Era digital, era sosial media saat ini kerap dikaitkan dengan fenomena post truth. Informasi melimpah ruah, tanpa kita tahu kebenarannya. Orang sulit membedakan mana kebenaran dan mana kebohongan. Teknologi menjadikan informasi menjadi makin mudah direkayasa. Bukan hanya mampu memproduksi hoax, tetapi juga citra semu. Branding dan pencitraan menjadi semakin mudah direkayasa.
Mengapa manusia mudah tertipu sehingga gampang terperdaya oleh suatu kebohongan? Seth Stephens-Davidowitz dalam buku Everybody Lies menjelaskan bahwa semua orang pasti pernah berbohong. Perbedaannya hanyalah, ada yang sedikit dan ada yang sering.
Orang cenderung jujur saat memberikan informasi yang tidak personal. Misalnya saat ditanyai tentang suatu alamat oleh orang tak dikenal. Tetapi begitu berhadapan dengan norma, etika, tata nilai, ataupun hal-hal lain yang membuat orang dapat memberikan penilaian pada kita, kita akan mudah sekali untuk berbohong.
Davidowitz memberi contoh, orang mengira kemenangan Trump pada Pilpres 2016 di Amerika sebagai bangkitnya rasisme di negeri itu. Ternyata faktanya, rasisme selalu ada di sana. Bahkan saat semua orang mengira, terpilihnya Obama sebagai presiden menjadi penanda berakhirnya rasisme di AS, kenyataan sebenarnya justru berbeda. Hanya beberapa menit setelah Obama menjadi presiden, Google dipenuhi pertanyaan-pertanyaan rasis dengan kata kunci yang abusive seperti ‘nig**r’…
Menurut Davidowitz, hanya pada Google dan search engine manusia bisa seratus persen jujur. Bukan hanya mengakui semangat rasis misalnya, tetapi juga pertanyaan-pertanyaan yang tidak sanggup diungkapkan pada orang lain karena tidak ingin dianggap tidak normal. Pertanyaan seperti kecenderungan seksual, keinginan bunuh diri atau balas dendam, hanya mampu diungkapkan di hadapan Internet. Fakta ini mungkin bisa kita kaitkan dengan survei atau jajak pendapat yang makin marak saat ini. Makin tidak ada tekanan kepentingan, maka survei makin valid memetakan kondisi sebenarnya. Artinya, ketika akan menggunakan hasil survei untuk melakukan suatu tindakan penting, kita perlu berpikir tentang independensi survei.
Bila Davidowitz membahas kebohongan, Tom Philips dalam bukunya Truth membahas tentang kebenaran. Manusia sering kali tidak mampu membedakan kebenaran dan omong kosong. Tanpa bermaksud berbohong, atau terlibat pada kebohongan, manusia justru sering terjebak mengambil keputusan penting didasari sesuatu yang sebenarnya ‘omong kosong’ atau ‘bualan’.
Ketidakmampuan memahami omong kosong ini membuat kita terjebak untuk mempercayai penipu. Di abad 19 ada penipuan terkenal yang berawal dari omong kosong. Ada seorang pahlawan perang keturunan bangsawan. Jenderal Sir Gregor MacGregor namanya. MacGregor ini memanfaatkan eforia di Masyarakat untuk memperbaiki nasibnya dengan bermigrasi ke Amerika.
Di tahun 1822 itu, MacGregor menawarkan investasi dengan membeli tanah di suatu negeri bernama Poyais. Poyais digambarkan sebagai tempat subur. Apapun yang ditanam bisa dipanen tiga kali dalam setahun. Sungai-sungai di Poyais digambarkan penuh bongkahan emas. Penduduk aslinya baik, pengasih dan bersahabat. Bisa diajak bekerja sama. Tidak Cuma itu, St. Joseph, ibukota Poyais digambarkan sebagai kota makmur berpenghuni 1.500 orang, berarsitektur Eropa modern dan punya sebuah pelabuhan dagang yang ramai.
Orang pun antusias dan berbondong-bondong menginvestasikan uangnya untuk tanah di Poyais. Tidak sedikit yang menjual semua miliknya untuk memulai hidup baru di Poyais. Dengan menaiki kapal Honduras Packet mereka memulai hidup baru dengan berlayar ke Poyais.
Ternyata…..
Mereka tidak melihat apa-apa saat mendarat di Laguna Hitam, tempat yang dinyatakan sebagai letak Poyais. Benar-benar tidak ada apa-apa. Tidak ada pelabuhan ramai. Tidak ada ibukota megah dan artistik. Tidak ada sungai penuh bongkahan emas. Bisa dibilang, tidak ada peradaban di sana.
Segera saja para penumpang sadar mereka telah ditipu MacGregor. Derita mereka tidak cukup di situ. Bencana malaria juga menjangkiti para penumpang Honduras Packet itu. Poyais ternyata tempat yang mematikan. Dari sekitar 270 penumpang, tidak sampai 50 orang yang bisa kembali ke Inggris.
Tom Philips kemudian mengulas, mengapa MacGregor mampu membuat banyak orang percaya pada ‘hoax’ tentang Poyais. Pertama, karena bias. Masyarakat sudah bias dalam memandang MacGregor. Ia dianggap memiliki kisah hidup dan silsilah mengagumkan: bangsawan Skotlandia keturunan Rob Roy, veteran tentara Inggris yang mengabdi dalam Resimen Darat ke-57 yang terkenal karena bertempur dengan tentara Portugis dalam Pertempuran Albuerra.
Kedua, MacGregor mampu merekayasa bukti-bukti yang meyakinkan. Untuk mendukung iklannya tentang investasi di Poyais, MacGregor menjalankan kampanye publik besar. Ia memberikan wawancara dengan surat kabar. Untuk dapat diwawancarai, MacGregor harus membangun koneksi dengan masyarakat kelas atas, yang harus ia yakinkan satu persatu.
Kebohongan tidak cukup di situ, MacGregor menerbitkan buku mewah berjudul Sketch of Mosquito Shore, yang dikatakan ditulis oleh Kapten resimen di Poyais Bernama Thomas Strangeways. Buku itu juga menempatkan lukisan MacGregor yang cetar dengan latar belakang laguna Sungai Hitam penuh kapal bersauh di pelabuhan. Buku inilah yang menjanjikan segala klaim indah tentang Poyais. Tidak lupa MacGregor membujuk seorang juru tulis untuk membuat puisi pujian tentang Poyais.
Namun menurut Phillips, faktor utama yang membuat orang percaya bualan tentang Poyais itu karena MacGregor mampu mengeksplorasi mimpi mereka. Apa yang ditawarkan tentang Poyais memang menjadi dambaan mereka sehingga mereka mudah tergiur. Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang menyukai orang-orang berkepribadian seperti MacGregor. Maka mereka mudah percaya pada narasi-narasi yang dibangun MacGregor, meski bagi yang rasional, semua terasa ‘too good to be true’.
Kisah Poyais itu, membuat kita memahami, mengapa ada orang-orang yang menjadi fans bagi selebriti tertentu, sekaligus ada sekelompok orang lainnya menjadi haters selebriti lain.
Ada fakta menarik lagi dari MacGregor yang diulas dalam The Truth. Ternyata bukan cuma Poyais yang fiktif, kisah hidup MacGregor pun fiktif. Sebagai tentara, MacGregor dipecat enam tahun sebelum Pertempuran Albuerra. MacGregor ternyata bukan bangsawan melainkan istrinya. Pernikahannya ini membuat ia mendapat kemudahan dalam militer meski akhirnya dipecat.
Setelah dipecat, MacGregor kemudian pergi ke Venezuela, kembali ikut kemiliteran. Dengan cepat ia menjadi teman jenderal Fransesco de Miranda. Menikahi perempuan kaya sepupu pahlawan Bolivia, Simon Bolivar. Dari sana ia pulang ke Inggris dengan sejumlah kekayaan dan rekomendasi yang meyakinkan, untuk kemudian membangun bisnis ‘bodong’ Poyais.
Tidak dapat dipungkiri, menurut Phillips, MacGregor adalah pria dengan bakat besar untuk meyakinkan orang lain. Sayangnya MacGregor menggunakannya untuk menipu. Philips lalu mengutip temuan Tamar Frankel, seorang profesor hukum dari Universitas Boston saat mempelajari profil penipu Finansial pada tahun 2012.
Menurut Frankel, beberapa sifat yang diidentifikasi dari penipu: tidak memiliki empati, narsis, serakah dan selalu membenarkan dirinya sendiri. Ketika tertangkap, mereka akan menyanggah dan menghindar. Menyalahkan siapapun dan tidak bertanggungjawab.
Para penipu juga seringkali membenarkan tindakannya dengan berkata ‘orang lain pun begitu’ atau ‘orang lain juga licik’ dan para korban layak mengalaminya karena mereka juga jahat, serakah dan jahat. Yang paling menarik, Frankel menemukan bahwa penipu punya kecenderungan untuk ‘menyukai mimpi-mimpi tidak realistis dan ambisi berlebihan’. Lebih lanjut Frankel menyatakan, penipu seringkali memainkan peran sebagaimana yang selama ini ia inginkan. Maka penipu akan percaya berlebihan pada penipuannya, inilah yang akan sangat membantu orang mempercayai penipuannya.
Mengapa hal ini penting untuk kita ketahui. Karena kebohongan telah menjadi sangat mengkhawatirkan karena sukses menutup kebenaran-kebenaran yang sebenarnya terjadi. Kita hidup di zaman yang kompleks sehingga kita perlu menilai segala sesuatu tak lagi naif, hitam-putih. Kebenaran memang semakin sulit terlihat dengan terang benderang. Terlalu banyak kepentingan yang bermain. Tanpa kewaspadaan, tanpa pengetahuan, tanpa pegangan akan nilai, norma dan hukum, kita mudah tergelincir dalam mengambil Keputusan karena tertipu kebohongan yang digambarkan sebagai kebenaran..
Hati-hati….