Linimasa ramai oleh berita tentang program makan siang gratis di sekolah. Karena kebetulan tahun politik, maka berita itu segera digoreng seakan-akan tidak ada manfaatnya. Tanpa kita sadari, ternyata makan siang di sekolah punya banyak manfaat. Tidak hanya dari sisi kesehatan, tapi juga sisi potensi ekonomi dan bahkan pendidikan budi pekerti.
Kebijakan ‘meal program’, atau kebijakan makan bersama di sekolah, secara umum berarti pemberian makan pada siswa saat beraktivitas di sekolah. Bisa berupa sarapan atau makan siang. Awalnya diberikan pada anak pra sekolah dan sekolah dasar. Bisa diberikan setiap hari, bisa pula beberapa kali seminggu saja. Tergantung anggaran yang ada. Beberapa negara menerapkan pemberian makan siang ini gratis untuk seluruh siswa, dan adapula yang hanya diberikan kepada mereka yang berpendapatan rendah.
Secara keseluruhan, ‘meal program’ bukan hal baru di banyak negara. Jerman sebagai pelopor telah melakukannya sejak tahun 1790. Hampir semua negara maju melakukannya. Jepang dan Korea Selatan bahkan menjadikan ‘meal program’ sebagai pijakan awal saat mereformasi pendidikan setelah Perang Dunia II. Hasilnya, kedua negara itu bisa bangkit menjadi negara maju. Negara tetangga kita Malaysia juga telah lama melakukannya, demikian juga di Filipina. Dan hebatnya lagi, dua negara berpenduduk terbanyak di dunia, China dan India pun melakukannya. Membaca fakta ini di Wikipedia, entah kenapa hati saya merasa sedih dengan ketertinggalan Indonesia.
Artikel menarik dari Hartline-Grafton dan Vanessa Gomez berjudulSchool Meals are Essential for Student Health and Learning menunjukkan ‘meal program’ menurunkan angka kerawanan pangan dan gizi buruk. Kedua masalah ini kerap terjadi pada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Meal program juga menurunkan tingkat obesitas anak karena di dalamnya menerapkan gizi seimbang dengan memberikan porsi yang besar pada sayur dan buah. Secara umum artikel ini menjelaskan bahwa program makan siang gratis menjadi kunci untuk meningkatkan kesehatan siswa, meningkatkan etika dan budi pekerti serta keberhasilan akademik bagi para siswa.
Penelitian yang dilakukan di Amerika menunjukkan kasus-kasus ketidakseimbangan nutrisi, gizi buruk dan kelaparan meningkat di saat liburan musim panas. Saat itu anak-anak tidak berangkat ke sekolah. Berdasarkan data Census Bureau, program makan siang di sekolah itu juga telah mengentaskan 1,2 juta penduduk dari garis kemiskinan dengan meningkatkan pendapatan riil mereka. Penelitian juga menunjukkan kualitis nutrisi dari meal program itu lebih baik dari rata-rata kualitas nutrisi makan yang disiapkan sendiri oleh kelompok masyarakat berpendapatan rendah.
Program Makan di sekolah juga menunjukkan hasil positif terhadap kualitas nutrisi siswa secara keseluruhan berdasarkan Healthy Eating Index. Para siswa menunjukkan tingkat kesehatan yang lebih baik karena mengkonsumsi makanan dengan gizi berimbang. Baik secara fisik maupun mental, termasuk juga penurunan angka obesitas. Body Mass Index (BMI) yang lebih rendah. Juga terjadi penurunan angka kunjungan ke Rumah Sakit di saat jam sekolah.
Yang paling menarik adalah penemuan efek positif makan siang gratis terhadap tingkat kehadiran di sekolah, perilaku, kinerja serta prestasi siswa. Termasuk juga penurunan angka keterlambatan tiba di sekolah dan pelanggaran disiplin. Program itu juga mengurangi tingkat depresi orang tua karena tidak harus ribet menyiapkan bekal anak. Penelitian sepanjang tahun 1941-1956 menunjukkan efek jangka panjang program makan di sekolah terhadap peningkatan kualitas hidup saat mereka dewasa. Pandemi Covid-19 yang baru saja terjadi itu makin menunjukkan efek positif program makan siang tersebut terhadap kesehatan dan jaring pengaman sosial.
Professor Boyd Swinburn, peneliti dari Waipapa Taumata Rau, University of Auckland, dalam artikelnya menulis, Program makan Siang Gratis bagi Siswa memberi manfaat tidak hanya bagi siswa yang lapar, tetapi juga bagi perekonomian lokal. Mulai dari peningkatan kesejahteraan bagi lingkungan sekolah, boosting ekonomi, meningkatkan kesadaran dan ketersediaan makanan sehat, serta melahirkan inovasi baru seperti penggunaan sistem packaging yang ramah lingkungan.
Di tahun 2019, The Global Child Nutrition Foundation (GCNF) melakukan survei tentang Program Makan di Sekolah terhadap negara-negara di dunia. 53 persen negara di dunia menyelenggarakan makan gratis di sekolah. Dari 103 negara yang menjadi responden, 85 negara mempunyai Program Makan di Sekolah. 85 negara itu merepresentasikan 78 persen penduduk dunia. Diperkirakan 297,3 juta anak menjadi penerima Program Makan di Sekolah. Sampai di sini saya merasa sedih, karena anak-anak di Indonesia hanya bagian dari 22 persen anak yang tak beruntung karena tidak mendapat makan di sekolah.
Penelitian juga menemukan bahwa 76 persen penyedia dan pemasok makanan dilakukan oleh komunitas lokal setempat. Dalam hal pendanaan, hanya 8 persen dari negara-negara tersebut menyebut minimnya peran pemerintah. 33 negara lain menyatakan peran pemerintah mengcover pembiayaan hingga 100 persen.
Petani juga terlibat hingga 43 persen dari kegiatan pengadaan makanan tersebut. Dengan petani lokal berskala kecil sebagai pelaku utama. Demikian juga dengan sektor UMKM yang menjadi pelaku kegiatan hingga 40 persen.
Rata-rata keberhasilan Program makan di Sekolah itu ditunjukkan dengan peningkatan kesehatan, peningkatan kehadiran siswa di sekolah dan juga perbaikan perilaku dan etika. Bonus lainnya adalah penggunaan keragaman pangan lokal sebagai menu yang berdampak pada ketahanan pangan sekaligus ketahanan budaya. Tercatat juga adanya peningkatan pendapatan yang signifikan bagi petani lokal, serta ruang kelapangan ekonomi dari keluarga siswa karena berkurangnya biaya makan keluarga. GCNF kemudian juga merekomendasikan agar program makan siang ini diprioritaskan untuk melibatkan perempuan, orang muda dan kelompok marjinal.
Dari segi Pendidikan Karakter dan Budi Pekerti, ada banyak hal dapat diajarkan dari program makan siang bersama itu. Mulai dari membiasakan budaya antri, table manner, kebersihan dan higienitas, termasuk juga kebiasaan memilah sampah organik dan non organik sejak dini. Siswa juga bisa diajarkan disiplin dan tanggung jawab dengan melibatkan mereka untuk menyajikan makanan dan bersih-bersih.
Mungkin kita bisa mencontoh kesuksesan India menjadi penyelenggara makan siang gratis di sekolah dalam jumlah terbesar di dunia. Program yang diberi nama Mid Day Meal Scheme (MDMS) itu, menyiapkan makanan bagi 120 juta anak di 1,27 sekolah setiap hari sejak 1995. Program ini diselenggarakan oleh organisasi-organisasi non profit yang bekerja sama dengan sekolahan. NGO ini mencari bahan pangan langsung dari petani lokal dan UMKM setempat tanpa perantara, sehingga dapat menemukan harga terbaik bagi kedua belah pihak. Kegiatan itu juga memberi peluang-peluang kerja baru untuk juru masak, sopir, accounting bagi Masyarakat lokal. Akhirnya kegiatan ini meningkatkan perekonomian setempat.
Kepada anak PAUD dan SD diberikan makan siang dengan menu berupa nasi dan lauk pauk yang menyesuaikan hasil bumi setempat. Selain memperbaiki nutrisi dan Kesehatan anak, MDMS bertujuan mengurangi angka putus sekolah sekaligus meningkatkan semangat dan kehadiran anak di sekolah. Tingkat kemiskinan yang tinggi di banyak tempat di India menjadikan adanya makan siang gratis di sekolah menjadi jaring pengaman sosial bagi keluarga miskin. Mereka giat menyekolahkan anaknya, tidak lagi membiarkan mereka sebagai buruh cilik. Di tempat-tempat dengan titik kemiskinan terparah, sering kali makan siang di sekolah itu bahkan menjadi satu-satunya makanan yang dikonsumsi anak dalam sehari.
Program makan siang gratis itu ternyata juga berefek positif secara gender. Terjadi peningkatan partisipasi anak perempuan bersekolah. Selama ini kalangan berpendapatan terendah India enggan menyekolahkan anak perempuannya ke sekolah karena menganggap pendidikan tidak penting bagi perempuan. Makan siang gratis menjadi perubahan nilai di Masyarakat terhadap arti Pendidikan bagi perempuan.
Joe McCarthy dalam tulisannya tentang Meal Program pada 15 November 2021 menuliskan bahwa program makan di sekolah adalah tali penyelamat. “If you want increased poverty, don’t provide school meals,” tulis McCarthy mengutip ucapan David Beasley, direktur eksekuti World Food Programme (WFP). Di berbagai belahan dunia, program makan siang anak terbukti menyelamatkan jutaan anak dari permasalahan sosial seperti pernikahan anak, mencegah berkembangnya kelompok-kelopok teroris dan radikal, menaikkan pendapatan per kapita, penguatan ekonomi dan komunitas lokal. Ini semua manfaat di luar manfaat Kesehatan.
Bila ada sedikit keraguan apakah kita mampu menyelenggarakan program makan siang gratis sebenarnya logis. Dana yang dibutuhkan tidak sedikit. Rawan terjadi penyimpangan. Diperlukan kesiapan ekstra agar program ini tidak berhenti di tengah jalan. Tetapi jika dilakukan dengan cara yang tepat, kegiatan ini akan berdampak positif bagi ekonomi lokal. Dana besar yang telah dikeluarkan, akan sebanding dengan manfaat yang didapat. Mungkin yang perlu diperhatikan adalah teknik-teknik pertanggungjawaban, termasuk juga memastikan agar petani dan UMKM menjadi penyedia utama. Perkembangan teknologi informasi sebenarnya memampukan semua kegiatan terpantau masyarakat dan transparan.
Sampai di sini, rasanya rugi sekali kalau Indonesia tidak menyelenggarakan makan siang gratis di sekolah.