Satu dekade lalu, kepala daerah yang moncer adalah yang banyak membangun infratruktur, sarana dan prasarana, serta membuat suatu sistem jaminan sosial. Ini semua diilhami prestasi Presiden Jokowi saat masih menjabat Walikota Solo: menata kota dengan baik, menginisiasi jaminan sosial bagi masyarakat miskin yang sakit di Kota Solo yang kemudian diadaptasi di tingkat nasional saat Jokowi menjadi Presiden.
Sejumlah kepala-kepala daerah baru lahir dan mereplikasi kiat-kiat Jokowi. Ahok, Ridwan Kamil, Tri Rismaharini, Emil Dardak, dan lainnya. Konon bila era subsidi adalah era SBY, era pembangunan fisik dan kesejahteraan dasar adalah era Jokowi.. Apakah kiat ini masih bisa dipakai di masa depan?
Bonus demografi akan membuat masyarakat Indonesia di masa depan didominasi kaum muda berusia di bawah 40 tahun hingga lebih 60 persen. Arah masa depan bangsa akan ditentukan oleh kaum muda karenanya. Dengan segala permasalahan mereka. Para millennial itu memang lahir di era informasi, namun seringkali mereka menjadi korban dari terlalu derasnya informasi digital yang ada saat ini. Tak mampu memilah mana yang hoax, dan mana yang benar. Terjebak pada hal-hal yang populer namun dangkal, sehingga kehilangan kemampuan berpikir obyektif dan kreatif.
Siapapun yang berniat menjadi pemimpin di masa depan perlu mempersiapkan kaum muda agar cakap berteknologi, sekaligus meningkatkan kemampuan literasi yang harus dimulai dengan kecakapan literasi paling mendasar: mendengar, membaca dan menulis.
Kita bisa belajar pada Korea Selatan. Negara ini sukses menaikkan tingkat literasi masyarakatnya dengan ajaib. Dari tingkat literasi masyarakat sebesar 22% pada tahun 1945, meningkat empat kali lipat menjadi 87,6% di tahun 1970, hanya dalam kurun waktu seperembat abad.
Rahasianya, Korea Selatan meninggalkan sistem belajar tradisional yang menekankan pada menghafal dan penyampaian materi pelajaran secara repetitif di tahun 1945. Menggantinya dengan meningkatkan kemampuan mendengarkan (listening) dan berbicara (speaking) saat Taman Kanak-kanak, dan meningkatkan kemampuan membaca dan menulis saat di sekolah dasar. Sejak itu perlahan Korea Selatan menapak menjadi negara maju.
Penelitian Chung dan Koo pada tahun 2001 menemukan fakta bahwa 93% orang tua di Korea Selatan selalu membacakan buku untuk anak ataupun cucunya. Apa yang dilakukan ini sebenarnya bentuk ‘story telling’. Lewat story telling tersebut disampaikanlah nilai-nilai dan ajaran, baik ilmu pengetahuan, kearifan lokal maupun spiritualitas. Mempersiapkan mereka untuk segera bisa membaca (reading) dan menulis (writing). Dari situlah tingkat literasi seseorang dibentuk karena bangsa yang besar, maju, dan beradab memiliki akar literasi yang kuat.
Kepedulian pada literasi ini pulalah yang mungkin membuat Walikota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka punya concern yang kuat pada pengembangan literasi. Tak lama setelah dilantik, Gibran menjadi keynote speaker dalam webinar ‘Indonesia Makin Cakap Digital 2021′. Dihadiri, Presiden Jokowi secara virtual beserta seluruh Gubernur, Bupati dan Walikota, Gibran menyampaikan perlunya literasi digital sebagai perisai dalam menyelami dunia maya.
Kecakapan digital tentu saja tak bisa dibangun tanpa kecakapan literasi dasar. Kemampuan membaca, menulis dan bercerita. Literasi membentuk pola pikir, pengetahuan dan peradaban. Kesadaran membangun literasi ini perlahan menjadi salah satu inovasi Gibran membangun kota Solo. Tak semata pembangunan fisik.
Gibran kemudian bersama pengurus OSIS SMA Regina Pacis Ursulin dan Rotary Club Solo Kartini menjadi inisiator Rumah Baca Nawala. Dibangun dari ide sederhana namun syahdu: ‘membaca buku di bawah rindangnya pepohonan, menambah ilmu pengetahuan dengan kesejukan alam…’ Untuk itu dibangun enam perpustakaan kecil berkonsep outdoor termasuk di sisi utara Balaikota. Nama nawala diambil dari bahasa Jawa kuno yang berarti surat atau buku. Gibran juga berencana menambah lokasi perpustakaan outdoor itu di lokasi strategis lainnya.
Gibran juga menggiatkan Festival Bocah Dolanan sebagai kegiatan pelestarikan budaya sekaligus mengembangkan kemampuan storytelling pada anak. Ia pun meningkatkan koleksi buku elektronik yang dimiliki Perpustakaan Kota Surakarta. Perpustakaan Umum Kota Surakarta juga telah memiliki Online Public Access Catalogue sehingga dapat diakses dari seluruh wilayah Indonesia. Yang terbaru adalah peluncuran mobil Pustaka yang akan diresmikan pada hari jadi kota Solo, 17 Februari 2022 nanti. Armada perpustakaan keliling ini menggunakan armada yang menerapkan green energy karena berbahan bakar listrik. Di hari itu juga Gibran dijadwalkan akan mendongeng di depan anak-anak.
Minat baca di Solo memang cukup tinggi. Dalam survei yang dilakukan Dinas Kearsipan dan Perpustakaan (Disarpus) Kota Solo sepanjang Oktober-November 2021, minat baca warga Kota Solo masuk dalam kategori memuaskan dengan nilai 74,54 dan 79,37. Jauh di atas rata-rata masyarakat Indonesia yang menempati ranking ke-62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi. Demikian hasil survei Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis pada 2019.
Namun tak banyak yang sadar bahwa Solo punya sejarah literasi yang sangat panjang. Dua kerajaan di Solo di masa lalu, Kasunanan dan Mangkunegaran, menyuburkan iklim literasi yang melahirkan banyak karya dan pujangga. Di antaranya Yasadipura, Paku Buwana IV yang menulis Serat Wulang Reh dan Wulang Sunu, Mangkunegara IV yang menulis Serat Wedhatama, Paku Buwono V yang menulis Serat Centhini dan tentu saja Padmasusastra dan Ranggawarsita. Solo pun sangat terkenal dengan karya-karya dalam bentuk puisi macapat.
Politik etis kemudian melahirkan pendidikan modern di Solo. Pendirian Algemeene Middelbare School (AMS) di tahun 1926 menjadi pemacu lahirnya para pelopor sastra modern Indonesia, seperti Tjan Tjoe Siem, Armijn Pane dan Amir Hamzah. Amir Hamzah sendiri bersama Armijn Pane dan Sutan Takdir Alisyahbana, menjadi pencetus angkatan Pujangga Baru. Perintis kelahiran sastra Indonesia modern. Sejarah panjang literasi di Kota Solo pun makin menguat dengan diadakannya Kongres Bahasa Indonesia yang pertama di kota Solo pada tahun 1938. Kota Solo dipilih tentu saja karena dianggap terdepan dalam literasi saat itu.
Di era kemerdekaan, dari Solo muncul Purbacaraka yang membidani kelahiran Fakultas Sastra UGM. Kampus ini juga melahirkan sastrawan asal Solo WS Rendra dan Sapardi Djoko Damono. Kemudian lahir Arswendo Atmowiloto dan Suparto Brata. Penulis cerita silat Kho Ping Hoo, serta penyair Wiji Thukul dan Sosiawan Leak.
Sejarah panjang literasi di Kota Solo ini menjadikan Solo kerap dikenal sebagai kota pustaka, pusaka dan pujangga. Bila kota Krakow di Polandia. dinobatkan UNESCO sebagai kota literasi, karena kota ini menjadi kota di Polandia yang paling awal memiliki perpustakaan, percetakan dan tata kelola arsip yang lengkap, Solo pun memiliki tradisi perpustakaan yang kuat. Radya Pustaka dan perpustakaan Rekso Pustaka di Mangkunegaran menjadi bukti bahwa Kota Solo peduli pada perkembangan sastra sejak dulu.
Radya Pustaka bukan hanya museum tertua di Indonesia, namun juga termasuk salah satu perintis perpustakaan dan gerakan literasi. Rekso Pustaka bahkan telah hadir lebih dulu, serta memiliki pencatatan lengkap tentang administrasi Kota Solo. Keberadaan perpustakaan di Solo makin lengkap dengan kehadiran Lokananta yang menyimpan banyak dokumentasi audio dan video sejak awal abad 20. Ini semua menjadi bukti bahwa Solo adalah kota literasi.
Kota Edinburgh juga dinobatkan sebagai kota literasi karena banyaknya penulis sastra dari kota tersebut. Identitas ini juga dimiliki oleh Solo.
Gairah literasi inilah yang akan terus dihidupkan Gibran. Bukan hanya sebagai tameng dari serbuan sampah informasi di era digital, namun juga karena literasi telah menjadi identitas Kota Solo sejak dulu. Menjadikan kaum muda menjadi garda depan dalam gerakan literasi di Kota Solo. Serta beramai-ramai mengusulkan pada UNESCO agar mentahbiskan Solo menjadi kota literasi dunia.
Bagi para pemimpin yang ingin beinovasi, mengapa tidak memilih untuk mulai menggiatkan literasi?
Vika Klaretha Dyahsasanti