Klitih: “Cari Angin”, Kriminalitas, Sampai Peyorasi

Yogyakarta, mendengar nama kota ini saja hati langsung terasa “adem”. Terbayang suasana sudut-sudut kota Yogyakarta yang terlihat santun, tata kota yang rapi, andong-andong yang bergerak perlahan menghiasi jalanan dengan suara khasnya yang menenangkan. Belum lagi suasana Malioboro, salah satu ikon kota Yogyakarta yang seakan tak pernah lekang oleh waktu, selalu menarik hati.

Namun, akhir-akhir ini, Yogyakarta seolah sedang gelisah. Kegelisahan ini terwakili oleh ribuan netizen yang menyematkan tagar #YogyaTidakAman di tweet-tweet mereka. Twitter menjadi saksi bagaimana netizen mengungkapkan keresahan mereka akan sesuatu yang tidak menyenangkan. Menakutkan. Mengkhawatirkan. Tak hanya #YogyaTidakAman, tagar #klitih pun bertebaran mencapai puluhan ribu di jagat Twitter. Klitih kembali marak! Setelah marak pada 2018 silam, kukira klitih akan padam. Namun, akhir-akhir ini, kasus klitih kembali membuncah dengan catatan kasus yang kian bertambah.

Sebagian orang melihat klitih dari sisi kriminalitas. Sebagian lagi melihatnya dari sisi pelakunya, yang masih remaja, seakan tak percaya mereka bisa melakukan perbuatan keji semacam ini. Sebagian yang lain bisa jadi melihat klitih sebagai alarm untuk waspada terhadap kualitas generasi bangsa ini. Dan, sebagian lagi, tak rela kata ‘klitih’ mengalami peyorasi.

Klitih dalam konteks ini dianggap sebagai aksi kejahatan yang dilakukan remaja di jalanan pada malam atau hari. Mereka melakukan aksinya dengan mengendarai motor sambil membawa senjata-senjata tajam. Senjata tajam itu tidak hanya dibawa, tetapi diayun-ayunkan sehingga dapat melukai pengendara motor lainnya. Korban yang mereka incar bukanlah orang yang mereka kenal.

Mereka melukai orang lain yang dianggap bisa menjadi musuh mereka, atau yang membuat mereka seolah tak nyaman. Mereka tak segan mengarahkan senjata tajam ke tubuh orang yang tak dikenal. Entah apa motivasinya. Yang jelas, mereka akan berbangga ketika orang lain terluka!

Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar kini harus menanggung beban masalah yang tidak ringan. Para pelaku klitih kebanyakan adalah remaja. Meski tidak semua dari mereka berstatus pelajar, tetapi usia mereka masih sangat muda, antara 14 – 19 tahun.

Banyak faktor bisa menjadi penyebab para remaja ini terlibat dalam klitih. Faktor lingkungan, sekolah, keluarga, dan internal remaja bisa menjadi salah satu penyebabnya. Tergantung dari mana kita akan menyorotinya. Yang jelas, masa remaja adalah masa pencarian jati diri. Ada ambisi kuat untuk menemukan jati diri supaya mereka diakui.

Salah satu cara mereka untuk menemukan jati diri adalah dengan bergabung dalam geng. Bukanlah hal mudah untuk bisa bergabung dalam suatu geng, yang notabene memiliki keanggotaan yang turun-temurun. Dari kakak kelas, adik kelas, bahkan alumni pelajar pun juga masih menjadi anggota di dalamnya.

Tuntutan demi tuntutan harus dipenuhi supaya seseorang bisa dianggap layak menjadi anggota geng tertentu. Bahkan, antargeng pun sering terjadi persaingan untuk menunjukkan geng mana yang paling kuat, paling hebat, paling ditakuti. Tak pelak, aksi klitih ini pun menjadi salah satu ajang untuk persaingan ini.

Lemahnya kontrol diri remaja dan rasa ingin diakui dalam sebuah kelompok menjadi pendorong kuat aksi klitih ini. Jika seseorang dapat melukai (bahkan membacok) orang lain, itu akan menjadi prestasi dan kebanggaan baginya. Semakin banyak melukai orang lain, mereka akan menang. Taruhan demi taruhan dilakukan, mulai dari taruhan uang sampai taruhan miras.

Kasus klitih yang dilakukan oleh sekelompok remaja ini memang sangat meresahkan masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya. Aksi ini telah menimbulkan banyak korban. Mau menjadi apa generasi bangsa ini jika polah tingkahnya di luar kelaziman seperti ini?

Sebenarnya, yang memprihatinkan tidak hanya kasus klitih, tetapi kata ‘klitih’ itu sendiri. Dalam bahasa Jawa, kata “klitih” berarti (aktivitas/kegiatan) mencari angin di luar, pergi keluar rumah, atau keluyuran (dalam konteks positif). Ada pula yang mengartikannya dengan mengisi waktu luang. Makna positif dari klitih ini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Namun, makna ini tercoreng setelah adanya aksi dari sejumlah remaja yang melakukan tindak kejahatan dengan memanfaatkan konsep ‘klitih’ ini. Mereka melakukan kejahatan dengan mengendarai motor di jalanan dan pada malam atau dini hari.

Mengamati hal ini, rasanya akan sayang sekali jika kata ‘klitih’ ini mengalami peyorasi. Peyorasi adalah suatu proses perubahan makna bahwa kata yang baru dirasakan lebih rendah nilai rasanya daripada arti yang sama. Meski masih menggunakan kata yang sama, tetapi makna yang ditimbulkan sekarang pada kata ‘klitih’ sudah tidak sebaik sebelumnya. Maknanya tidak hanya bernilai rendah, tetapi sudah diselewengkan.

Sampai tulisan ini ditulis, belum ada kata ‘klitih’ dalam KBBI Daring. Berharap, jika suatu saat kata ini dicantumkan dalam KBBI, hanya kata ‘klitih’ dengan makna positiflah yang dicantumkan. Saya berharap peyorasi dari kata ini tidak perlu dicantumkan. Sayang, bukan salah di kata, tetapi konteks yang dibangun untuk kata inilah yang mencoreng makna baik dari kata itu sendiri.

Terlepas dari pentingnya kekayaan kosakata dalam bahasa Indonesia, entah mengapa rasanya tidak ikhlas ketika kata ‘klitih’ menjadi bermakna negatif dalam konteks kenakalan remaja di Yogyakarta. Ketika mengingat kata ‘kabur’ dan ‘melarikan diri’, memang ‘kabur’ memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan ‘melarikan diri’. Namun, kata tersebut tidak begitu menimbulkan konsekuensi psikis yang hebat. Berbeda dengan kata ‘klitih’, ketika mendengar kata ini, bisa jadi sebagian orang langsung merasa tidak nyaman, kembali pada nuansa takut, geram, dan tidak terima.

Sekadar merenungkan kata ‘klitih’ untuk tetap bisa dipertahankan dengan makna yang positif, serasa harus melewati dinding tebal berlapis-lapis, serasa sulit. Klitih sudah terlanjur meninggalkan kesan kurang menarik di bagian hidup ini. Kata yang selama ini telah berupaya menjadi salah satu wujud kearifan lokal, kini menjadi keprihatinan yang mungkin tidak akan mudah hilang.

Tanggung jawab siapa peristiwa ini dan segala dampak yang ditimbulkannya? Orang tua, komunitas remaja, sekolah, masyarakat, pemerhati anak, pendidik, kepolisian, pemerintah, atau kita semua? Klitih tak hanya meninggalkan sejarah kelam tentang kenakalan sekelompok remaja di kota yang istimewa ini. Klitih pun berpotensi menjadi warisan kosakata bahasa daerah yang tergerus maknanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *