Interpelasi Bukan Vonis Pidana, Mengapa Takut?


Sebanyak 33 anggota Dewan dari Fraksi PDI-P dan PSI sepakat untuk mengajukan hak interpelasi kepada pimpinan DPRD DKI. Hak interpelasi diajukan menindaklanjuti temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berkait potensi kerugian yang akan dialami Formula E jika tetap diselenggarakan. Apalagi saat ini, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta masih defisit. Sayangnya, tujuh Fraksi di DPRD DKI, yakni Nasdem, Golkar, Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat sepakat menolak wacana penggunaan hak interpelasi tersebut.

Dalam APBD DKI tahun 2021 terjadi defisit sekitar 2 Trilyun. Pendapatan daerah saat ini baru mencapai Rp 55 triliun, sedangkan belanja daerah sudah mencapai Rp 57 triliun. Sementara biaya Penyelenggaraan Formula E diprediksi sebesar Rp 1,23 triliun. Dua fraksi yang mengajukan interpelasi menyatakan bahwa dana penyelenggaraan Formula E lebih baik dimanfaatkan untuk masyarakat dalam mengatasi pandemi.

Pendapat itu disanggah Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta M Taufik. Menurutnya, Gubernur Anies Baswedan melaksanakan Formula E pada tahun 2022 untuk memantik pertumbuhan ekonomi di Jakarta. Selain untuk mengembalikan kepercayaan para investor bahwa Jakarta dalam keadaan membaik dan bisa kembali seperti keadaan normal.

Benarkah demikian?

Membangkitkan pertumbuhan ekonomi di tengah pandemi Covid-19 menjadi konsentrasi penuh pemerintah saat ini. Pemerintah berupaya mempercepat pemulihan ekonomi nasional dan penguatan daya beli masyarakat melalui penguatan perlindungan sosial dan dukungan terhadap sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Hal ini ditegaskan Presiden RI Joko Widodo saat menyampaikan arahannya pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengendalian Inflasi Nasional Tahun 2020, di Jakarta pada 22 Oktober 2020.

Kemenpora RI juga telah menyiapkan program prioritas tahun 2020-2024. Salah satunya pemberdayaan pemuda menjadi kreatif, inovatif, mandiri, dan berdaya saing serta menumbuhkan semangat kewirausahaan melalui pengembangan UMKM. Agenda pengembangan kewirausahaan pemuda menjadi agenda penting karena bersentuhan langsung dengan penumbuhan dan pemulihan ekonomi nasional.

Meski Program E Formula yang akan diselenggarakan tersebut berkaitan dengan sektor olahraga, namun program penyelenggaraan E Formula terasa tidak sejalan dengan program prioritas di Kemenpora. Titik berat prioritas di kemenpora adalah mengedepankan sektor UMKM, sesuai prioritas nasional. Pertumbuhan ekonomi yang dipacu terutama dengan menguatkan sektor tersebut. E Formula, mengingat biaya tinggi penyelenggaraannya, bukan termasuk kegiatan yang cukup menumbuhkan UMKM.

Sekarang mari kita lihat potensi kerugian bahkan penyelewengan keuangan negara?

Di saat ekonomi melesu, seperti saat pandemi ini, salah satu resep pemulihan yang terkenal dicetuskan John Maynard Keynes dengan memperbesar belanja pemerintah. Namun tentu saja ada prasyarat untuk melakukannya, antara lain jaminan bila belanja tersebut tidak bocor karena korupsi. Banyak penelitian membuktikan, ada keterkaitan antara belanja publik dan korupsi.

Secara teoritis, terdapat beberapa alasan mengapa korupsi bisa memengaruhi belanja sektor publik. Salah satunya seperti ditulis Rahmat Aiman dalam Tangentopoli, Korupsi, dan Belanja Sektor Publik, para politisi seringkali dikelilingi oleh pihak-pihak yang dapat memicu mereka melakukan kerjasama dengan pihak swasta untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan memanfaatkan kekuasaan yang ada di tangan mereka. Agar tidak terdeteksi, pelaku korupsi cenderung melakukan penggelapan pada sektor-sektor yang susah diawasi, mengutak-atik anggaran yang paling bisa memberinya peluang untuk menambah pundi-pundi keuangan tanpa ketahuan. Pengaturan anggaran menjadi tidak lagi didasarkan pada prioritas tidaknya sektor tersebut. Dalam kasus E Formula, terlihat indikasi bahwa penganggaran telah menyalahi prioritas anggaran negara yang mengutamakan kegiatan untuk pulih dari pandemi melalui penguatan sektor UMKM.

Dampak dari meningkatnya pengeluaran pemerintah ini juga bersifat kontroversial sebab seringkali tidak menyentuh kebutuhan mendasar masyarakat. Oleh karena itu, sebagaimana yang dinyatakan oleh peneliti Tanzi dan Davoodi (1997), tingginya belanja sektor publik bukanlah ukuran kemajuan apalagi sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi. Terutama sekali jika negara yang dimaksud memiliki indeks korupsi yang tinggi. Untuk konteks Indonesia, Transparancy International melaporkan sektor yang paling banyak di korupsi adalah belanja sektor publik. Berdasarkan data yang dirilis ICW (2019), jumlah kasus korupsi yang ditemukan di sektor belanja tersebut adalah sebanyak 212 dari total 271 kasus.

Penganggaran Belanja Publik selain dilakukan berdasarkan prioritas tidaknya, juga harus diawasi efektif dan efesiensinya. Hingga kini, belum ada resep yang terbukti jitu untuk mengatasi masalah korupsi terutama di sektor publik. Namun mekanisme pencegahan korupsi sektor publik yang direkomendasi United Nation of Drugs and Corruption (UNODC) dengan menggunakan mekanisme whistleblowing dapat kita gunakan. Interpelasi salah satunya, bentuk mekanisme whistleblowing yang menyebabkan Pemerintah Daerah tidak bisa seenaknya menghabiskan anggarannya. Apalagi Pemprov DKI cukup memiliki catatan suram dalam pengelolaan anggarannya, termasuk kasus kelebihan bayar baru-baru ini.

Dalam mekanisme whistleblowing, masyarakat biasa pun harus berpartisipasi dengan memberikan dukungan dan pengawasan terhadap korupsi. Apalagi para anggota DPRD, sebagai wakil rakyat. Dalam kasus interpelasi E Formula di DKI, para anggota DPRD seharusnya mendukung. Tidak seharusnya para politisi itu bereaksi berlebihan terhadap interpelasi. Interpelasi hanyalah hak untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bukan vonis bersalah atau tidak bersalah yang memiliki kekuatan hukum untuk mempidanakan seseorang. Jadi kenapa mesti dihindari?


Masyarakat sendiri harus dapat menekan para anggota dewan untuk tergerak melakukan interpelasi pada kasus Formula E di DKI tersebut. Inilah cara sederhana untuk menginternalisasi budaya anti-korupsi yang kita idam-idamkan. Selain cara lain yang sangat efektif: tidak memilih dan memberi dukungan kepada para politisi yang terindikasi atau terbukti korupsi untuk mengurusi kebijakan negara.

Mungkin kita dapat belajar dari Italia. Pada tahun 1992, di sana terjadi pergolakan dalam negeri yang menyita perhatian dunia. Peristiwa Tangentopoli. Antonio Di Pietro, seorang jaksa yang memulai investigasi terhadap para politisi yang diberi kewenangan untuk mengelola negara. Politisi tersebut justru melakukan praktek suap untuk memenuhi saku pribadi dan kantong partai mereka sendiri. Di Pietro menangkap salah satu petinggi partai politik yang melakukan suap, dan mulailah membongkar skandal para politisi tersebut satu per satu. Peritiwa Tangentopoli bukan hanya berdampak besar pada proses demokrasi dan perpolitikan Italia, dampaknya dari segi ekonomi juga tidak bisa dipandang sebelah mata.

Selama beberapa dekade sebelumnya, Italia selalu tercatat sebagai salah satu negara dengan belanja modal tertinggi di antara negara-negara OECD. Setelah peristiwa Tangentopoli dengan cepat catatan tersebut berubah. Dalam kurung waktu 3 tahun, belanja modal negara tersebut mengalami penurunan yang drastis. Biaya infrastruktus mengalami penurunan sebesar 56% namun dibarengi dengan kualitas infrastruktur yang jauh lebih baik.

Di sinilah arti penting pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, terutama dalam menggunakan anggarannya. Kita tentu tidak ingin Pemprov DKI kembali menghabiskan uangnya untuk membeli lem bukan?

Vika Klaretha Dyahsasanti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *