Anies Baswedan dengan sombong mengatakan Jakarta International Stadium (JIS) sebagai mahakaryanya, meski sejatinya ketiga Gubernur DKI lainnya: Foke, Jokowi dan Ahok termasuk Djarot, justru berperan jauh lebih besar merintis JIS. Bertolak belakang dengan berita pencitraan Anies, di Desa Mareja, Lombok barat, terjadi kericuhan yang berawal dari penyalaan petasan di malam takbiran. Buntut kerusuhan itu, terjadi aksi pembakaran 6 unit rumah di kantor sekretariat Lembaga Pembinaan Keagamaan Buddha (LPKB) di Dusun Ganjar. Terjadi pula tindakan persekusi dan intimidasi terhadap umat Buddha di Desa Mareje.
Belum lama berlalu terjadi insiden pengeroyokan terhadap Ade Armando. Tak lama setelahnya, seorang guru besar UGM menjadi viral saat mengutarakan kebenciannya pada Ade Armando dengan kata-kata yang tidak manusiawi dan tak sepatutnya. Terlepas dari kata-katanya yang memang tak sepatutnya, sang guru besar kemudian dipersekusi dari berbagai pihak. Di lain hari rektor suatu perguruan tinggi teknologi dianggap mengeluarkan kata-kata yang rasis. Ia pun segera menjadi sasaran persekusi. Sekali lagi lepas dari ketidakpatutan kata-kata yang mereka ucapkan, perilaku main hakim sendiri para netizen ini sangat mengerikan. Dan main hakim sendiri ini tak hanya terjadi di ranah maya, tetapi juga di masyarakat. Kekerasan terhadap apa yang dianggap sebagai “musuh” kian hari dianggap wajar bahkan diaminkan. Potensi terjadinya konflik sosial di masa depan.
Lalu apa hubungan semua itu dengan Anies Baswedan?
Silih bergantinya kasus-kasus intoleransi berawal dari polarisasi di masyarakat yang kian menajam. Dalam kasus Ade Armando misalnya, figur Ade dianggap sangat anti kelompok agama tertentu. Ucapan Ade selalu ditafsir para pembencinya sebagai menebar permusuhan. Banyak yang kemudian secara emosional membenci Ade.
Di pihak lain, kelompok pro keagamaan sendiri sendiri tak henti-hentinya mengecam kelompok pro kebangsaan seperti Ade. Proses saling serang yang difasilitasi media sosial akhirnya telah dibumbui dan digoreng oleh ujaran kebencian dan disinformasi. Terjadi saling curiga dan sikap bermusuhan terhadap saudara sebangsa karena perbedaan pilihan dukung-mendukung figur politik. Dan ini semua berawal dari Kampanye Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017, dimana Anies menjadi pemenangnya.
Perbedaan pandangan politik sebenarnya sudah ada sejak dulu. Di era proklamasi, para pendiri bangsa terpecah antara kelompok yang dianggap pro Piagam Jakarta dan yang tidak mendukung. Secara musyawarah akhirnya kedua kelompok menyadari untuk membangun NKRI yang menjunjung tinggi keberagaman dan menjadi rumah bagi segenap Bangsa Indonesia tanpa mengutamakan satu kelompok di atas lainnya. Kata “dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” pun disepakati untuk tidak digunakan dalam Pembukaan UUD 1945.
Berpuluh tahun setelah itu Bangsa Indonesia selalu sadar untuk saling menjaga kerukunan dan persatuan. Namun, di tahun 2017, saat Pilkada DKI, persatuan dan kesatuan yang telah dirintis para pendiri bangsa ini dirobek-robek oleh kampanye SARA. Pilkada DKI tahun 2017 adalah pilkada paling menegangkan sekaligus penuh isu-isu SARA. Ketegangan politik tak hanya terjadi di Ibu Kota tapi juga merembet ke daerah lainnya. Berjilid demo digelar sekelompok warga yang menolak pencalonan Ahok dengan isu SARA. Akhirnya Ahok pun dipenjara karena dianggap menista agama.
Nama Anies Baswedan tak bisa dilepaskan dari semua kekotoran kampanye itu. Meski akhirnya Anies memenangkan Pilkada dan menjadi Gubernur DKI, jejak digital tak pernah bisa membuat Anies mengelak dari fakta bahwa ia membiarkan semua kampanye hitam itu. Atau bisa jadi Anies ada di balik semua kampanye hitam itu. Untuk pertama kalinya ayat-ayat suci dipelintir untuk menyerang kelompok yang dianggap berseberangan politik. Anehnya Anies diam saja melihat hal ini, bahkan cenderung memanfaatkan momen yang menguntungkan pihaknya.
Jenazah seorang nenek 78 tahun pun ditelantarkan oleh masyarakat sekitar karena memilih pasangan Ahok-Djarot dan bukan Anies. Saat nenek bernama Hindun bin Raisman mencoblos Ahok-Djarot, keluarganya menjadi pergunjingan masyarakat. Jenazah nenek Hindun pun ditolak disalatkan di musala oleh ustaz Ahmad Syafii. Selain itu, tak ada orang yang menggotong jenazah nenek Hindun.
Berawal saat empat petugas KPPS mendatangi rumah nenek Hindun dan memintanya ikut mencoblos. Kondisi fisik Hindun yang ringkih, tak memungkinkan datang ke TPS. Petugas tetap ingin mengambil suara Nenek Hindun..Nenek Hindun pun mencoblos asal saja, tapi tentu dilihat keempat petugas itu, Sejak itulah keluarga Nenek Hindun disingkirkan masyarakat karena dianggap memilih penista agama, hingga berujung jenazah nenek Hindun tidak boleh dishalatkan di masjid. Terhadap kejadian ini, Anies Baswedan diam saja.
Aktivis Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos mengatakan bahwa kondisi masyarakat DKI Jakartamasa itu, terutama masyarakat kelas bawah, mengalami tekanan sosial bila memilih Ahok-Djarot. Mereka akan dicap tidak beragama dengan baik. Anies pun melakukan pembiaran akan hal itu karena dianggap menguntungkan dirinya. “Apa yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk mem-bully Ahok, dan mengatakan bahwa pemimpin tidak boleh berasal dari non-Muslim tidak pernah dibantah oleh Anies,” kata Bonar.
Tak cukup hanya di situ, saat itu beredar video yang menampilkan sosok yang diyakini sebagai Eep Saefulloh Fatah, konsultan tim pemenangan Anies Baswedan. Di video sosok tersebut sedang berpidato meminta agar jaringan masjid menjadi alat untuk mengalahkan kandidat petahana yaitu Ahok. Video itu memberi contoh kemenangan Partai Keselamatan Islam (FIS) di Aljazair. lantaran mengandalkan jaringan masjid. “Sejumlah khatib, para ulama, ustadz yang mengisi kegiatan-kegiatan di masjid, termasuk dan terutama salat Jumat, bukan hanya menyerukan ketaqwaan, tapi dilanjutkan dengan seruan-seruan politik,” demikian pidato di video itu. “Saya ingin itu menjadi alat untuk mengalahkan Pak Ahok.” paparnya di hadapan hadirin.
Tidak mengherankan selama kampanye itu, Anies Baswedan beberapa kali mengunjungi masjid di Jakarta dan mengutarakan program kerja mereka. Menurut undang-undang, setiap pasangan calon dilarang berkampanye dengan menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan. Tak hanya itu, Anies kerap mengatakan, “Nyoblos yang berpeci.”
Kampanye Anies menggunakan sentimen agama dan memakai tempat ibadah menuai kecaman di mana-mana. Salah satunya cendekiawan Muslim, Azyumardi Azra. Dia mengimbau setiap umat Muslim menjaga kesucian masjid. Masjid bukan tempat mobilisasi politik dan kekuasaan. “Itu menodai kesucian masjid,” cetusnya. Azyumardi memperingatkan bahwa jika kampanye politik menggunakan agama terus berkelanjutan, Indonesia terancam mengalami nasib yang sama seperti negara-negara di Timur Tengah, jatuh dalam Perang Saudara.
Pidato politik pertama Anies Baswedan saat pelantikan sebagai Gubernur DKI Jakarta pun tak luput dari SARA mengobarkan perpecahan. “Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan, kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai Jakarta ini seperti dituliskan dalam pepatah Madura, Itik yang bertelur, ayam yang mengerami,” demikian kata Anies waktu itu.
Anies membangun perpecahan dengan penyebutan istilah pribumi. Ketua SETARA Institute, Hendardi, mengatakan pidato Anies itu menunjukkan visi politik Anies yang rasis. Apalagi banyak pihak meyakini bahwa Anies menggunakan politik SARA sebagai strategi untuk memenangi pemilihan kepala daerah di Jakarta. Pidato politik yang dibutuhkan warga Jakarta seharusnya pidato yang mengatasi keterbelahan akibat politisasi identitas. Mencairkan polarisasi.
Puncak dari semua kampanye hitam selama Pilkada 2017 itu adalah adanya demo berjilid-jilid. Apa yang diusung dalam demo itu tak lagi hanya sekadar seruan untuk memilih Anies Baswedan, tetapi melenceng ke topik Ahok menista agama bahkan ujung-ujungnya menuntut Jokowi mundur karena dianggap anti Islam. Dan lagi-lagi, sang tokoh yang selalu mencitrakan dirinya santun itu tak sedikit pun berusaha meredam demo-demo tersebut. Bahkan sekali lagi mengambil keuntungan dari situ.
Peneliti studi Agama dan Demokrasi dari Yayasan Paramadina, Ihsan Ali Fauzi, mengatakan Pilkada DKI membangun kebencian atas nama agama di tengah masyarakat. Ia pesimis kebencian atas nama agama tersebut bakal berakhir seiring dengan selesainya Pilkada Jakarta. Politik identitas akan terus dimainkan di pemilu-pemilu yang akan datang.
Apa yang dikhawatirkan Ihsan Ali Fauzi benar-benar terjadi. Kampanye-kampanye SARA pada Pilkada 2017 efeknya masih terasa hingga kini. Sentimen identitas juga dibakar dengan slogan-slogan seperti “cebong” yang mewakili pendukung pemerintah dan dianggap anti-Islam, serta “kadrun” yang mewakili kalangan Islam politik.
Efek polarisasi pun melebar ke mana-mana. Kerusuhan SARA dan kasus intoleransi menjadi kerap terjadi. Termasuk juga beredarnya hoax yang tak henti-henti bahwa pemerintahan Jokowi anti-Islam. Yang dianggap pemimpin umat oleh kelompok intoleran pun bukan ulama-ulama bijak dengan tingkat keilmuan yang tinggi. Tetapi mereka yang gemar melabeli dirinya sebagai tokoh agama namun juga tak bosan-bosan menyebarkan paham-paham intoleransi, bahkan gemar berkata-kata tak senonoh. Habib Rizieq misalnya. Kesan-kesan tersebut, bukan tak mungkin hasil framing yang massif dari kalangan oposisi yang sudah tak sabar untuk menguasai Indonesia. Sekali lagi, Anies Baswedan yang gemar berorasi “merajut tenun kebangsaan”, tidak sedikitpun menyuarakan keprihatinan atas fenomena polarisasi ini. Bahkan namanya digadang-gadang sebagai calon presiden Indonesia.
Belakangan Anies dan timsesnya terlihat cuci tangan bahwa ia bertanggungjawab pada terpecahnya masyarakat Indonesia sejak Pilkada DKI yang kelam tahun 2017 itu. Mengatakan dirinya hanya korban fitnah. Anies playing victim. Inilah yang sangat memprihatinkan kita. Bagaimana bila negara ini sampai dipimpin kepala negara yang memenangi pilkada dengan memanfaatkan sentiment SARA di masyarakat, atau bahkan malah dengan sengaja menggunakan intrik SARA. Membiarkan polarisasi di masyarakat makin mengental.
Untuk memenangkan Pilpres 2024, bukan tak mungkin Anies membiarkan atau bahkan sengaja akan mengulangi cara-cara SARA seperti pada Pilkada 2017. Jika Anies terpilih menjadi presiden, bukan tak mungkin dampaknya akan semakin membuat kelompok intoleran merasa lebih berkuasa. Kepentingan kelompok lebih menonjol ketimbang kepentingan besar untuk membawa kehidupan bangsa ini lebih baik. Dan ujung-ujungnya adalah perpecahan. Tercerai berainya Indonesia. Ngeri….
Jangan pernah pilih pemimpin yang membiarkan sentimen SARA. Yang begitu biar ke laut aja….
Iwan Raharjo