dalam tata kehidupan masyarakat. Dalam kasus ini, memalsukan tanda itu adalah upaya mengelabuhi kesepakatan lazim yang berlaku dalam budaya masyarakat ilmiah, yang diturut oleh masyarakat umum. Motif dibalik tindakan ini tidak elok, apalagi bagi seorang panutan bangsa. Jangan bandingkan ketidak elokan yang juga dilakukan oknum lain. Kita tidak sedang melonggarkan kaidah-demi kaidah etis yang sudah berlaku.
Saya sendiri penganut kompetensi, dan tidak terlalu memercayai kesaktian ijazah dalam menjadikan seseorang kompeten di dunia kerja. Tetapi artinya bukan rezim ijazah tidak perlu dihormati, kecuali kita rubah kesepakatan umum. Lagi pula kalau mau mengabaikan ijazah, kenapa pula dibela-belain memalsukan.? Begitu munafik bukan? Dan anda, Pak Dahlan Iskan orang yang dituakan dalam tata laku masyarakat kita menganggapnya tidak penting.