Andi Arief politisi sok bersih dari Partai Demokrat, kena batunya lagi. Namanya disebut saat pembacaan surat dakwaan terdakwa Abdul Gafur Mas’ud. Seperti diketahui, Mas’ud adalah Bupati Penajam Paser Utara non aktif sekaligus kader Partai Demokrat. Mas’ud terlibat kasus suap dengan nilai 5,7 Milyar Rupiah. Dan yang epic, nama Andi Arief disebut sebagai penerima uang suap dari Mas’ud. Andi Arief bahkan mengakui sendiri telah menerima uang sebesar 50 juta rupiah dalam tas kresek hitam.
Bisa dibayangkan betapa tertamparnya AHY, SBY dan tentu saja Partai Demokrat yang belakangan ini juga dipermalukan oleh Roy Suryo. Roy Suryo, mantan kader Demokrat yang mengaku pakar IT dan sering diidentikkan dengan humor seputar panci, kali ini dilaporkan melanggar Undang-undang ITE. Ini tentu bukan tuduhan yang kaleng-kaleng. Tak seperti panci kaleng.
Dan kini Andi Arief pun menambah malu Partai Biru itu. Kasus ini menjadi lucu karena penerima suap (Mas’ud) ternyata juga menyuap orang lain (Andi Arief). Suap kuadrat. Andi Arief pun diolok-olok sebagai politisi jadul karena ‘hare gene bawa duit kontan’. Dalam tas kresek hitam pula. Masa bawa uang disamakan dengan bawa gorengan. Anak milenial yang paling cupu sekalipun juga tahu, ini era cashless, Bung..
Dalam literatur-literatur ekonomi, penggunaan uang tunai dalam jumlah berlebihan dan tak sewajarnya kerap menjadi indikasi terjadinya penyuapan, korupsi, pencucian uang dan banyak kejahatan lainnya, termasuk terorisme. Peneliti keuangan dan perbankan terkemuka dari Austria, Friedrich Schneider menemukan fakta bahwa semakin tinggi penggunaan uang tunai, semakin tinggi pula peluang terjadinya kejahatan. Pelaku kejahatan memilih penggunaan uang tunai karena sulit dilacak dibanding melalui transaksi perbankan ataupun aplikasi keuangan yang kini marak. Di Indonesia pun, transaksi di lingkungan pemerintahan sudah lama dilakukan dengan non tunai.
Dari sini kita tentu bertanda tanya besar, ada apa antara Mas’ud dan Andi Arief?
Andi Arief awalnya mengaku menerima uang dua kali dari Abdul Gafur. Pemberian pertama dia terima langsung sebesar 50 juta rupiah dan kedua diberikan ke staf Demokrat bernama Mahesa. Di Pengadilan Tipikor Samarinda pada 20 Juli 2022, Andi Arief berdalih, uang tersebut digunakan untuk membeli atribut partai. Salah satunya kalender partai.
.
Saat itu Jaksa KPK bertanya apakah pemberian uang itu berkaitan dengan pencalonan Abdul Gafur sebagai Ketua DPD Demokrat Kaltim. Andi menegaskan bukan. Jaksa KPK langsung bertanya sengak, “Saudara jualan kalender apa gimana?”
Tentu saja Andi Arief tidak mampu menjawab gamblang. Hanya terbata-bata, kehabisan kata-kata.
Dalam persidangan tipikor ini, Mas’ud duduk sebagai terdakwa bersama dengan Nur Afifah Balqis, yang disebut sebagai Bendahara DPC Partai Demokrat Balikpapan. Mereka menerima suap sebesar 5,7 miliar rupiah
secara bertahap dari berbagai pihak. Suap itu diberikan agar Mas’ud menyetujui pengaturan paket-paket pekerjaan tahun anggaran 2020 dan 2021 pada lingkup Dinas PUPR Kabupaten Penajam Passer Utara. Selain itu, ada pemberian suap agar Mas’ud menerbitkan perizinan untuk perusahaan pertambangan dan perkebunan di Penajam Passer Utara.
Uang suap itu kemudian digunakan Mas’ud untuk kebutuhan biaya operasional Musda Partai Demokrat Provinsi Kalimantan Timur yang sedang melakukan pemilihan Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Kalimantan Timur.
Karena jabatannya sebagai Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat, Andi Arief pun akhirnya menerima uang suap dari Mas’ud yang ingin menjadi Ketua DPD Demokrat Kalimantan Timur. Andi Arief pun sempat berkelit lagi bila uang suap itu untuk kader-kader Demokrat yang terkena Covid.
Mana yang benar sih, buat jualan kalender atau Covid? Begitulah, kebohongan selalu membuat pelakunya terlibat kebohongan-kebohongan lain.
Andi Arief memang tokoh yang kontroversial. Ia kerap berbohong dan menyebar fitnah. Munafik. Awalnya Andi Arief memang dikenal sebagai aktivis pro-demokrasi pada masa Orde Baru. Ia aktif di Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) yang berafiliasi dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Akibat kegiatan aktivismenya yang dianggap mengancam Rezim Soeharto, ia menjadi salah satu korban penculikan aktivis pada tahun 1998.
Era reformasi ternyata melunturkan idealismenya. Andi Arief kemudian bergabung dengan Partai Demokrat dan sejak itu ia kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial dan fitnah.
Pada Pilpres 2019, Andi mengeluarkan cuitan hoax di akun Twitternya soal tujuh kontainer surat suara tercoblos atas nama pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin. “Mohon dicek kabarnya ada 7 kontainer surat suara yang sudah dicoblos di Tanjung Priok. Supaya tidak fitnah harap dicek kebenarannya, karena ini kabar sudah beredar,” tulis Andi. Belakangan cuitan itu dihapus.
Komisi Pemilihan Umum bergerak cepat mengecek kabar tersebut. Dari informasi pihak Bea Cukai maupun TNI AL, KPU memastikan kabar tersebut hoax. KPU pun meminta polisi mengusut pelaku penyebaran hoax tersebut. Andi Arief kemudian dipolisikan ke Bareskrim Polri atas dugaan kejahatan terkait pemilihan umum, penyebaran hoax, pencemaran nama baik melalui media elektronik, dan penghinaan.
Pada 8 Agustus 2018, Andi pernah menuding Prabowo Subianto sebagai “jenderal kardus” karena lebih mementingkan uang dibanding perjuangan. Andi Arief juga menuduh Sandiaga Uno menggelontorkan uang untuk Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Amanat Nasional demi menjadi calon wakil presiden Prabowo. Menurut Andi, masing-masing partai menerima Rp 500 miliar dari Sandi. Bawaslu merespons pernyataan Andi dengan mengundang Andi untuk dimintai keterangan. Namun, undangan Bawaslu tak dipenuhi. Andi Arief beralasan berada di luar kota.
Puncak kontroversi Andi Arief terjadi di bulan Maret 2019, Andi Arief ditangkap polisi karena dugaan menggunakan narkoba jenis sabu. Ia ditangkap di hotel Menara Peninsula di kawasan Slipi, Jakara Barat. Di kamar hotel itu ditemukan sejumlah bungkus rokok, minuman, sedotan bong, termasuk kondom. Polisi pun menciduk Arief sedang bersama wanita berinisial R alias L yang bersembunyi di kamar mandi.
Semua rekam jejak itu tentu menunjukkan betapa tak bisa dipercayanya Andi Arief.
Dalam kasus suap dengan Mas’ud, Pelaksana tugas juru bicara KPK Ali Fikri, Andi Arief sempat bertemu Mas’ud bersama politikus Demokrat, Jemmy Setiawan. Jemmy adalah Deputi II BPOKK Bidang Kaderisasi Partai Demokrat. Keduanya membahas dukungan kepada Mas’ud.
Sebelumnya, Andi Arief sudah pernah diperiksa di kasus yang sama pada 11 April 2022. Ketika itu, Andi mengatakan ditanya soal mekanisme Musyawarah Daerah Partai Demokrat. Dari situ bisa terlihat bila mekanisme pemilihan pengurus partai di lingkungan Partai Demokrat sangat kental aroma money politics. Ini menggenapi keganjilan Partai berlambang Mercy yang kental aroma partai keluarga. Ketua Umum, Sekretaris dan Ketua Dewan Pembina dipegang oleh SBY anak beranak termasuk para mantu. Wajar bila kemudian ada pembelotan dari dalam partai dengan membentuk kepengurusan baru versi Moeldoko.
SBY pun kemudian meraung-raung sembari menyanyi galau. Partai Demokrat sendiri sudah lama disinyalir bukan partai yang demokratis. Kader Partai Demokrat dari Jawa Timur, Bayu Airlangga, baru-baru ini menyatakan mundur dari partai setelah dirinya tidak dipilih DPP partai Demokrat sebagai Ketua DPD Jatim yang baru.
Dalam Musyawarah Daerah 2022, Bayu meraih dukungan suara dari 25 DPC. Sedangkan saingannya Emil Dardak hanya meraup suara 13 DPC. Ajaibnya, DPP Demokrat di Jakarta memilih Emil Dardak sebagai ketua DPD. AHY melalui DPP Partai Demokrat berdalih bahwa hasil Musda tidak menjadi keputusan final. DPP pun melakukan fit and proper test terhadap kandidat ketua DPD, dan hasilnya mereka memilih Dardak.
Partai Demokrat bukan hanya ditinggalkan kadernya di Jawa Timur, tetapi juga di Sulawesi Selatan. Di sana, politikus senior Ilham Arief Sirajuddin (IAS) memastikan sejumlah loyalis yang mendukungnya di Musda Demokrat Sulawesi Selatan (Sulsel) pada Desember 2021 lalu akan ikut pindah ke Partai Golkar.
Apa yang terjadi pada IAS persis apa yang terjadi pada Bayu Airlangga. IAS memenangkan Musda Demokrat Sulsel dengan dukungan terbesar sebanyak 16 suara DPC. Sayang AHY sang Ketua Umum lebih memilih Ni’matullah (Ulla) sebagai Ketua DPD Demokrat Sulsel.
Adakah kemenangan pemilihan ketua Demokrat di wilayah ini melibatkan sejumlah uang dan suap sebagaimana kasus Mas’ud? Entahlah. Yang jelas Andi Arief selalu mengurusi pemenangan pemilu. Mungkin karena ia hobi mengoleksi tas kresek.
Nia Megalomania