Mencairkan Polarisasi: Dari All Jokowi’s Final Untuk Pilpres 2024 Hingga Pertemuan Prabowo-Gibran

Berita yang cukup menghebohkan minggu ini adalah tentang reshuffle kabinet. Masuknya PAN dalam Kabinet Indonesia Maju dengan ditunjuknya Zulkifli Hasan menjadi menteri perdagangan. Semua anggota Koalisi Indonesia Bersatu kini menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi. Berikutnya adalah berita tentang mantan Panglima TNI Hadi Tjahjanto yang juga dilantik menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang. Terakhir berita Prabowo Subianto berkuda bersama Gibran Rakabuming Raka, walikota Solo sekaligus putra Presiden Jokowi juga menghebohkan.  Suhu politik yang kian memanas menjelang Pilpres 2024 membuat semua orang berusaha mencari makna maupun benang merah dari rangkaian peristiwa-peristiwa ini. Ada apakah?

Dalam Pelantikan Menteri dan Wakil Menteri Kabinet Indonesia Maju tanggal 15 Juni 2022 itu, Presiden Jokowi juga melantik dua wakil menteri berlatar belakang partai, yaitu Wamen ATR Raja Juli Antoni yang tak lain adalah Dewan Pembina PSI serta Wamenaker Afriansyah Noor yang juga Sekjen Partai Bulan Bintang. Dengan demikian hanya Partai Demokrat dan PKS yang tidak terwakili dalam kabinet Indonesia Maju. Pepo jangan menangis lho…

Yang menarik dari pelantikan tersebut adalah momen Jokowi menggandeng tangan Megawati yang terlihat berjalan memakai tongkat. Ini kali kedua Jokowi terlihat bersama Megawati dalam waktu yang berdekatan. Momen sebelumnya Jokowi juga menggandeng Megawati dalam acara Pelantikan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) tanggal 7 Juni 2022. Kedekatan Jokowi dan Megawati ini menepis rumor yang beredar bahwa hubungan keduanya retak karena Megawati tidak hadir dalam beberapa acara penting kenegaraan.

Tak cukup di situ, pelantikan pada 15 Juni 2022 itu juga menghadirkan momen istimewa saat Jokowi dan para Ketua Umum Partai berjalan bersama dan saling berbicara hangat saat makan siang bersama. Ada Megawati, Prabowo, Surya Paloh, Airlangga Hartarto, Suharso Monoarfa, Muhaimin dan Zulkifli Hasan. Sekali lagi, hanya Ketua Umum PKS dan Demokrat yang tak terlihat. Mungkin sebagai ketua umum, AHY masih dianggap belum cukup umur. Kagak bakal ngerti apa yang dibicarakan…

Mungkin sebenarnya karena Partai Demokrat masih sibuk dengan konflik internal partai, sehingga mereka bingung, Ketua yang mana yang mesti hadir. Sedang PKS memang partai yang sulit diajak kolaborasi. Seperti biasa partai yang satu ini selalu suka cari sensasi, sok oposisi. Lebih suka melempar isu memecah belah daripada berkolaborasi menenteramkan masyarakat. Dan yang paling penting, partai ini konon dekat dengan ormas-ormas berideologi radikal. Kelompok yang mungkin tidak benar-benar menerima Pancasila. Belakangan dukungan pada PKS makin merosot. PKS pun tak memiliki kandidat kuat untuk diusung sebagai capres.

PKS kemudian mendadak gemar mewacanakan diri sebagai partai yang nasionalis dan Pancasilais. Di berbagai daerah, terlihat baliho-baliho PKS, menampilkan tokoh-tokohnya bernarasi kebangsaan sekaligus tak lagi dengan nuansa warna hitam putih. Terlihat warna merah yang cukup mencolok. Mungkin PKS sedang berusaha menarik perhatian dua partai besar berplatform kebangsaan: PDIP dan Gerindra. Kebetulan kedua partai itu dominan menggunakan warna merah.

Pelantikan itu juga seakan mengirimkan sinyal kuat tentang koalisi 2024 nanti. Presiden Jokowi dengan jenius merangkul nyaris semua partai. Kita semua tahu, syarat mengusung Capres 2024 adalah 25% perolehan suara atau 20% perolehan kursi di DPR, berdasarkan hasil Pemilu 2019. PDIP menjadi partai paling dominan dibandingkan dengan partai politik lainnya dengan 128 kursi. PDIP pun menjadi satu-satunya partai yang bisa mengusung capres.

Perolehan kursi DPR terbanyak berikutnya adalah Partai Golkar, sebanyak 85 kursi. Diikuti Gerindra sebanyak 78 kursi, dan Partai Nasdem sebanyak 59 kursi. Jika ditotal hanya 9 partai yang berhasil mendapatkan kursi DPR RI pada periode 2019-2024. Akibatnya partai politik lainnya harus membuat koalisi untuk memenuhi syarat ambang batas pengajuan capres (presidential threshold), hingga total perolehan kursinya mencapai minimal 20% dari total jumlah kursi DPR.

Hasil Pemilu 2019 tersebut diprediksi akan menyebabkan adanya 3 poros dalam mengusung Capres 2024. Poros Teuku Umar yang dikomando Megawati. Poros Hambalang dengan komando Prabowo dan Poros Cikeas di bawah komando SBY. Tentu bukan hal sulit bagi Poros Teuku Umar untuk mengusung capres. Untuk poros Hambalang, Prabowo Subianto bersama Partai Gerindra bisa saja bersama-sama membangun koalisi dengan Partai Golkar, sehingga mencukupi ambang batas pencalonan seorang presiden dan wakil presiden.


Poros Cikeas agak sulit dibentuk. Kursi Partai Demokrat di DPR RI sangat sedikit, sehingga perlu menarik banyak partai lainnya. Kemungkinan besar adalah partai oposisi lainnya, yakni PKS. Akan tetapi gabungan Demokrat dan PKS juga masih belum memenuhi syarat, setidaknya membutuhkan satu partai lain untuk bergabung agar cukup dalam ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Partai yang tersisa hanya PAN, PKB, PPP dan Nasdem. Namun, kejeniusan Jokowi merontokkan harapan Demokrat dan PKS. Mungkin setelah ini, kita akan kembali mendengar nyanyian pilu dari Pepo.

PAN, PKB dan PPP selama ini diprediksi akan melihat trend di tiga poros tersebut. Tidak mengusung calon khusus, hanya mendukung kandidat yang paling potensial menang. PKB dianggap cenderung ke Poros Teuku Umar. Sedang PAN dan PPP relatif masih melihat kandidat dan poros koalisi tmana yang paling memberi keuntungan bagi partai. PAN dan PPP kemudian bergabung bersama Golkar membentuk Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Dengan masuknya Zulkifli Hasan di kabinet Indonesia Maju, ini berarti semua anggota KIB telah bergabung dengan Pemerintahan Jokowi. Semakin tak mungkin bergabung dengan Poros Cikeas.

Nasdem selama ini dianggap yang paling tertarik bergabung dengan poros Cikeas ini. Untuk kemudian mengusung Anies Baswedan atau AHY. Tetapi ibarat pemain bola, Jokowi membuat hattrick, mencetak tiga gol dalam satu pertandingan. Surya Paloh kemudian terlihat tampil mesra bersama para ketua umum partai lainnya saat pelantikan Kabinet Indonesia Maju itu. PKS dan Demokrat boleh gigit jari. Makin mendekati kenyataan bahwa capres-capres di 2024 kelak adalah all Jokowi’s final.

Tetapi sebenarnya bukan hal itu yang paling penting dari langkah Jokowi kali ini. Bukan bagi-bagi kue politik. Jokowi ingin merukunkan kembali masyarakat dengan cara mencairkan polarisasi di masyarakat yang terbentuk kuat pasca Pilpres 2014. Jokowi ingin meletakkan jangkar Persatuan dan Kesatuan Bangsa. Polarisasi di Indonesia, terutama dipicu antara lain oleh politisasi perbedaan keyakinan dan ideologi. Ada pihak-pihak yang memainkan perbedaan keyakinan dan ideologi ini untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Momentum Pilpres dan Pilkada selalu mereka gunakan untuk meningkatkan sentimen antar kelompok. Dari sinilah kemudian terbentuk polarisasi yang diwakili kata ‘cebong’ untuk pendukung Jokowi, serta ‘kampret’ untuk pendukung Prabowo. Belakangan kata ‘kampret’ berubah menjadi ‘kadrun’. Kedua kutub ini bagaikan minyak dan air, saling menyerang.

PKS kerap membela kelompok-kelompok radikalis yang gemar menyerang kelompok yang berbeda pendapat apalagi keyakinan. Mungkin ini yang menyebabkan PKS tidak diajak kerjasama dalam Kabinet Indonesia Maju. Di pihak lain, Demokrat dengan peran dominan SBY, terlalu tinggih hati untuk bekerja sama dengan PDIP. Ya udah, kedua partai itu cuma menatap kemesraan para ketum dari jauh. Pediiih.

Kita semua tahun Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah keputusan final yang telah disepakati kita bersama sejak dulu. NKRI melindungi semua kebhinekaan yang ada, rumah bagi semua Bangsa Indonesia tanpa mempedulikan perbedaan identitas etnis dan keyakinannya. Polarisasi tidak boleh dibiarkan, semua pihak yang bertikai ataupun saling berbeda pandangan harus dirukunkan, tanpa perlu saling menyalahkan. Jokowi berhasil merangkul partai-partai yang selama ini sulit bersatu, memecah kebekuan yang terbentuk sejak Pemilu 2014. Kebersamaan ini menjamin Pilpres 2024 tak lagi akan mengikuti pola dua Pilpres sebelumnya yang selalu mempertentangkan antara kelompok nasionalis versus agama.

Untuk mencairkan polarisasi ini, Jokowi tidak main-main. Ia merangkul Hadi Tjahjanto, mantan Panglima TNI yang terkenal sebagai barisan Jenderal Merah Putih untuk menjadi menterinya. Sebelumnya untuk menggantikan Hadi Tjahjanto, Jenderal Andika Perkasa juga telah dipilih Jokowi sebagai Panglima TNI. Jenderal Andika pun berada di barisan Jenderal Merah Putih. Belakangan Namanya pun kerap dijagokan sebagai Capres 2024 dan elektabilitasnya terus meningkat. Ia dianggap sebagai tokoh yang paling bisa diterima di dua kutub polarisasi itu.

Mencairkan polarisasi ini juga menjadi trend baru yang diikuti banyak pemimpin politik lainnya. Termasuk Prabowo Subianto. Baru-baru ini terjadi pertemuan antara Prabowo dan Gibran di Hambalang pada 18 Juni 2022. Alasan pertemuan itu hanya silaturahmi sembari Prabowo mengajari Gibran berkuda. Tentu saja politik tak sesederhana itu. Kita semua tahu Prabowo dan Jokowi bersaing dalam Pilpres 2014 dan 2019.  Masuknya Prabowo menjadi Menteri Pertahanan sendiri adalah bukti kebesaran keduanya dalam berpolitik. Namun demikian, polarisasi ternyata tak kunjung cair setelah itu. Maka menjelang Pilpres, di tengah suhu politik yang kian memanas, pertemuan Prabowo dan Gibran adalah sinyal bagi kita semua untuk mengakhiri polarisasi di masyarakat. Apalagi trend dunia kini bukan lagi kompetisi tetapi kolaborasi. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.

Eh tapi ada yang bilang, pertemuan Prabowo-Gibran itu proyeksi Pilpres 2024. Tandem PDIP dan Gerindra. Apapun itu, sekali lagi, capres 2024 adalah all Jokowi’s men, karena Jokowi terbukti setia dan teguh menjaga keutuhan NKRI.

Nia Megalomania

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *