Tulisan ini bermaksud menanggapi tulisan Arie Putra di Detik News, 24 November 2023 yang berjudul “Politik Jokowiavelli”. Arie Putra mencoba mengaitkan Jokowi dengan prinsip Machiavelli yang kontroversial karena melepaskan kekuasaan dari moralitas.
Bagi Arie Putra pikiran Machiavelli itu tidak sepenuhnya keliru. Kekuasaan telah menghadirkan bentuk moralitasnya sendiri yang berbeda dengan moralitas personal. Moralitas politik. Mengutip William Liddle, Machiavelli justru menawarkan moralitas politik dalam memandang kekuasaan, karena penguasa tidak dapat selalu menggunakan moralitas personal dalam mengambil keputusan-keputusan penting. Moralitas politik merupakan alasan yang sahih untuk berdamai dengan moralitas personal.
Dalam kasus dukungan Presiden Jokowi pada pencalonan putranya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden Prabowo Subianto, banyak kritik dan penolakan terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi. Sejumlah orang mewakili masyarakat yang kecewa dengan keputusan MK, kemudian menggugat Keputusan MK yang seolah memberi tiket khusus pada Gibran. Gugatan ini kemudian bersambut dengan adanya keputusan Majelis Kehormatan MK yang menyebut Ketua MK melakukan pelanggaran etik berat. Pelanggaran moral memang terjadi.
Di sinilah Arie Putra terlihat sedikit sinis dengan mereka yang menolak Keputusan MK dengan sebutan kaum moralis. Lebih lanjut Arie Putra menulis, “kritikan pelanggaran etika memutus Para moralis kecewa kepada Presiden Jokowi yang dituding ingin membangun politik dinasti. Walaupun secara substansi, tidak ada orang yang dirugikan hak konstitusionalnya dari keputusan MK tersebut.”
Lebih jauh, Arie Putra kemudian menyebut pencalonan Gibran adalah strategi Jokowi untuk membangun blok kekuatan politik alternatif. Dengan asumsi, “Atas izin Presiden Jokowi pada pencalonan Gibran, blok PDI-Perjuangan pun mendapat lawan tanding sepadan.” Demikian ditulis Arie Putra. Sebagai sebuah fakta politik, kesatuan yang solid antara Presiden Jokowi dan PDI-Perjuangan akan sangat sulit tertandingi bila bersatu. Langkah Jokowi itu, yang kemudian disebut Arie Putra sebagai “Jokowiavelli” mencegah lahirnya kekuatan politik tunggal yang mengorkestrasi semua keputusan politik, seperti zaman Orde Baru.
Jelas sekali Arie Putra tidak menganggap masalah moralitas sesuatu yang paling utama dalam bernegara. Baik itu moralitas personal, maupun moralitas politik sebagai penggabungan dari moral-moral personal. Ini menjadi kritik pertama pada tulisan Arie Putra tersebut.
Pencalonan Gibran jelas tidak memiliki legitimasi etis, yang bisa diartikan tidak memiliki keabsahan berdasarkan prinsip-prinsip moral. Keputusan Majelis Kehormatan MK jelas menyebutkan ada pelanggaran etika yang dilakukan Ketua MK dalam pengambilan keputusan kontroversial yang berujung pencawapresan Gibran. Legitimasinya secara legal pun bisa disangsikan. Keabsahan pencalonan Gibran menjadi dipertanyakan, karena terjadi pelanggaran etika dalam dasar hukum yang digunakan.
Sampai di sini, sinisme Arie Putra pada para moralis yang dianggap hanya mengkritik tidaklah tepat. Majelis Kehormatan telah memutus adanya pelanggaran etika, sehingga yang terjadi bukanlah sekadar kekecewaan para moralis. Wajar bila kemudian Majelis Kehormatan MK memutusnya sebagai pelanggaran etis. Yang artinya terbukti benar-benar terjadi pelanggaran, bukan sekadar kritik tak berdasar yang layak dipandang secara sinis.
Implikasi dari pelanggaran etika itu tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Mengutip Franz Magnis Suseno dalam bukunya Etika Politik, kekuasaan hanya sah secara etis apabila sesuai dengan etika politik, yaitu dijalankan dengan hukum yang berlaku (legalitas), disahkan secara demokratis (legitimasi demokratis) dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar moral (legitimasi moral).
Inti permasalahan etika politik adalah masalah legitimasi etis kekuasaan yang dapat dirumuskan sebagai: “dengan hak moral apa seseorang atau sekelompok orang memegang dan mempergunakan kekuasaan yang mereka miliki? Betapapun besarnya kekuasaan seseorang, ia selalu dihadapkan dengan tuntutan untuk mempertanggungjawabkannya.”
Yang menakutkan dari tulisan Arie Putra itu adalah upaya untuk meremehkan moralitas, meski telah diperhalusnya dengan istilah moralitas politik, yang berbeda dengan moralitas personal.
Etika politik perlu dimiliki oleh pemerintah dan politikus agar terhindar dari sikap mementingkan diri sendiri dan kelompoknya. Moral berperan menentukan apakah suatu tindakan politik termasuk etis atau tidak etis. Suatu tindakan politik dikatakan etis ketika terdapat sikap toleransi, menghargai perbedaan pendapat, dan mengutamakan kepentingan umum dibandingkan dengan kepentingan golongan atau egoisme. Etika politik merefleksikan kualitas moral para politikus dan penyelenggara negara.
Sampai di sini kita dapat menilai, apakah kenekatan Gibran untuk terus melaju menjadi cawapres dari Prabowo Subianto etis? Keputusan Mahkamah Kehormatan MK jelas menunjukkan telah terjadi pelanggaran etika dalam Keputusan MK. Seharusnya sikap etis yang dilakukan seorang Gibran bila ia memiliki etika politik adalah mundur dari pencalonan sebagai Cawapres. Namun apakah ia melakukannya?
Gibran tidak melakukannya, dan ini menjadikan pencalonannya tidak memiliki legitimasi etis. Ini masih ditambah dengan penyimpangan dari etika politik yang berlaku. Baik secara regulasi yaitu pelanggaran UU no 28 Tahun 1999 tentang nepotisme, yang terlihat jelas dari sisi kekerabatan yang terlalu dekat antara Gibran dengan penyelenggara negara. Baik itu Presiden yang merupakan ayahnya sendiri, maupun Ketua Hakim Konstitusi yang sekaligus pamannya. Sehingga mudah sekali terjadi konflik kepentingan.
Ini masih ditambah penyimpangan etika politik secara normatif seperti pengalaman yang minim karena hanya dua tahun menjadi Walikota serta keterbatasan akademik yang membuat orang mudah menyangsikan kompetensinya. Pencalonannya jelas merugikan Masyarakat Indonesia karena mengurangi kesempatan untuk mendapat calon yang lebih berintegritas dan kompeten. Terasa pelanggaran etika politik yang kuat karena mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan di atas kepentingan umum. Pejabat negara seharusnya bisa menjadi teladan bagi masyarakat dan bukan menjadi polemik karena menimbulkan keraguan di masyarakat.
Daftar penyimpangan etika politik ini masih bisa ditambah lagi bila fenomena Gibran mencalonkan diri sebagai Cawapres itu dikaitkan dengan dukungan Presiden Jokowi. Dimulai dari ketidaktegasan Jokowi ataupun Gibran sejak awal untuk menyatakan diri dengan sportif akan berkompetisi dalam Pilpres 2024. Ini masih ditambah dengan jawaban pragmatis “biar masyarakat yang memilih”, saat dibenturkan pada fakta pelanggaran etika oleh Ketua Hakim Konstitusi.
Masalah Etika Politik juga yang menjadi kritik kedua terhadap tulisan Arie Putra tersebut. Sikap permisif dan tidak mendahulukan etika politik dengan menyetujui upaya membuat blok kekuatan politik alternatif. Membuat PDIP sebagai partai pemenang Pemilu 2019 mempunyai lawan tanding yang sepadan, yang kemudian ditutup dengan kalimat, “mencegah lahirnya kekuatan politik tunggal yang mengorkestrasi semua keputusan politik, seperti zaman Orde Baru.” Aksi yang disebut Arie Putra sebagai Jokowiavelli.
Pernyataan Arie Putra bahwa tetap bersatunya Jokowi dan PDIP sungguh sangat naif. Melihat survei-survei terhadap elektabilitas Ganjar Pranowo sebagai calon yang diusung PDIP tidak pernah melewati angka 40 persen, ketakutan Arie Putra menjadi tidak berdasar. Dalam dua Pilpres lalu, saat PDIP mengusung Jokowi sebagai Presiden, sinergi keduanya tak pernah tembus 60 persen. Selalu menang tipis, yang bisa diterjemahkan bahwa Jokowi dan PDIP bukan kekuatan raksasa.
Ada yang lebih perlu diwaspadai sebagai kekuatan tak tertandingi daripada menguatirkan Jokowi dan PDIP bersumpah setia selalu bersama sampai mati. Politik Dinasti. Presiden yang memanfaatkan kekuasaannya atas tentara, polisi dan aparat negara serta akses ke informasi intelijen untuk memenangkan anak-anaknya dalam Pemilu. Inilah yang dituduhkan saat ini pada Jokowi. Potensi menjadi kekuatan politik tunggal yang mengorkestrasi semua keputusan politik, seperti zaman Orde Baru.
Kembali ke masalah etika politik, masalah moralitas. Ada hal-hal yang lebih utama untuk dicegah daripada sekadar menakuti sinergi Jokowi dan PDIP menjadi tak tertandingi. Secara etis, tidak ada yang penyimpangan etika bila Jokowi dan PDIP bergandeng tangan. Calon yang diusung oleh PDIP tidak terindikasi sebagai pelanggar HAM berat di masa lalu, dan juga tidak melanggar legitimasi etis karena didasarkan putusan MK yang terbukti melanggar etika.
Penyimpangan etika secara normatif justru diperlihatkan Jokowi yang seharusnya menjadi teladan moral bagi masyarakat Indonesia. Dalam relasinya selaku kader PDIP, tindakan-tindakan Jokowi, dan juga Gibran putranya, sangatlah tidak patut menjadi teladan tentang loyalitas. Sejak menjadi Walikota, kemudian Gubernur, dan akhirnya menjadi Presiden dua periode, Jokowi selalu diusung PDIP dan tentu saja mendapat dukungan penuh baik dalam dukungan suara maupun dukungan di Parlemen.
Semua kritik pada kebijakan Jokowi di masa lalu, akan membuat kader-kader PDIP kompak pasang badan. Dukungan PDIP membuat Jokowi menjadi mudah mengeksekusi regulasi-regulasi sensitif seperti Omnibus Law maupun kebijakan dan program yang menimbulkan pro dan kontra seperti yang kerap terjadi saat pandemi. Meski memang PDIP tidak merestui keinginan Jokowi untuk mengubah Konstitusi agar Presiden dapat menjabat tiga periode. Apakah ini yang membuat Jokowi menyimpan amarah? Entah. Namun seharusnya sikap PDIP untuk menegakkan Konstitusi itu harus diapresiasi.
Secara etis seharusnya Jokowi memang setia pada partainya, dan seandainya tidak lagi merasa sejalan, dengan ksatria dan sportif mengundurkan diri sebagai kader PDIP. Seorang ksatria akan berani menghadapi segala resiko dari keputusannya. Caci maki sekalipun. Sportif membuat orang berani mengakui kesalahannya. Baik sportifitas maupun sikap ksatria, tentu tidak akan terwujud tanpa adanya kejujuran. Sebagai pejabat publik, sudah seharusnya kejujuran menjadi nilai yang utama. Bukan hanya gimmick….
Apa yang dipertontonkan Jokowi dan putranya dalam etika politik akhir-akhir ini memang mengkhawatirkan. Keduanya terlihat tidak lagi mengedepankan etis dalam berpolitik melainkan hanya memedulikan elektabilitas. Memanfaatkan sikap apolitis masyarakat Indonesia yang masih lemah secara literasi sehingga sulit menilai obyektif mana yang hanya citra dan mana yang vital dan fatal bagi penyelenggaraan negara.
Jika demikian, tugas masyarakat yang telah cukup dewasa dan berwawasan dalam politik untuk tetap menyadarkan pentingnya dimensi moral dan etika politik dalam memilih pejabat negara. Apalagi sebagai Kepala Negara, atau orang nomor dua yang sewaktu-waktu menggantikan tugas Kepala Negara. Ini jauh lebih urgent daripada ketakutan tak beralasan pada penyatuan Jokowi dan PDIP. Krisis moral di masyarakat karena meniru perilaku pimpinan negara yang kerap berlaku tidak etis jauh lebih mengkhawatirkan bagi perjalanan Bangsa ini.
Moral adalah panglima….