Keadilan atau Kemakmuran: Pandangan Barat dan Timur tentang Unsur Transformatif Dalam Kekuasaan

Banyaknya berita-brita yang membahas kekuasaan membawa saya membaca kembali artikel lama karya Daniel Dhakidae berjudul Paham Kekuasaan Timur dan Barat: Kesamaan dan Perbedaannya. Artikel ini termuat dalam buku kompilasi tulisan-tulisan Daniel Dhakidae yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas tahun 2015 berjudul Menerjang Badai Kekuasaan.

Dalam artikel itu, Dhakidae mengawali dengan penjelasan tentang kekuasaan menurut Timur yang “halus”. Kehalusan ini seringkali hanyalah merupakan suatu facade, tirai untuk menutupi sesuatu yang dahsyat dan keras di baliknya. Sedang Barat yang dianggap berbudaya keras dan lugas apakah kekuasaannya juga keras? Dhakidae kemudian menjawabnya, semakin irasional suatu masyarakat, kekuasaan semakin transenden. Karunia langit. Sedang semakin rasional suatu masyarakat diorganisasikan maka kekuasaan menjadi semakin imanen. Milik dunia. Terbentuk karena interaksi sesama manusia dari waktu ke waktu.

Daniel Dhakidae kemudian membahas kisah Ken Angrok menurut Kitab Pararaton (dalam Pararaton, nama Ken Arok tertulis sebagai Ken Angrok). Dalam Pararaton menganggap kekuasaan sesuatu yang mistik. Kehendak Ilahi. Perjalanan Ken Angrok adalah intervensi dewata terhadap apa yang harus berlangsung di bumi. Ken Angrok adalah titisan atau anak dari Batara Brahma yang dilahirkan oleh seorang ibu bernama Ken Endok. Ketika lahir, Ken Angrok tidak dibesarkan oleh Ken Endok, tetapi dibuang dan kemudian dipungut oleh berbagai orang. Ayah pungutnya yang terkenal adalah Bango Samparan, seorang penjudi dan perampok.

Berbagai ‘orang tua angkat’ itu memberikan pelajaran penting bagi Ken Angrok. Seorang Brahman bernama Janggan, membuat Ken Angrok bisa menulis, membaca dan menghitung waktu Jawa. Kemudian ia menjadi penyamun dan perampok bagi siapa saja yang melewati hutan. Dari suatu petualangan ke petualangan lain, Ken Angrok selalu dilindungi Dewata. Dalam suatu pengejaran oleh pasukan Kediri setelah melakukan kriminal, Ken Angrok bertapa dan dipertemukan dengan seorang Brahman dari Jambudwipa, India bernama Lohgawe. Lohgawe menjadi ayah angkat terakhir Ken Angrok. Kedekatan dengan Lohgawe inilah yang kemudian membawa Ken Angrok ke pusat kekuasaan di Tumapel. Istana penguasa bernama Tunggul Ametung.

Suatu hari Ken Angrok bertemu Ken Dedes, isteri sekaligus permaisuri Tunggul Ametung. Saat itu Ken Dedes terjatuh sehingga pahanya tersingkap. Dari paha itu Ken Angrok melihat “rahasyane murub”. Dalam kebingungan Ken Angrok melaporkan penglihatannya pada Lohgawe. Lohgawe menjelaskan, wanita yang “rahasyane murub” disebut ratu segala perempuan. Lelaki yang memilikinya, sekalipun ia miskin, akan menjadi kaya dan penguasa dunia.

Ken Angrok mendapat ide gila. Meminta persetujuan Lohgawe untuk membunuh Tunggul Ametung, mengambil alih kekuasaannya dan menikahi Ken Dedes. Lohgawe jelas tidak menyetujui rencana ini. Ken Angrok pun meninggalkan Lohgawe, kembali pada bapak angkatnya, Bango Samparan. Samparan menyetujui rencana Ken Angrok, sambil menyarankan Ken Angrok agar menggunakan keris buatan Mpu Gandring. Tunggul Ametung hanya dapat dibunuh oleh keris Mpu Gandring, kata Bango Samparan.

Kisahnya kemudian kita paham. Ken Angrok membunuh Mpu Gandring karena keris pesanannya belum selesai. Mpu Gandring pun bersumpah, tujuh raja akan dibunuh oleh keris itu. Setelah Mpu Gandring terbunuh, Ken Angrok membawa keris itu ke Tumapel. Ken Angrok kemudian meminjamkan keris itu pada Kebo Ijo. Dengan bangga Kebo Ijo membawa keris itu kemana-mana, sehingga semua orang mengira keris itu milik Kebo Ijo. Hingga kemudian Ken Angrok menjalankan rencananya untuk membunuh Tunggul Ametung dengan keris Mpu Gandring. Setelah Tunggul Ametung tewas, semua mengira Kebo Ijo pembunuhnya karena keris  tersebut selalu dibawa Kebo Ijo. Kebo Ijo pun akhirnya tewas ditusuk keris Mpu Gandring juga.

Kematian Tunggul Ametung menjadikan Ken Angrok bisa menikahi Ken Dedes dan menguasai Tumapel. Namun rantai kekerasan tidak selesai di situ. Apa yang terjadi benar-benar seperti sumpah Mpu Gandring. Ken Angrok kemudian juga dibunuh oleh orang suruhan Nusapati, anak Tunggul Ametung. Tepat di depan ken Dedes, ibunya. Orang yang membunuh Ken Angrok itu kemudian dibunuh Nusapati segera setelah orang suruhan itu melapor pada Nusapati.

Dari sini Dhakidae kemudian membandingkan kisah Ken Angrok dengan Hamlet karya Shakespeare. Balas dendam seorang anak karena ayah kandungny dibunuh agar pembunuh bisa menikahi ibunya. Perbedaannya, Hamlet melakukan sendiri pertarungan pedang dengan pembunuh ayahnya, sedang Nusapati melakukan balas dendam by proxy, dengan mengambil tangan orang lain. Hamlet tewas sebagai ksatria dalam pertarungan itu. Nusapati kelak juga tewas sebagai korban seperti Tunggul Ametung. Hamlet dikenal dengan ucapan “to be or not to be that is the question”. Eksistensi melebihi hidup dan mati.

Meski tidak menjelaskannya dengan gamblang, Dhakidae menonjolkan cara-cara Hamlet, yang tentu saja mewakili nilai-nilai Western, yang lebih lugas. Bisa jadi memang lebih fair. Baik Ken Angrok dan Nusapati, tidak seterang-terangan Hamlet. Entah apakah ini mewakili budaya Timur. Seandainya iya, tentunya ada alasan mendasar yang mengakibatkan Timur tidak gemar memperlihatkan perseteruan dengan terang-terangan.

Kisah Ken Angrok dalam Pararaton mewakili cara pandang Timur yang memandang kekuasaan secara transenden. Terhadap kisah yang sama, Pramoedya dalam novelnya Arok Dedes, memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang lepas dari urusan langit, dewata, hanya hubungan antar manusia. Imanen. Tidak ada kesan pandangan Timur dalam tulisan Pramoedya. Kiat keberhasilan Ken Arok dalam tulisan Pram, adalah karena faktor pendidikannya. Ken Arok mendapatkan pendidikan sebagai kaum Brahmana dari Lohgawe. Kekuatan para Brahmana memang ada pada ilmu pengetahuannya.

Ken Arok cerdas menghafal ayat-ayat bahasa Sanskerta dan sejarah Kediri. Ken Arok sadar betul bahwa melemahnya penguasaan bahasa Sanskerta membuat kaum Brahmana tersingkir dalam reformasi sosial di Kediri. Bahkan Ken Arok digambarkan mengkritik kaum Brahmana sebagai “dia yang terlalu tinggi di atas singgasana tidak pernah melihat telapak kakinya”.

Lohgawe segera menghentikan ucapan Ken Arok ini, serta menganggap Ken Arok lebih pantas menjadi seorang raja daripada Brahmana. Inilah kekuatan Ken Arok, menguasai ilmu pengetahuan ala Brahmana namun tetap memandang dunia dalam persepsi manusia. Hasrat para raja. Persepsi pemimpin. Kekuasaan bukan semata wahyu ilahi dan bersifat total seperti dalam Pararaton, melainkan rasional, demi suatu tujuan dan dikontrol oleh keadilan.

Untuk membandingkan Timur dan Barat, Dhakidae kemudian mengupas pandangan Agustinus dan Niccolo Machiavelli. Agustinus dipilih karena melakukan telaah mengapa kekaisaran Roma yang begitu besar bisa runtuh. Menurut Agustinus, Roma runtuh bukan karena berkurangnya kekuasaan, melainkan justru runtuh saat kekuasaan yang sangat besar dipamerkan di Imperium Romanum itu.  Kekuasan Roma yang begitu besar itu tidak ditunjang oleh unsur moralitas dengan penekanan utama pada keadilan.

Masalah kekuasaan hanya bisa diselesaikan bilamana ada keadilan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Tanpa keadilan, kata Agustinus, negara merosot sedemikian rupa menjadi sarang penyamun. Hanya keadilanlah yang membedakan rombongan bandit dan negara. Justitia porro ea virtus est quae sua cuique distribuit, keadilan adalah suatu keutamaan yang memberikan atau membagi sesuatu itu kepada orang apa yang menjadi haknya. Rumusan ini berlaku hingga hari ini.

Berkebalikan dengan Agustinus, pandangan kekuasaan Machiavelli berpusat pada pahamnya tentang fortuna, necessita, dan virtu. Fortuna  bisa diartikan hadiah, termasuk juga hadiah ilahi. Kuasa Tuhan. Sesuatu yang bukan bersifat ability atau kemampuan. Necessita adalah keharusan sejarah. Sedang virtu adalah upaya-upaya yang menentang fortuna. Maka virtue berhubungan dengan kemampuan, pengetahuan ataupun moral. Hanya virtu yang bisa menaklukkan fortuna.

Bila Agustinus menekankan untuk menjadi “orang baik”, bagi Machiavelli, orang baik tidak berdaya guna dalam urusan kekuasaan. Ketika mempertahankan atau mendapatkan kekuasan mengharuskan seseorang membunuh, maka “orang baik” hanya akan merangkul atau mencium musuhnya. Ini sekali lagi tidak berdaya guna menurut Machiavelli. Kehidupan tidak berandai-andai. Seseorang yang berjuang mati-matian untuk menjadi baik, akan mendapat kehancurannya di tengah sejumlah besar orang yang tidak baik. Machiavelli, seperti ditulis Dhakidae, melakukan parade “anti-menjadi baik” dalam berbagai segi. “Jangan menjadi seorang penguasa pemurah hati”, kata Machiavelli. Kalau menjadi seorang pemurah hati, jangan gunakan harta sendiri. Machiavelli melumpuhkan sendi kemanusiaan karena berpijak pada asumsinya bahwa manusia itu jelek, dan hanya penguasa yang baik.

Dalam kesimpulannya, Dhakidae menuliskan pandangan Barat menganggap kekuasaan adalah resultante atau akibat dari sesuatu. Dalam kekuasaan monarki, kekuasaan adalah resultante dari modal dan keturunan. Kekuasaan yang diakibatkan karena seseorang berkarakter baik adalah resultante dari pendidikan. Pada hirarki tertinggi, negara adalah resultante dari kekuasaan. Berbeda dengan Barat, Timur menganggap keadilan bukan bagian dari unsur kekuasaan. Kemakmuran lebih diperhitungkan. Dalam kemakmuran ada ketenangan dan stabilitas.

Etika, dalam hal ini keadilan, memiliki kekuasaan transformatif untuk mengubah sekumpulan perompak menjadi negara. Sarang penyamun menjadi kerajaan. Bukan hukum yang memiliki kekuasan transformatif tetapi keadilan. Kekuasaan harus produktif menghasilkan keadilan, bila tidak akan terjadi people power yang menimbulkan badai politik karena kesenjangan meningkat. Perlawanan menjadi senjata terakhir dan terampuh untuk mengatasi masalah kesenjangan. Bila muaranya adalah mengurangi kesenjangan,  kemakmuran pun bisa menjadi alat untuk mencapainya. Maka pandangan Barat dan Timur tentang kekuasaan bertemu di titik ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *