Seniman, khususnya para perupa tradisi adalah satu profesi yang dewasa ini terkesan “left behind“, tertinggalkan oleh modernitas. Di era globalisasi saat ini kita mungkin melihatnya sudah tidak sesuai jaman lagi. Karya-karya mereka mungkin terasa kuno dan ketinggalan. Tetapi kalau kita mau refleksi, kecenderungan umum untuk mengikuti trend kontemporer itu artinya menyerahkan diri untuk dipimpin oleh global trendsetter, karena selalu ada pemenang di kancah global, dan itu adalah kekuatan modal.
Maka, dalam konteks “hidup bersama” sebagai suatu masyarakat kota Solo misalnya, memperhitungkan keberadaan para perupa tradisi perlu kepemimpinan yang kuat. Niat yang kuat dari pemangku kebijakan untuk memberi peran yang tegas dalam kehidupan masyarakat kota harus merupakan upaya yang tersistem lestari. Bukan sekedar memberi proyek sesaat, karena mereka toh tidak hidup sesaat. Apalagi sekedar bantuan bingkisan sosial-politis yang justru melecehkan martabat mereka.
Kita bisa belajar dari kota Thimpu, Bhutan, masyarakatnya menerapkan elemen-elemen seni rupa tradisi pada setiap bangunan, baik bangunan pemerintah maupun pribadi; semuanya, tanpa kecuali. Dengan tingkat kerumitan ornamennya, bisa dibayangkan betapa labour intensive-nya pekerjaan mendekorasi bangunan. Setiap jendela, setiap pintu, listplang, frame, gapura, pilar, bukan saja dilukis bahkan dipahat ukir. Belum pekerjaan mural di dinding-dinding. Ada ribuan seniman ukir dan lukis yang terlibat dalam “instalasi’ kota, bahkan seluruh negeri.
Corak lukisan tradisinya menjadi penanda khas tempat ini sehingga bagi turis selalu menarik untuk dijadikan selfie spot yang instagramable. Efeknya, ini bahkan menggoda para turis untuk membawa pulang lukisan2 sebagai kenangan dari kota ini.
Tak heran, sekolah-sekolah menengah kejuruan di bidang kerajinan dan seni rupa menjadi pilihan bergengsi disini, karena lapangan kerja dibidang ini menjadi terhormat dan lestari sepanjang waktu.
Harapan saya kepada Walikota Solo yang akan datang, haruslah seseorang yang memiliki kepemimpinan kuat memberi ruang hidup bagi kebudayaan, khususnya seniman rupa dengan mengharuskan dihadirkannya karya-karya seni tradisi klasik di setiap rumah, kantor-kantor, maupun ruang publik. Dengan demikian kita menghidupi seniman, guru, sanggar dan sekolah seni. Selain itu kita juga “menghidupkan” kekayaan tradisi klasik, mematerialkannya secara masif dari yang selama ini hanya menjadi “intangible assets”.
Sunu Prasetya
Bhutan, Purnama Mei 2024