Bre Redana dalam tulisannya di Kompas yang berjudul Saya Merasa Dibohongi menulis, “Sebagian besar informasi pada zaman ini diproduksi terutama untuk memprovokasi bukan kecerdasan melainkan sifat senang kita atas gosip, prasangka, asumsi yang sering tak berdasar, pendeknya-istilah sekarang-sifat kepo kita.” Informasi seperti ini menurut Bre Redana akan melemahkan daya hidup kita.
Banyak berita tak bisa dipercaya, cuma memperkeruh otak. Bre kemudian menunjuk nasehat Rolf Dobelli penulis Stop Reading The News bahwa sering kali berita yang kita konsumsi tak relevan dengan kehidupan kita. Apa urusan kita dengan artis Korea yang gonta ganti pacar, tak ada jaringan internet di Timbuktu, seleb yang tak suka sendok plastik, atau berita yang paling membuat saya geleng-geleng: ada 70 pembantu di rumah berkamar 70 milik seleb X. Seperti juga efek konsumsi gula berlebihan yang menimbulkan resistensi pada insulin , obesitas dan diabetes, konsumsi berita-berita berlebihan pun berdampak buruk bagi kesehatan.
Permasalahannya tentu saja adalah, bagaimana menjadi bijak dalam mengkonsumsi berita? Suatu kemampuan yang harus didahului kemampuan memilah mana berita yang sahih dan mana yang hoax. Inilah guna literasi. Literasi memiliki makna yang komplek dan dinamis. UNESCO menyebut literasi sebagai seperangkat keterampilan kognitif dalam membaca, menulis dan bercerita. Literasi membentuk manusia yang berpengetahuan dan berperadaban. Literasi pun menjadi tolok ukur kemajuan suatu bangsa, karena literasi sangat berpengaruh dalam pola pikir warganya.
Sindhunata mengandaikan literasi sebagai alat untuk berpikir kritis dan mengasah kemampuan ‘mengapa’, kemampuan berpikir yang lebih dalam dan kompleks daripada sekadar ‘bagaimana’. Literasi kemudian banyak dikaitkan dengan kemampuan dan kebiasaan membaca dan menulis. Meski literasi juga mencakup tradisi lisan seperti story telling maupun semiotika, kemampuan memahami simbol dan tanda (sign) untuk kemudian mencari maknanya.
Tentu tradisi lisan yang dimaksud berbeda dengan tradisi lisan masa kini yang hiruk pikuk ini. Perbedaannya adalah apa yang dibahas. Story telling tak sekadar bercerita dan bercakap-cakap, melainkan menyampaikan ajaran. Mengutip kisah-kisah yang telah teruji muatannya. Kisah yang mengandung kearifan (wisdom), motivasi dan pengetahuan.
Adalah Korea Selatan, negara yang sukses dengan ajaib menaikkan tingkat literasi masyarakatnya dari sebesar 22% pada tahun 1945, naik empat kali lipat menjadi 87,6% di tahun 1970. Hanya dalam kurun waktu seperembat abad. Rahasianya karena Korea Selatan mulai meninggalkan sistem belajar kuno di tahun 1945, seiring berakhirnya penjajahan jepang. Sistem lama yang menekankan pada menghafal dan penyampaian materi pelajaran secara repetitif diganti dengan meningkatkan kemampuan listening dan speaking pada pendidikan pra sekolah, untuk kemudian meningkatkan kemampuan membaca dan menulis saat di sekolah dasar. Sejak itu perlahan Korea Selatan menapak menjadi negara maju.
Ada fakta yang menarik yang bisa kita simak dari penelitian Chung dan Koo pada tahun 2001. Ternyata 93% orang tua di Korea Selatan selalu membacakan buku untuk anak ataupun cucunya yang berusia 4 sampai 6 tahun. Apa yang dilakukan ini sebenarnya bentuk ‘story telling’.
Story telling memungkinkan generasi muda belajar dari pengalaman generasi sebelumnya dan mengembangkan apa yang telah diketahui oleh generasi di atasnya sejak usia dini. Story telling sebagai tradisi lisan bersama membaca (reading), menulis (writing) dan semiotika kemudian menjadi unsur-unsur untuk membangun tingkat literasi seseorang, yang kemudian menjadi unsur pembangun peradaban. Menjadi bangsa yang besar, maju, dan beradab harus memiliki akar yang kuat pada literasi.
Budaya-budaya di Nusantara tentu saja tak asing dengan tradisi story telling. Dalam khazanah budaya Jawa, story telling dikenal melaui tradisi mendongeng, tembang, lela (menimang), dan kidung. Dalam tradisi membaca dan menulis, budaya Jawa memiliki aneka naskah berupa Babad, Serat, serta Suluk. Babad berisi tentang sejarah kerajaan atau tokoh, Serat berisi tentang ajaran-ajaran (piwulang) atau kisah dunia pewayangan, khususnya Mahabharata dan Ramayana. Sedang Suluk berisi ajaran mengenai hubungan antara manusia dengan Sang Pemberi Hidup.
Dalam semiotika, penggunaan simbol menjadi bentuk komunikasi yang tidak langsung, artinya ada pesan-pesan tersembunyi di dalam simbol. Makna suatu simbol sangat bergantung pada interpretasi individu. Kemampuan memahami makna dalam simbol-simbol ini adalah juga bentuk literasi.
Kembali ke tradisi Jawa, dalam dunia Jawa, ajaran moral yang disampaikan melalui ritual sering tidak dilakukan dengan terbuka atau terus terang melainkan melalui berbagai macam simbol. Sesuai dengan karakter orang Jawa yang suka menyatakan segala sesuatu dengan tidak langsung seperti yang terungkap dalam peribahasa : wong Jawa nggone semu, sinamun ing samudana, sasadone ingadu manis. Orang Jawa cenderung bersikap semu atau terselubung, penuh simbol, dan suka menyampaikan kata-kata tersamar.
Orang Jawa juga mempunyai cara yang khas dalam menciptakan simbol. Ada metode pemadatan seperti kata tebu (anteping kalbu), sukun (supaya rukun), jeruk (jaba jero kudu mathuk), dan sebagainya. Simbol memang rentan mengalami salah tafsir atau distorsi makna. di khalayak umum. Apalagi makna simbol-simbol itu kini makin jarang dipahami masyarakat karena derasnya informasi dari luar yang lebih menarik perhatian, dan kita terlanjur malas untuk merenung dan membaca yang tersamar. Tak banyak lagi yang paham bila ingkung (ayam yang dimasak utuh) dalam berbagai ritual merupakan pemadatan dari kalimat ingsun tambah manekung yang mempunyai makna ‘aku selalu menyembah dan memohon kepada Tuhan‘.
Simbol-simbol dalam dunia Jawa juga tersebar dalam bentuk fisik bangunan dan konsep tata ruang. Simbol juga kerap dilekatkan pada orang-orang tertentu seperti pada raja. Baik berupa gelar ataupun pakaian khusus.
Budaya jawa yang diulas di atas hanyalah contoh. Budaya-budaya lain di Nusantara pun memiliki tradisi literasi yang panjang. Sayang, di era media sosial, ada kecenderungan bila karya literasi tak lagi dekat dengan publik, sebagaimana di masa lalu. Kalah bersaing dengan informasi yang lebih mudah diakses serta tampil dalam format menarik namun seringkali dangkal dan bermuatan hoax. Dan yang paling menyedihkan, tak menyuarakan ketahanan budaya. Membuat kita pelan-pelan akan tergerus menjadi bangsa yang tak lagi memiliki identitas, mudah terpecah belah. Menjadi negara maju belum, tetapi terlanjur kehilangan akarnya.
Banyak karya-karya literasi dari masa lalu itu berupa ajaran yang masih relevan di masa kini. Di kota saya Solo misalnya. Di masa Kasunanan dan Mangkunegaran, secara perlahan stabilitas politik terjadi di Solo, seiring otonomi yang cukup luas yang diberikan pemerintah Belanda kepada kedua kerajaan tersebut. Di masa itu banyak lahir pujangga yang produktif.
Yang sangat menonjol dari Solo adalah karya-karya dalam bentuk metrum macapat atau puisi macapat. Bukan hanya karya-karya Jawa Kuna klasik seperti Bharatayuda, Ramayana, Lokapala, Arjunasasrabahu, Wiwahajarwa yang dirubah dalam bentuk puisi macapat, melainkan juga lahirnya karya baru dalam bentuk sastra piwulang. Di antaranya Serat Wicarakeras, Sanasusnu karya Yasadipura II, Wulang Reh dan Wulang Sunu karya Paku Buwana IV, Wedhatama karya Mangkunegara IV, dan Serat Centhini karya Paku Buwono V. Bentuk metrum macapat juga muncul dalam karya sastra sejarah seperti Babad Giyanti, Babad Pakepung, Babad Prayut, Babad Pakunegaran dan sebagainya. Bentuk macapat ini memungkinkan karya-karya tersebut lebih mudah dimengerti dan menjangkau khalayak yang lebih luas di masa itu.
Cara leluhur kita mencipta macapat di masa lalu ini bisa kita adaptasi di masa kini. Pencarian format yang lebih populer ini tidak hanya terjadi dalam tradisi Jawa saja. Kita perlu memperkenalkan literasi dalam format yang lebih menarik, agar lebih menjangkau khalayak yang lebih luas. Menjembatani generasi yang terlanjur lepas dari tradisi membaca dan menulis tradisonal, dan tak lagi mengalami hidup dalam keluarga yang mentradisikan mendongeng ataupun memahami simbol-simbol. Agar pelan-pelan mereka tak lagi terjebak menjadi pengkonsumsi berita tak relevan secara berlebihan dan kehilangan kemampuan berpikir rasional dan kemampuan berempati.
Bagaimana formatnya? Mari Kita eksplorasi ramai-ramai.
Vika Klaretha Dyahsasanti