Ketua DPR sekaligus putri mahkota dari PDIP, Puan Maharani duduk diapit Presiden Jokowi dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam perhelatan Balap Formula E di Ancol. Sontak reaksi masyarakat langsung heboh. Aneka tafsir, analisis, prediksi bahkan ramalan mistik berhamburan di internet.
Sebelumnya dalam Rakernas Projo yang digelar 21 Mei 2022, Presiden Jokowi meminta relawan agar tidak tergesa-gesa (ojo kesusu) dalam mengambil keputusan politik terkait Pilpres 2024. “Meskipun mungkin yang kita dukung ada di sini,” kata Jokowi. Entah kebetulan atau tidak, dalam Rakernas itu juga hadir Ganjar Pranowo yang sering digadang-gadang menjadi Capres 2024. Jokowi seolah memberi kode untuk mendukung Ganjar Pranowo sebagai capres 2024.
Kemudian di awal Juni, anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Trimedya Panjaitan menyebut Puan Maharani sebagai salah satu calon pemimpin nasional di Pilpres 2024. Dalam pandangan Trimedya yang kenyang pengalaman di dunia politik, sosok Puan adalah pemimpin yang apa adanya.
“Mbak Puan bukan tipe pemimpin yang suka berpura-pura yang memoles dirinya seakan akan populis, seakan akan berpihak kepada rakyat,” kata Trimedya dalam keterangannya kepada wartawan.
Trimedya lalu menyoroti Ganjar Pranowo yang hanya memoles diri dari opini publik. Trimedya pun membandingkannya dengan Puan yang pernah menjabat Ketua Fraksi PDIP di era oposisi sepanjang 2009-2014. Ganjar sempat menjadi anggota Fraksi saat itu. Sebagai ketua Fraksi, Puan mengorganisir banyak kegiatan PDI Perjuangan hingga menjadi partai oposisi yang tangguh dan konsisten.
Sebagai Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan 2014-2019, Puan berhasil mengorganisir 7 Kementerian yang seluruhnya relatif berhasil. Kinerja kementerian itu cukup baik. Termasuk berhasil membuat tagline revolusi mental cukup membumi. Sebagai Ketua DPR, dua Undang-undang penting disahkan, yaitu UU Cipta Kerja dan UU Tindak Pidana kekerasan Seksual.
Trimedya merasa langkah Ganjar Pranowo terlalu gamblang menampilkan syahwat politik dengan melakukan sejumlah safari politik ke berbagai wilayah di Indonesia belakangan ini. Wilayah yang bukan kewenangannya sebagai Gubernur Jateng. “Saat PON Papua ada yang teriak Ganjar… Ganjar… siapa orang Papua yang tahu Ganjar, kelihatan bener by design , apalagi bagi orang yang mengerti politik,” kata Trimedya dalam keterangan tertulis.
Trimedya merasa tak ada kinerja cemerlang dari Ganjar. “Tolong gambarkan track record Ganjar di DPR kemudian sebagai gubernur. Selesaikan Wadas itu. Selesaikan Rob itu, berapa jalan yang terbangun. Kemudian sekarang ramai kemiskinan di Jateng malah naik. Tolong masyarakat juga apple to apple memperbandingkan,” tegas Trimedya. Bagi Trimedya, langkah Ganjar yang dinilai bermanuver untuk nyapres pada 2024 sudah kelewat batas. Bahkan, dalam istilah masyarakat Jawa, menurut Trimedya, bisa disebut kemlinthi yang bisa diartikan sok atau belagu.
Bisa ditebak, pernyataan ini membuat spekulasi siapa Capres 2024 kian ramai. Trimedya dianggap menepis gosip yang beredar bahwa Jokowi memberi restu pada Ganjar. Sekaligus menguatkan berita yang beredar bahwa Ganjar tidak direstui Ketum PDIP, Megawati Soekarnoputri.
Spekulasi politik makin gila. Nama Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo yang masuk selalu merajai survei disebut menghadapi masalah karena terancam tak punya kendaraan politik. Pernyataan Jokowi pada Rakernas Projo pun kemudian dinilai bermakna ganda.
CEO Jawa Pos Group sekaligus mantan Dirut PLN dan Menteri BUMN, Dahlan Iskan dalam tulisannya berjudul Munaslub Kendaraan menulis, meski Ganjar adalah kader Banteng tapi sudah dianggap sebagai celeng, sedang Anies adalah salah satu pendiri Nasdem tapi jauh sebelum Nasdem menjadi partai. Akan lewat partai mana mereka nanti, demikian awal tulisan Dahlan.
Menurut Dahlan, di masa lalu PDIP sangat realistis. Awalnya partai itu juga tidak mau mencalonkan Jokowi, dengan alasan baru dua tahun menjadi Gubernur Jakarta. PDIP kemudian melihat realitas dukungan masyarakat pada Jokowi begitu besar. Selalu ranking pertama dalam berbagai survei. Akhirnya Jokowi pun dicalonkan oleh PDIP dan menang.
Bila Ganjar sampai tidak dicalonkan PDIP, tulis Dahlan, Ganjar dilewatkan Golkar saja! Ada banyak cara menuju restu Golkar itu. Kalau bisa sebaiknya Golkar akan diminta baik-baik. Golkar mungkin meminta jatah jabatan cawapres. Atau setidaknya menko bergengsi seperti kementerian yang mengurus minyak goreng. Yang penting tetap bisa melangsungkan tradisi Golkar: tetap berada dalam kekuasaan.
Bila Golkar tidak mau, bagaimana cara ‘menundukkan’ Golkar? Bisa lewat intervensi. Dari intervensi biasa hingga yang paling serius lewat Munaslub. Alasan bisa dicari, demikian tulis Dahlan. Munaslub tidak sulit. Terlalu mudah. Hubungi kelompok grup penekan di Golkar. “Di Golkar itu tidak ada lagi pemegang saham mayoritas. Dengan 1 Triliun rupiah selesai,” tambah Dahlan.
Di era Orde Baru, saham mayoritas Golkar dipegang Mabes TNI melalui Panglima TNI dan birokrasi melalui Menteri Dalam Negeri. Selebihnya ada jalur G atau Golkar murni. Jalur ini dikuasai Soksi dan Kosgoro, ormas pendiri Golkar. Semua jalur itu kini sudah tidak ada. Sepenuhnya terserah ketua-ketua DPD di daerah. Bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Apalagi menurut Dahlan Iskan, biaya 1 trilyun itu murah. “Sedang di partai lain masih ada pemegang saham mayoritasnya. Anda sudah tahu,” kata Dahlan lagi.
Menurut Dahlan lagi, Ganjar pribadi tentu tidak punya kemampuan kelas 1 triliun rupiah, tapi uang bisa dicari. Mungkin para pemegang saham Golkar akan mengajukan syarat. “Munaslub OK asal yang terpilih jadi ketua umum lewat Munaslub itu adalah Presiden Jokowi”.
Dengan itu Golkar memang akan sangat diuntungkan. Punya ketua umum seorang presiden yang sedang berkuasa. Ditambah presiden yang akan berkuasa berikutnya. Tradisi selalu berada dalam lingkar kekuasaan berlanjut. Dan seperti itu adalah wajah Golkar yang asli, demikian Dahlan Iskan menutup tulisannya.
Makin panas, makin ramai, makin spekulatif, makin banyak rumor dan hoax yang beredar. Baik Anies dan Ganjar memiliki kesamaan dalam hal belum ada kepastian akan diusung dari partai mana. Keduanya punya kasus yang cukup mengganjal. Anies terkenal dengan kasus Frankfurt Book Fair semasa masih menjadi Menteri Pendidikan, sedang Ganjar kerap dikaitkan dengan kasus eKTP. Belum ada bukti keterlibatan keduanya. Selain kasus tersebut, Anies juga sering dihubungkan dengan kelebihan pembayaran proyek hingga seleksi pemenang tender yang bermasalah, termasuk juga pembelian lem Aica Aibon dalam jumlah fantastis menggunakan APBD Provinsi DKI. Yang terbaru, Anies banyak disorot terkait commitment fee penyelenggaraan Formula E.
Ganjar pun tak jauh berbeda. Dua kasus besar yang sering melekat dengan Ganjar berkaitan dengan masalah lingkungan hidup. Pertama kasus Pembangunan Semen Indonesia di Pegunungan Kendeng yang ditolak warga, sedang yang lainnya adalah kasus pembangunan penambangan batu andesit di Desa Wadas. Dalam kasus Kendeng, MA telah mengabulkan permohonan gugatan PK warga Kendeng dan WALHI yang menolak pembangunan PT. Semen Indonesia. Ganjar kemudian diam-diam mengubah Amdal dan memberi izin lingkungan baru kepada PT Semen Indonesia.
Belakangan Ganjar pun banyak disorot karena kasus banjir rob sepanjang Pantura. Tak hanya musibah yang menimpa masyarakat, banjir itu konon telah membuat kerugian besar pada kegiatan peti kemas untuk ekspor. Banjir rob konon telah terjadi sejak pertama Ganjar menjabat Gubernur. Hingga mendekati masa jabatannya yang kedua berakhir, belum ada kemajuan yang berarti dalam penanganan banjir ini. Masalah banjir rob ini konon tak menjadi masalah di provinsi-provinsi tetangga Jateng karena telah diselesaikan dengan baik.
Anies juga punya titik lemah lain. Ia dianggap membiarkan banyak hoax dan kampanye hitam berbau SARA yang menguntungkan dirinya dalam Pilkada DKI tahun 2017. Tidak heran meski punya banyak pendukung fanatik, Anies pun punya haters yang tidak sedikit.
Serupa dengan Anies, Ganjar punya banyak pendukung, sekaligus punya banyak haters. Uniknya, meski berasal dari PDIP, Haters Ganjar pun tak sedikit yang berasal dari kelompok nasionalis. Salah satu kritikan pedas pada Ganjar persis serupa apa yang dikatakan Trimedya. Kemlinthi, belagu. Mereka yang berlatar belakang budaya Jawa kerap risih saat mendengar Ganjar berbicara ngoko pada rakyat kecil, membuatnya entah sadar atau tidak terlihat meremehkan rakyat kecil. Meski dalam suasana akrab.
Dalam suatu pertemuan dengan Jemaah Haji Embarkasi Solo, canda Ganjar terasa garing dan agak merendahkan saat berpesan pada Jemaah Haji yang baru pertama kali naik pesawat terbang agar tidak membuka jendela pesawat meski kegerahan. Sebodoh-bodoh dan lugunya, rasanya semua orang tahu bahayanya membuka jendela saat pesawat terbang.
Singkat kata, dalam banyak hal, Anies dan Ganjar punya keserupaan. Membuat mereka bersaing ketat dalam memenangkan survei. Beberapa waktu lalu, ucapan Jokowi ‘ojo kesusu’ dalam Rakernas Projo, disambut gegap gempita pendukung Ganjar. Namun segera saja, saat melihat kehadiran Jokowi yang terlihat akrab bersama Anies dan Puan, tafsiran dukungan Jokowi pada Ganjar menjadi lemah.
Sejatinya, apa makna ucapan Jokowi dalam rakernas itu?
“Pesan tersebut bisa jadi untuk menjaga jarak soal siapa yang akan didukung Jokowi pada Pilpres 2024. Jokowi ingin menunjukkan dirinya belum mendukung siapa pun capres pilihannya,” kata pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul Jakarta, M Jamiluddin Ritonga kepada wartawan pada 24 Mei 2022.
Politik memang pelik…
Presiden sering diposisikan dalam kondisi dilematis. Satu sisi Jokowi dipersepsikan memberikan restunya pada Ganjar karena kerap satu panggung sekaligus sama-sama berlatar belakang PDIP. Mereka lupa bila Puan Maharani pun berasal dari PDIP dan kerap satu panggung dengan Jokowi. Frekuensi satu panggung pun bisa benar-benar karena kesamaan urusan, atau bisa jadi akibat‘siapa menempel siapa’.
Di pihak lain, Jokowi dipersepsikan berjarak dengan Anies, karena Anies pernah didepak Jokowi dari kabinetnya. Pendukung Anies pun kerap adalah haters Jokowi. Maka kemunculannya bersama Anies, baik saat memeriksa kesiapan sirkuit maupun saat pertandingan Formula E berlangsung, lagi-lagi membuahkan tafsir-tafsir fantastis. Tak sedikit pula yang berspekulasi Jokowi pecah kongsi dengan Megawati. Sampai akhirnya mereka melihat Jokowi, Puan dan Anies berada satu panggung.
Kita yakin, dalam waktu dekat, kita akan melihat kemunculan Jokowi bersama banyak tokoh yang berpotensi menjadi capres 2024. Jangan kaget bila kita akan mendapati Jokowi satu panggung dengan Erick Thohir, Sandyaga Uno, Prabowo Subianto, Ridwan Kamil, atau bahkan tokoh-tokoh potensial lain. Dan kemudian, masing-masing pendukung tokoh-tokoh itu akan mengklaim dukungan Jokowi pada mereka.
Pilpres 2024 terbilang masih cukup lama. Konstelasi masih sangat mungkin brubah. Apa yang terlihat paling berpeluang hari ini, bisa berbeda ceritanya di esok hari. Yang jelas, permasalahan masyarakat di tahun 2024 akan berbeda dengan hari ini. Nilai-nilai pun akan mengalami pergeseran. Pencitraan ala sekarang, bisa jadi tak diminati lagi di tahun itu. Bila hari ini kita sangat dipengaruhi apa yang dicitrakan di media sosial, bukan tak mungkin di masa depan, masyarakat melihatnya dengan cara terbalik. Segala citra yang terlihat bagus dan sempurna, justru dibaca sebagai menutupi realitas sebenarnya. Masyarakat 2024 tentu tak akan mudah diperdaya.