Jati Diri Kota, Holding UMKM dan Pariwisata yang Mendatangkan Devisa (Dari Diskusi Pengembangan Kota Solo)

Beberapa waktu lalu, saya sempat mengikuti diskusi pengembangan kota oleh para tokoh dan pegiat Solo. Diskusi tersebut direncanakan akan digelar secara periodik. Diskusi kali ini adalah diskusi yang ketiga.

Diskusinya asyik dan menarik. Iklimnya egaliter dan demokratis. Tidak terjebak menjadi diskusi dengan pola moderator-narsum-penanya. Semua bebas bertanya, bebas pula menjawab. Semua adalah narasumber. Semua bebas membeberkan argumentasinya.

Diskusi diawali dengan keprihatinan pada kemandirian kota Solo. Kota dengan lahan terbatas, tanpa punya sumberdaya pertanian, tanpa industri besar, alih-alih adanya sumber daya mineral alias tambang. Bahwa cacing tambang tidak mewabah saja sudah patut disyukuri..

(Kalimat terakhir bukan hasil diskusi, karangan saya sendiri).

Dari keterbatasan sumber daya alam di Solo, peserta diskusi mulai membahas kemandirian pangan Indonesia yang memprihatinkan. Dengan luas lahan yang jauh lebih luas, produksi beras Indonesia bahkan di bawah Thailand dan Vietnam. Pertanian sendiri perlahan menjadi sektor usaha yang ditinggalkan masyarakat.

Ketika sektor pertanian makin ditinggal, sebaiknya kita jangan buru-buru men-judge masyarakat sebagai orang yang manja, pemalas dan enggan bekerja keras. Di balik itu, pastilah memang ada banyak kendala yang membuat pertanian sulit diandalkan untuk hidup. Harga eceran gabah sebagai contoh kecil, meski harga beras naik, harga gabah di tingkat petani tetap tidak ikut naik.

Lapangan kerja yang makin sempit, membuat kemiskinan sulit dientaskan. Kota Solo pun tidak lepas dari masalah klasik tersebut. Harus ditemukan terobosan agar ada peluang-peluang kerja baru. UMKM tetap menjadi titik yang wajib dibidik, karena tumpuan ekonomi Solo utamanya ada di sektor UMKM. Masalahnya, pengembangan UMKM seperti apa? UMKM naik kelas tidak bisa lagi diupayakan hanya dengan sekadar memperbanyak ruang dan event untuk berdagang, lalu semua berbondong-bondong dagang yang sama. Satu kota jualan ciloooook semua. Semua perkantoran bikin lapak kuliner semua. Tidak efektif. Akhirnya saling kanibal. Bahkan kita kini mendapati fenomena yang memprihatinkan: pasar tradisional maupun modern yang kian sepi.

Pelatihan untuk UMKM nggak kurang-kurang, ungkap salah satu peserta diskusi. Pelatihan saja sudah nggak efektif, Bung…! Harus ada pemetaan yang jelas, sehingga UMKM bisa menjadi sub system dari suatu rantai produksi barang dan jasa.Bagian dari industri berskala besar. Bila perlu sampai level ekspor. Inilah tugas pemerintah. Mencari pasar, membentuk holding, menyiapkan insentif usaha… menjadikan serangkaian UMKM bergandengan dan meningkat menjadi koperasi. Koperasi inilah yang kemudian menjadi supplier dan menyokong Bumdes, BUMD, BUMN bahkan korporasi. Demikian penjelasan peserta lain.

Diskusi makin ramai. Peserta lain menyebut, di samping penguatan UMKM, untuk meningkatkan kemakmuran secara signifikan…. perputaran ekonomi masyarakat jangan hanya intern dalam kota seperti misalnya produksi setempat, lalu dikonsumsi masyarakat setempat. Siklus yang hanya berputar di sini. Harus memancing masuknya uang dari luar wilayah Solo. Mengingat sejarah Solo yang kaya, pariwisata bisa jadi pemacu uang masuk. Hanya saja, pariwisata yang bagaimana?

Malam bertambah ramai…

Tentu saja pariwisata yang dimaksud harus mampu memancing turis mancanegara datang dan betah berlana-lama meng-explore kota, membelanjakan uangnya dalam produk lokal. Kiat serupa ini sukses di Bali serta Thailand. Dan belakangan diikuti Vietnam. Para turis asing ini sebenarnya tidak hanya mencari pemandangan alam indah. Rata-rata negeri mereka sendiri sudah cukup indah, bahkan lebih tertata, dan memiliki kualitas udara yang lebih baik. Mereka mencari vibes yang berbeda. Maka mereka suka segala sesuatu yang bersifat kearifan budaya serta kota yang beridentitas. Ada narasi besar yang harus diperkenalkan pada mereka. Dengan demikian pariwisata tidak lagi sekadar jargon atau media branding yang politis.

Solo bisa meniru Singapura, saran peserta diskusi lain. Membangun dengan berpegang teguh pada budayanya. Ada tiga budaya yang menjadi akar budaya utama di sana. Melayu, Tionghoa dan India. Ketiga akar budaya ini sangat dijaga. Dimulai dari cara sederhana yaitu merawat dan mempertahankan bangunan tua. Dengan demikian bonding yang kuat dengan nilai-nilai kearifan lokal dan akar kita bisa dibangun.

Eh, Solo belum punya Perda budaya lho, mendadak salah satu peserta yang kebetulan juga legislator mengungkapkan. Next… itu PR bagi kita semua, tambah yang lain. Diskusi kemudian mengungkap Perda Budaya yang ada di Indonesia, lazimnya juga mengatur pakaian-pakaian adat dan tata upacara pada hari jadi kota dan peringatan-peringatan lainnya. Dan ternyata, salah satu kendala bagi Kota Solo adalah belum adanya penetapan motif batik khas Solo.

Tentu ini mengagetkan. Kita semua tahu bahwa Solo juga kota batik yang terkenal sejak dulu. Ternyata kendalanya adalah sejarah. Beberapa motif batik sudah ada sejak zaman Majapahit bahkan mungkin sebelumnya, sehingga sulit untuk diklaim sebagai khas Solo. Kendala lainnya, motif-motif tertentu telah didaftarkan sebagai kekayaan budaya kraton. Sementara ada 2 kraton di Solo: kraton Kasunanan dan Pura Mangkunegaran. Mudah sekali terjadi tumpang tindih karenanya. Tapi satu hal ada yang cukup identik dengan Solo yaitu batik khas Solo selalu bercirikan warna sogan.

Dalam hal ini, Yogyakarta lebih beruntung. Lebih homogen dalam perjalanan sejarah perkembangan kotanya, sekaligus status Daerah Istimewa memungkinkan keselarasan regulasi di tataran Pemerintah Daerah dengan tataran Pemangku Adat dan Budaya, dalam hal ini Kraton Yogyakarta.

Diskusi berbelok sebentar membahas stereotip masyarakat. Umuk Solo, gelembuk Jogja, getak Semarang dan pisuhan Surabaya. Orang Solo yang gemar pamer, Jogja yang pintar merayu, Semarang yang galak karena sering menggertak dan umpatan mesra khas orang Surabaya.

Saya teringat awal-awal tinggal di Solo. Saya suka tertawa melihat cara nyombong orang Solo yang soft. Seorang pemilik rumah mewah megah dan indah berkata lembut ke tamunya: terima kasih sudah mampir ke gubuk saya…. Atau seseorang mengajak kita naik mobilnya sambil berkata: kalau nggak keberatan monggo naik gerobak saya…. Dan ternyata dia bawa Hummer… Semua ini tujuannya adalah memperhalus tutur kata, sehingga mengurangi agresivitas dan gesekan di masyarakat. Kearifan lokal. Narasi-narasi seperti ini bisa diperkuat untuk mengenalkan jati diri Solo. Sesuatu yang bisa menjadi daya tarik dan nilai tambah dalam pariwisata.

Diskusi itu makin ramai dan asyik. Di luar topik kota, saya juga mendapat banyak pengetahuan baru. Termasuk juga tentang cashflow quadrant Robert Kiyosaki. Betapa penting sekali mendampingi masyarakat Solo yang umumnya masih di kuadran kiri sehingga bermental sebagai pegawai dan pekerja mandiri, dapat bermigrasi ke kuadran kanan yang menjadi domain para pengusaha dan investor.

Diskusi itu pula yang menyebut, mental mengemis bansos jangan dikritik. Tidak efektif. Hanya menimbulkan antipati di kalangan masyarakat kecil itu. Masih banyak masyarakat kita belum berhasil lepas dari basic needs. Mereka yang selalu salah guna dengan menggunakan bantuan usaha untuk konsumsi sehari-hari. Semuanya karena kemiskinan membuat pendapatan mereka tak cukup sisa untuk ditabung. Akibatnya rentan sekali terhadap pengeluaran-pengeluaran besar seperti untuk biaya kesehatan yang mendadak ataupun pendidikan. Menjadikan mereka mangsa para rentenir, Pinjol, ataupun bermain harapan lewat berjudi. Demi limapuluh ribu, asalkan bisa membuat mereka bernafas hari ini, mereka akan mengejarnya. Tanpa harus berpikir halal-haram, resiko, apalagi masa depan bangsa.

Yang diperlukan adalah pendekatan holistik yang mampu mengubah struktur kemiskinan itu. Sehingga banyak masyarakat otomatis tidak lagi tergantung bansos, karena memang taraf hidupnya meningkat lebih baik. Tidak cuma membangun ekonomi, tetapi juga budaya dan pendidikan sebagai bahan baku peningkatan kesadaran spiritual.

Diskusi ini memang belum melahirkan solusi. Masih, pencarian ide dan role model. Hasilnya nanti akan diserahkan pada pemangku kepentingan sebagai bahan masukan membangun kota. Minimal menjadi media berlatih bernalar kritis. Di sinilah asyiknya… karena nuansanya egaliter dan demokratis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *