Negara Ini Punya Siapa?

Beberapa tahun yang lalu, sempat beredar puisi kritik, berjudul “Tapi Bukan Kami Punya”. Tidak kurang dari Jenderal Gatot Nurmantyo yang membacakannya. Waktu itu, puisi itu sebenarnya ditujukan dalam konteks, mengenai derasnya imigrasi tenaga kerja asing ke Indonesia.

Sesuatu yang bisa kita perdebatkan, tentang benar atau tidaknya puisi itu.

Ketika anda mendengar atau membaca puisi itu, bagaimana perasaan anda? Apakah anda merasa puisi itu, mewakili isi hati anda? Kalau saya, saya akan menjawab, iya.

Tetapi bukan dalam konteks dia dibawakan beberapa tahun yang lalu.

Buat saya, puisi itu mestinya bukan diletakkan dalam konteks pribumi vs aseng, karena jelas, banyak juga “pemilik” negara ini yang asli orang Indonesia. Kelompok oligarki itu tidak dimonopoli dari suku tertentu saja. Terlalu naif atau kurang kritis, kalau kemudian kelompok oligarki itu hanya dilekatkan pada suku tertentu.

Jadi menurut saya, puisi itu tidak tepat, jika konteksnya adalah serbuan tenaga kerja asing. Akan tetapi jika diletakkan pada konteks yang benar, puisi itu bisa dengan tepat menggambarkan situasi  Indonesia saat ini.

Situasi yang sudah mulai bisa dirasakan, sejak pemerintahan pertama setelah reformasi.

***

Bagi yang saat itu masih terlalu muda, atau bahkan belum lahir, mungkin anda tidak tahu. Akan tetapi setelah reformasi 1998, anda bisa mengobrol dengan orang di jalan-jalan, warung kopi, atau di mana saja dan anda akan merasakan satu semangat yang sama.

Ada euforia yang terasa di mana-mana.

Setelah 32 tahun, negara ini jadi milik seorang pemimpin bertangan besi, untuk pertama kalinya rakyat merasa punya harapan. Harapan bahwa negeri ini, benar-benar menjadi milik sekalian rakyat. Bukan milik sekelompok orang tertentu yang berada dalam lingkaran kekuasaan.

Namun apa yang terjadi?

Partai pemenang pemilu, gagal menempatkan ketua umumnya di kursi presiden. Belum lama presiden yang terpilih menjabat, sudah terjadi politik menggunting dalam lipatan. Dalam waktu kurang dari 5 tahun, kita melihat elit-elit politik yang menerima kepercayaan rakyat, untuk membangun bangsa dan negara ini, sibuk saling tikam demi memperebutkan kekuasaan.

Sejak saat itu, berulang-ulang rakyat dikhianati.

Setiap kali rakyat menaruh kepercayaannya pada tokoh-tokoh yang diharapkan membawa perubahan, rakyat selalu mengalami kekecewaan. Hingga munculnya satu sosok yang merakyat. Seorang yang digambarkan lahir, bukan dari kelompok kecil keluarga elit negeri ini. Lagi-lagi kobar api harapan itu menyala. Mungkin kali ini akan berbeda.

Sekali lagi, kalau kita mau mengingat-ingat, suasana euforia itu kembali terasa. Mungkin tidak segegap gempita saat reformasi 1998. Kali ini, kita akan mengangkat seseorang yang lahir dari rahim rakyat. Bukan orang yang lahir dari kelompok elit.

Namun waktu akhirnya membuktikan, sekali lagi rakyat harus dihadapkan pada kenyataan. Negara ini memang kaya, tetapi negara ini bukan milik mereka. Negara ini adalah milik sekelompok elit.

Yang terjadi di 2014, hanyalah lahirnya satu dinasti elit baru. Tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di 2005. Kalau dulu ada Keluarga Cendana, kemudian ada Cikeas, sekarang mungkin bertambah satu lagi.

Entah akan disebut apa namanya.

***

Apakah rakyat memang sebaiknya menyikapi dunia politik ini secara apatis dan oportunis saja? Yang penting amplop dan kantong yang dibagi setiap 5 tahun sekali?

Celakalah kita semua kalau ini yang terjadi.

Namun apa masih ada harapan, bahwa prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat itu bisa ditegakkan? Apakah demokrasi itu sesungguhnya hanya mimpi? Bukankah kita sudah berulang kali mencoba dan mungkin sudah waktunya, kita bangun dari buaian mimpi bernama demokrasi itu?

Tidak.

Mimpi itu tidak boleh mati. Reformasi 1998 tidak sepenuhnya gagal. Reformasi 1998, berhasil memenangkan sesuatu yang sangat penting bagi bangsa dan negara ini.

***

Negara ini adalah milik kita semua, milik rakyat dari yang tidak lulus SD, sampai yang tamatan perguruan tinggi luar negeri dengan gelar mentereng. Milik rakyat, mulai dari yang masih ngontrak, tinggal di pondok mertua indah, sampai yang punya rumah megah lebih dari satu.

Reformasi 1998, sesungguhnya, sudah berhasil mengembalikan kekuasaan negeri ini ke tangan rakyat.

Setiap orang punya satu suara, satu lembar saham, untuk ikut menentukan jalannya negeri ini.

Namun sudah seharusnya rakyat juga belajar dari pengalaman di masa-masa yang sudah lewat dan sedang berjalan.

Jangan titipkan mimpi anda pada satu tokoh tertentu.

Manusia bisa menipu, manusia bisa berubah.

Berhentilah mengharapkan perbaikan negeri ini, pada satu atau sekelompok orang elit. Perbaikan negeri ini adalah hak dan kewajiban setiap orang. Rakyat harus berani, untuk lebih aktif lagi berpartisipasi dalam politik.

Jangan berhenti, hanya menjadi kantong suara.

Rakyat harus memahami, bahwa reformasi 1998, sesungguhnya sudah berhasil mengembalikan kekuasaan itu ke tangan rakyat.

Apa ada buktinya kalau kekuasaan itu sudah berada di tangan rakyat?

Banyak.

Ada banyak bukti, bahwa kekuasaan itu sudah berada di tangan rakyat.

***

Kenyataan bahwa para elit penguasa saat ini, aktif dalam menggunakan lembaga survey, adalah bukti bahwa mereka memerlukan suara rakyat.

Kenyataan bahwa para elit penguasa saat ini, aktif dalam menggunakan media sosial, adalah bukti lain, bahwa mereka membutuhkan suara rakyat.

Coba anda perhatikan di media sosial para tokoh yang sedang ingin berkontestasi kali ini (Ganjar, Anies, Prabowo, dll). Kalau anda jeli, anda akan menemukan sebuah kesamaan yang sedikit unik, yaitu kucing.

Pak Prabowo mulai aktif menampilkan fotonya bersama kucing kesayangan. Pak Anies juga menampilkan kebersamaan dia, bersama kucing peliharaan keluarganya. Bahkan Pak Ganjar yang tidak punya kucing, masih sempat menampilkan sebuah foto, di mana dia memberi makan seekor kucing di jalanan.

Ada apa dengan kucing?

Kalau anda ingin tahu, coba Google, binatang peliharaan paling favorit di Indonesia. Jawabannya adalah : kucing.

Bayangkan kalau statistik menunjukkan, bahwa binatang peliharaan nomor satu di Indonesia adalah kelinci. Saya membayangkan, Instagram beliau-beliau itu akan memperlihatkan, mereka sedang bermain dengan kelinci-kelinci yang lucu.

Ini bukti, bahwa para elit itu mendengarkan suara rakyat. Tinggal sekarang rakyat yang harus lebih bijak dalam menggunakan suara mereka. Jangan hanya gunakan medsos kita, untuk menyalurkan hobi saja.

Jangan takut dan aktiflah, dalam menggunakan medsos-medsos kita untuk menyuarakan kepedulian kita. Terutama pada isu-isu yang memang menjadi perhatian kita.

Sebaliknya, ikuti medsos para elit politik dengan lebih bijak. Hati-hati dengan penggiringan opini. Ikuti dengan bijak, sikap kritis dan skeptis adalah senjata yang harus selalu disiapkan, ketika membaca dan mengikuti berita tentang mereka.

Apalagi kalau yang kita baca, tonton dan dengarkan itu, asalnya dari akun-akun Buzzer.

Pisahkan isu-isu yang prinsip dari isu-isu politik yang hanya menyentuh permasalahan di permukaan saja.

Tetap semangat berdemokrasi! Kegagalan jangan jadikan alasan untuk menyerah dan bersikap apatis. Kegagalan adalah peringatan, agar kita lebih bijak dalam bersikap dan bertindak.

**

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *