Calon komedian baru telah lahir. Bahkan sang calon komedian ini lahir dari ranah akademis, dunia mahasiswa! Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), Kaharuddin, mendadak viral saat berargumentasi dengan Hotman Paris, dalam acara yang bertemakan “Demo Untuk Apa?”.
Dengan entengnya si calon komedian berkata, “Di Orde baru kita peroleh yang namanya kebebasan, kesejahteraan kita punya. Hari ini yang ingin kita tanyakan adalah apakah kita peroleh kesejahteraan? Apakah kita peroleh kebebasan?”
Kaharuddin seketika menjadi femes. Mendadak selebriti.
Ucapan Kaharuddin ditentang dan diralat langsung oleh anggota komisi XI DPR RI dari Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu, yang juga ikut serta dalam acara tersebut. Masinton menyebut bahwa pada masa orde baru, tidak ada yang namanya kebebasan, dan kesejahteraan. Fakta yang ada menunjukkan di masa orde baru justru kesejahteraan masyarakat tidaklah merata.
Sesaat setelah viralnya kekonyolan Kaharuddin, kita semua memang tertawa….. namun sesaat kemudian, nyaris kita semua merasa prihatin. Prihatin pada kualitas mahasiswa Indonesia, prihatin pada hasil Pendidikan di Indonesia, dan tentu saja prihatin pada nasib demokrasi itu sendiri. Mengapa demikian?
Kaharuddin, mahasiswa Universitas Riau (UNRI) menjabat sebagai Presiden BEM UNRI periode 2021/2022. Mahasiswa angkatan 2017 tersebut juga menduduki Koordinator Pusat BEM SI. Kaharuddin cukup aktif di lembaga dakwah kampus Aliansi Keluarga Mahasiswa Islam atau Alkamil di Fakultas MIPA. Entah apakah fakta ini membuat kita dapat menduga afiliasi ideologi Kaharuddin. Kuliah Kaharuddin memasuki tahun kelima. Dan belum ada tanda-tanda hampir lulus! Cukup lama dibanding banyak mahasiswa kini yang lulus hanya dalam tempo 8 semester. Empat tahun saja!
Kaharuddin membukakan mata kita tentang betapa daruratnya banyak kampus di Indonesia. Bukan saja karena disinyalir jalur-jalur demokrasi kampus dikuasai kelompok mahasiswa dengan kecenderungan mendukung radikalisme dan intoleransi, tetapi tentu saja bukti rendahnya literasi mahasiswa. Dalam bahasa kekinian, mereka mungkin dikatakan sebagai kurang piknik, terlalu banyak panik. Yang jelas ia tak berpengetahuan luas.
Demo mahasiswa di era Orde Baru nyaris tak mungkin. Rezim represif Orde Baru akan ‘menghabisi’ semua gerakan mahasiswa. Terhitung sejak peristiwa Malari di tahun 1974, peristiwa penolakan kehadiran Rudini di ITB pada 1988, 27 Juli 1996, hingga puncaknya pada Reformasi 1998. Belum terhitung ada berapa banyak aktivis yang hilang dan hingga kini tak pernah ditemukan. Pers yang dibungkam dan diberangus. Singkatnya, di era Orde Baru, Kaharuddin tak mungkin berdemo dengan nyaman, bahkan diundang tampil di berbagai media. Mimpi, Man! Bisa lenyap dia. Dalam sekejap!
Bila harus bicara obyektif tentang capaian Orde Baru, tentu kita akan menyebut listrik masuk ke seluruh pelosok negeri. Tapi ingat, itu pun diperoleh dengan pinjaman luar negeri, dengan hutang. Parahnya lagi hutang itu banyak dikorupsi rezim Orde Baru dan kroni-kroninya. Hedonisme secara massif di Indonesia pun terjadi di era Orde Baru. Melalui perilaku korup para kroni yang kemudian diikuti tanpa rasa bersalah oleh kebanyakan orang di seluruh negeri. Masyarakat Indonesia yang bersahaja, pelan-pelan hilang di era Orde Baru.
Agaknya sejarah ini Kaharuddin gagal paham.
Bung Karno, proklamator sekaligus founding father Indonesia, terkenal dengan ucapannya tentang Jasmerah, yakni jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Sejarah mengajarkan tentang kebangsaan dan kemanusiaan. Juga bagaimana menilai sesuatu dengan lebih obyektif dari peristiwa masa lalu, sehingga seseorang dapat tepat mengambil keputusan dan bersikap dengan tepat. Bahkan dalam ilmu kedokteran sekalipun, seorang dokter tak pernah lepas dari Riwayat penyakit pasien sebelum mengeluarkan diagnosa. Kaharuddin dengan latar belakang fakultas MIPA-nya pasti paham bahwa kata ‘riwayat’ sebangun dengan kata ‘sejarah’.
Entah apakah Kaharuddin mengenal Yuval Noah Harari atau tidak. Sejarawan Yahudi yang kini bukunya best seller di mana-mana. Ah, mungkin Kaharuddin tak sempat membaca bukunya karena terlalu sibuk kuliah dan berdemo? Dalam Sapiens: A Brief History of Humankind, Harari mengatakan bahwa kebahagiaan tidak tergantung dari kondisi-kondisi obyektif seperti kemakmuran, Kesehatan atau masyarakat, tetapi korelasi antara kondisi yang obyektif alias kenyataan dan harapan. Secara biologis kebahagiaan hanyalah perpaduan berapa banyak enzim serotonin, dopamine dan oksitosin. Makin jauh kenyataan dari harapan, seseorang makin muram atau ‘halu’. Kaharuddin mungkin contoh yang tepat dari kata-kata Harari itu. Halu dan gagal memahami realitas Orde Baru. Mungkin komposisi enzim serotonin, dopamine dan oksitosinnya tak menunjukkan ia pribadi bahagia. Meski masa remaja, masa mahasiswa, seharusnya masa bahagia…
Tapi sebaiknya kita mulai berefleksi. Kaharuddin adalah alarm tentang pendidikan kita, terutama pendidikan sejarah. Mayoritas kita bahkan menganggap sejarah sebagai pelajaran menyebalkan karena penuh hafalan tentang tanggal-tanggal yang dianggap bersejarah. Bukan pada pemahaman dan pemaknaan suatu kejadian.
Seorang praktisi sejarah asal Inggeris, Dan Nuttal, pernah meneliti bahwa siswa-siswa dengan nilai sejarah A (tertinggi) biasanya adalah sosok yang paham makna dan manfaat dari suatu peristiwa. Terutama peristiwa bersejarah. Mereka umumnya belajar sejarah bukan untuk kepentingan portofolio dalam berkarir kelak, bukan untuk meraih sesutu. Tetapi murni ingin memahami masa kini dan melihat pola-pola yang mungkin akan terjadi di masa depan. Mereka belajar sejarah karena memang tertarik. Mereka umumnya melihat dunia tidak dalam perspektif hitam putih.
Yang paling menarik dari penelitian Nuttal itu, pemahaman yang baik akan sejarah terefleksikan dalam perilaku moral para siswa dengan nilai sejarah A tersebut. Belajar sejarah secara obyektif, bisa menjadi panduan budi pekerti. Bisa dipahami bahwa Sejarah Amerika adalah satu-satunya pelajaran wajib yang harus dipelajari semua warga negara Amerika. Dalam pelajaran sejarah itu pula budi pekerti dan rasa kebangsaan mereka ditanamkan.
Bagaimana dengan Indonesia? Kita tahu, belakangan masyarakat kita seperti minim sekali akan panduan-panduan budi pekerti yang universal. Yang bisa diterima siapa saja. Bukan menekankan pada perbedaan, tetapi bagaimana saling memahami dan membangun relasi damai. Tak heran ada banyak kejadian-kejadian bermotif SARA di sekitar kita.
Kita punya Pancasila, tetapi rasanya sudah lama Pancasila tidak lagi dibicarakan dalam hidup keseharian kita, alih-alih diimplementasikan dan menjadi panduan moral sehari-hari. Mungkin saatnya pengajaran Pancasila kembali digiatkan dalam melatih budi pekerti dan kebangsaan. Dan tentu saja sejarah ditekankan untuk membangun kesadaran rekonsiliasi. Berdamai, dan bukan saling menyalahkan.
Ucapan konyol Kaharuddin itu juga tak cuma menjadi alarm tentang pendidikan Indonesia, tetapi juga tentang demokrasi kita. Memang demokrasi dipahami sebagai bentuk pemerintahan paling adil saat ini. Dalam demokrasi, pemimpin dan wakil rakyat dipilih oleh masyarakat. Demikian pula aturan-aturan yang diterapkan juga dipastikan adalah kehendak masyarakat. Tetapi tentu saja demokrasi yang efektif harus memenuhi syarat dan ketentuan tertentu. Agar adil bagi semua pihak, dan tak ada kelompok yang terpinggirkan dan menjadi korban. Tingkat literasi, tingkat pendidikan serta budi pekerti adalah salah satu prasyaratnya.
Bagaimana bila syarat dan ketentuan itu belum tercapai, apa yang harus kita lakukan? Menegakkan aturan dengan sedikit lebih keras mungkin baik. Melarang demo di jalan, aksi massa misalnya, karena masyarakat kita masih temperamental dan gampang tersulut emosi. Kegiatan pertemuan di ranah fisik mudah menjadi kerusuhan. Toh era informasi telah membuat saluran komunikasi terbuka, lancar dari berbagai penjuru, tanpa harus bertemu fisik. Apalagi di saat pandemi.
Demokrasi, sekali lagi, memang tata cara pemerintahan paling adil saat ini. Tapi perlu dipastikan bila buah dari demokrasi itu dirasakan oleh semua pihak. Terutama melindungi mereka yang paling lemah dan terabaikan. Jangan sampai demokrasi membuat kita malu dengan kemunculan orang-orang seperti Kaharuddin. Bukan hanya buta sejarah, melainkan orang yang bebas bicara di era demokrasi, tetapi berpihak pada kelompok yang mengenyahkan demokrasi. Atau jangan-jangan perilaku orang-orang seperti Kaharuddin sebenarnya memang sangat tidak demokratis?
Waspadalah….
Vika Klaretha Dyahsasanti