Kalabendu, Wong Cilik dan Ratu Adil

Kembali mengutip buku Romo Sindhu tentang Ramalan Jayabaya tentang datangnya Ratu Adil bisa dikatakan menjadi spirit pergerakan-pergerakan massa melawan ketidakadilan di era kolonial itu.

Ramalan Jayabaya itu dipengaruhi ajaran Yuga dari tradisi Hinduisme India. Dalam ajaran yuga, siklus waktu di alam ini ditandai dengan empat periode. Periode pertama disebut kertayuga. Diibaratkan seperti sapi berkaki empat. Stabil. Hidum ayem tentren, tidak ada bencana, tidak ada penindasan. Dua periode berikutnya diibaratkan sapi berkaki tiga dan berkaki dua. Mulai ada goncangan dan bencana.

Periode terakhir disebut kaliyuga. Diibaratkan seperti sapi berkaki satu, bisa kita bayangkan keadaan satu tempat di periode ini. Semua yang buruk terjadi. Guncang, chaos, bencana, degradasi moral yang luar biasa. Namun karena zaman kaliyuga ini adalah titik terendah, kondisi terburuk, maka sekaligus juga akan menjadi titik balik. Setelah meleeati serangkaian peristiwa tragis, maka zaman Kertayuga yang adil makmur sejahtera segera tiba.

Ramalan Jayabaya yang datang dari tradisi Jawa, menyebut zaman Kalayuga ini sebagai zaman Kalabendu. Dalam ajaran yuga, di masa Kalayuga, saat moral mencapai titik terburuknya, Dewa Wisnu akan datang dalam wujud manusia. Dalam kisah Ramayana, Wisnu mewujud sebagai Rama, sedang dalam Mahabharata mewujud sebagai Krishna. Bhagavadgita menceritakan nasehat Krishna agar Pandawa mau mengambil jalan perang saat angkara murka tidak dapat ditanggulangi lagi dengan hanya bersabar. Upaya-upaya damai menemui jalan buntu. Khrisna harus campur tangan memberi nasihat, karena para Pandawa terlihat tidak tega mengambil jalan perang.

Dalam ramalan Jayabaya, akhir zaman Kalabendu yang chaotic itu ditandai dengan kehadiran tokoh penyelamat. Ada berbagai versi ramalan, tetapi yang paling sering disebut adalah Tunjung Putih dan Erucakra. Di masa Perang Jawa, Pangeran Diponegoro disebut sebagai Erucakra. Tradisi datangnya tokoh penyelamat di masa-masa chaotic ini juga ada dalam kebudayaan lain. Yahudi dan Kristen mengenal penantian kedatangan Messias, sedang tradisi Islam terutama Syiah mengenal imam Mahdi.

Namun ada yang sangat menonjol dari Ramalan Jayabaya yang tidak terdapat dalam ajaran Yuga. Dalam ramalan Jayabaya, zaman Kalabendu ditandai dengan ‘wong cilik’ yang hidup sangat dan makin sengsara. Penindasan wong cilik. Penguasa yang semena-mena dijelaskan dalam definisi tentang ‘kesengsaraan wong cilik’. Rakyat jelata, orang biasa, kelompok marjinal.

Versi ajaran Yuga dari India itu tidak secara spesifik menyebut wong cilik. Ini menjadi pembeda yang terbesar. Seperti juga Wayang, yang membedakannya dwngan versi India adalah adanya tokoh-tokoh Punakawan sebagai simbol ‘wong cilik’. Babak-babak pentas wayang sendiri juga mengikuti periodisasi dalam ajaran yuga. Dimulai dari masa Kertayuga yang toto titi tentrem kertaraharja. Sampai kemudian datang masa Kalabendu. Lagi-lagi tradisi Jawa berinovasi dengan hadirnya ‘goro-goro’, bagian cerita tentang wong cilik. Bagian yang tidak ada dalam tradisi India. Pentas akan ditutup dengan kembalinya zaman kemakmuran dan damai.

Di masa kini, ’goro-goro’ dalam pentas wayang justru makin panjang durasinya. Bahkan ada dalang tertentu yang memainkan goro-goro nyaris lebih lama dari lainnya. Artinya, memang wong cilik bukan lagi kekuatan yang bisa diabaikan sejak dulu dalam tradisi Jawa.

Artinya lagi, ramalan Jayabaya bisa jadi sebenarnya adalah gambaran masyarakat kita. Damai, tenang, ngalah, hingga satu titik yang tidak tertahankan wong cilik itu akan bergerak. Ramalan Jayabaya mungkin ditujukan sebagai pengingat bagi para penguasa agar tidak lalim…

PS: lukisan-lukisan Budi Ubrux tentang wong cilik. Lukisan itu dipamerkan bersamaan peluncuran Buku Romo Sindhu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *