Perdamaian dunia kembali terancam sejak Rusia menyerang Ukraina pada 24 Februari 2022. Ratusan orang menjadi korban dan ribuan warga Ukraina terpaksa mengungsi. Bukan tak mungkin serangan ini akan memicu perang dunia.
Segera setelah invasi Rusia itu, perbincangan netizen di Indonesia menjadi ramai oleh topik perang. Seperti biasa netizen terpolarisasi menjadi pro dan kontra. Sebagian mengutuk Rusia, sebagian lagi menyalahkan Ukraina yang dianggap telah main api dengan menjadi anggota Uni Eropa dan kemudian melirik NATO. Kelompok yang menyalahkan Ukraina ini biasanya satu paket dengan menyalahkan Amerika Serikat sebagai pengadu domba.
Menarik disimak pula bagaimana cara negara-negara dunia menafsirkan perang yang dilancarkan Rusia terhadap Ukraina. Terlihat polarisasi antara kubu demokrasi dan anti-demokrasi. Para pendukung Rusia umumnya adalah negara-negara otoriter dan warga yang senang dengan kepemimpinan bergaya diktator. Sementara pendukung Ukraina umumnya adalah pendukung demokrasi dan kebebasan.
Empat negara yang menolak Resolusi PBB tentang penghentian perang adalah negara-negara diktator-otoriter, yakni Belarusia, Korea Utara, Suriah, dan Eritrea. Negara-negara yang abstain pun, umumnya juga negara otoriter, kecuali India yang posisinya rumit, karena sedang dalam proses pembelian senjata dari Rusia.
Sebagian besar negara demokrasi, termasuk Indonesia, mendukung Resolusi PBB. Menganggap bahwa Rusia salah dan karenanya harus segera menarik pasukannya dari Ukraina. Sebagian pengamat Indonesia keberatan dengan keputusan pemerintah RI ini. Mereka berpandangan, harusnya pemerintah Indonesia netral (abstain), seperti kebanyakan negara-negara otoriter itu. Para pengamat ini lupa bahwa sumber hukum tertinggi di negara ini, Pembukaan UUD 1945 mengatakan : bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa..
Keputusan pemerintah kita dengan mendukung Resolusi PBB sudah benar. Abstain dalam hal ini justru akan mengancam perdamaian dunia dan masa depan umat manusia. Memprihatinkan bahwa di Indonesia ada banyak yang pro Rusia. Mereka umumnya kelompok yang mempunyai kecenderungan anti demokrasi, pendukung gerakan-gerakan radikalisme dan intoleran. Lupa pada apa yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945 untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Menyerang negara lain yang berdaulat adalah salah, melanggar hak asasi manusia. Tidak peduli bahwa negara itu telah main mata dengan Barat atau berselingkuh dengan NATO. Apalagi invasi Rusia ke Ukraina ini bukan yang pertama. Konflik bersenjata pertama antara keduanya dimulai pada 2014, saat Rusia menganeksasi Semenanjung Crimea yang merupakan bagian dari Ukraina.
Apalagi alasan Putin tentang serangan itu sangat mengada-ada. Dengan halu, Putin menyatakan bila Rusia menolak menyebut serangan itu sebagai perang atau invasi melainkan de-Nazification, untuk menyelamatkan Ukraina dari genosida. Faktanya tidak ada genosida di Ukraina, negeri itu sedang dalam gairah berdemokrasi, dan kebetulan dipimpin presiden berdarah Yahudi. “Bagaimana mungkin saya seorang Nazi?” kata Volodymyr Zelensky.
Putin berulang kali menyalahkan Ukraina dikuasai ekstrimis sejak Presiden Pro Rusia, Victor Yanukovych digulingkan rakyat pada 2014. Yakovych sebelumnya menolak hasil referendum rakyat yang menginginkan Ukraina bergabung dengan NATO. Rusia memang sejak lama melawan keinginan Ukraina untuk bergabung dengan Uni Eropa dan NATO.
Ukraina sudah lama menolak untuk disetir Rusia meski secara budaya, agama, dan bahasa, mirip dengan Rusia. Keduanya pernah sama-sama tergabung dalam negara Uni Soviet. Selama hidup dengan Uni Soviet dulu, keduanya miskin dan tertekan. Di bawah Federasi Rusia, Rusia tak menunjukkan kehidupan yang lebih sejahtera. Korupsi, terbelakang, dan di bawah rezim otoriter.
Melihat itu semua, rakyat Ukraina sangat meyakini demokrasi sebagai jalan mereka untuk lepas dari kemiskinan dan keterbelakangan. Semua ini ada di Barat, dengan bergabung Uni Eropa. Apalagi disadari Ukraina juga jauh tertinggal dibanding sesama bekas Uni Soviet yang telah lebih dulu bergabung dengan Uni Eropa dan Nato: Estonia dan Latvia. Hingga akhirnya pada Pemilu 2019 rakyat memilih Volodymyr Zelensky, yang segera mewujudkan keinginan untuk bergabung dengan Uni Eropa.
Bila Barat terasa jauh lebih mempesona bagi Ukraina dibanding Rusia itu tak salah. Meski mempunyai wilayah luas, secara ekonomi, Rusia tak pernah masuk 10 besar dunia. Korupsi membuat Rusia tertinggal dibanding negara-negara yang lebih kecil seperti Korea Selatan dan Italia. GDP Rusia hanya 1,6 triliun USD. Tak ada apa-apanya dibanding Amerika yang hampir 23 triliun USD. Jangankan dibanding Uni Eropa, dibanding Jerman saja, ekonomi Rusia kalah 4 kali lipat. Pendapatan perkapita rakyat Rusia juga parah. Hanya 11 ribu USD, setara dengan warga Malaysia. Tertinggal jauuuuuuuh sekali dibanding Amerika, yang mantap mencapai 70 ribu USD.
Korea Selatan bahkan jauh lebih maju, baik secara ekonomi maupun teknologi. Korsel memang tidak memiliki nuklir, tapi memiliki sumber-sumber ekonomi yang jauh lebih kreatif. Korsel berada di urutan ke-5 negara paling inovatif sedunia, sedang Rusia hanya di urutan ke-45, di bawah Vietnam. Rusia masih bertopang pada minyak dan gas. Rusia tak sehebat yang kita duga.
Secara kesejahteraan, Rusia tertinggal jauh di bawah negara-negara Barat. Jangankan dengan Norwegia atau Denmark yang super duper sejahtera, dengan Estonia dan Latvia, bekas jajahannya, Rusia nyungsep. Politik Rusia pun tak berubah dalam 20 tahun terakhir. Putin memanipulasi Pemilu, menjadi penguasa otoriter. Indeks demokrasi Rusia jeblok. Indeks korupsinya tinggi. Kondisinya bahkan lebih buruk dari Indonesia, Malaysia, dan Filipina.
Satu-satunya yang menakutkan dari Rusia adalah kepemilikannya atas senjata nuklir. Dunia gentar pada Rusia hanya karena pemimpinnya memegang tombol nuklir. Di tangan pemimpin gila, umat manusia bisa musnah karenanya.
Menarik adalah apa yang dikatakan sejarawan Yuval Noah Harari tentang bangkitnya nasionalisme di Ukraina. Putin, menurut Harari, memulai perang dengan fantasi aneh di kepalanya, bahwa warga Ukraina akan menyambut semua tank Rusia dengan seikat bunga, sebagai pembebas dari kelompok Yahudi-Nazi. Menurut Putin bangsa Ukraina itu tidak ada. Yang ada adalah warga Ukraina ingin menjadi bagian dari Rusia.
Faktanya jelas berbeda. Bangsa Ukraina memang ada. Militer Ukraina melawan dengan sepenuh jiwa raga. Bahkan warga melempari tank-tank Rusia dengan molotov. Presiden Zelensky juga tidak kabur saat negaranya diserang. Keberanian Zelensky ini mengabarkan pesan tersirat pada dunia bahwa Ukraina butuh amunisi, bantuan bukan tunggangan. Serangan Ukraina justru mempersatukan mereka. Membangun nasionalisme kembali.
Putin may win all the battles but still lose the war. Putin dapat memenangkan setiap pertempuran tapi tak dapat memenangkan perang, kata Harari. Mimpi Putin untuk kembali membangun Kekaisaran Rusia mengingkari eksistensi bangsa Ukraina yang memiliki sejarah panjang beribu tahun. Bahkan Kyiv, ibukota Ukraina telah menjadi kota besar saat Moscow masih suatu kampung kecil terpencil.
Mungkin Putin mengira militer Rusia dapat menaklukkan Ukraina dengan mudah. NATO tidak akan mengirim pasukan ke Ukraina. Ketergantungan Eropa pada energi minyak dan gas Rusia tak akan membuat negara-negara mengeluarkan sanksi yang berat. Tapi ada yang dilupakan Putin. Warga Ukraina melawan dengan segenap hati, menggalang belas kasih warga dunia dan akhirnya akan memenangkan perang. Sejarah di era modern menunjukkan penaklukan tak pernah dengan perang melainkan dengan merangkul, mengambil hati.
Perlawanan Ukraina yang gagah berani itu bahkan bisa berdampak pada Rusia sendiri. Warga Rusia selama ini tertekan oleh rezim Putin. Bila warga Ukraina saja berani menghentikan tank-tank tempur Rusia dengan tangan kosong, warga Rusia yang tertekan akan berani berdemonstrasi besar-besaran untuk menentang perang yang dianggap tidak manusiawi itu. Bahkan mungkin berdemo melengserkan Putin. Perang ini hanya keinginan Putin semata dan bukan keinginan warga Rusia.
Namun Harari tetap memperingatkan, perang ini bisa mengubah tata kelola dunia. Apabila agresi Putin ini sukses, akan ada banyak negara lain mengikuti agresi serupa. Kembalinya dunia ke masa kegelapan. Maka bagi Harari, yang paling membahayakan perdamaian adalah mereka yang mengatakan perang adalah sesuatu yang wajar, natural. Apalagi jika yang mengatakan adalah otoritas keagaaman atau moral. Ini sama artinya dengan membiarkan dan mengizinkan tindakan kriminal. Umat manusia seharusnya dapat mengambil keputusan yang lebih bijak. Apalagi terbukti dalam sejarah panjang peradaban manusia, periode damai selalu lebih banyak dari periode perang. Artinya, perdamaian adalah sesuatu yang natural, dapat diupayakan.
Menganggap perang sebagai sesuatu yang wajar, normal, pun sudah dapat berimbas buruk pada kesejahteraan, apalagi melakukan perang itu sendiri. Anggaran pertahanan akan meroket karenanya. Anggaran ini mengambil porsi bagi anggaran yang seharusnya diperuntukkan bagi Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan. Umat manusia akan kehilangan kesempatan untuk hidup lebih baik.
Berbeda dengan bencana alam, perang adalah sesuatu yang bisa dihindari. Di masa lalu perang memang tak mampu menghancurkan umat manusia tapi kini, dengan senjata nuklir dan senjata mutakhir lainnya, perang bisa menjadi pemusnah peradaban manusia. “Bila kita tidak mencari cara untuk mengakhiri perang, peranglah yang akan mengakhiri kita semua,” kata Harari.
Perang di Ukraina berarti membiarkan tirani dan agresi dibiarkan, kita semua akan menderita dan menerima konsekuensi buruknya. Bukan lagi saatnya untuk hanya diam melihat, abstain. Kita semua bergerak aktif untuk mengakhiri perang atas nama kemanusiaan, meski dengan cara sederhana yang mampu kita lakukan seperti donasi, menampung pengungsi perang, atau terus menggalang kesadaran perdamaia. Demikian Harari mengakhiri penjelasannya.
Harari makin menjelaskan bahwa apa yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk mendukung Resolusi PBB sudah benar.
Vika Klaretha Dyahsasanti