Tak banyak orang menyadari bila salah satu prestasi besar Jokowi adalah Dana Desa.
Tak sampai setahun setelah diundangkan, Presiden Jokowi yang saat itu baru menjabat Presiden segera mengucurkan Dana Desa. Tidak tanggung-tanggung, besarnya mencapai sekitar 20 triliun rupiah. Di tahun 2022, pagu Dana Desa telah meningkat lebih dari 3 kali lipat menjadi sebesar 68 triliun rupiah untuk dialokasikan kepada 74.961 Desa di seluruh Indonesia.
Sejak diluncurkan, Dana Desa telah menghasilkan beragam output berupa infrastruktur yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup di Desa. Hingga tahun 2020 tercatat telah Dana Desa telah digunakan untuk membangun jalan desa (261.877 km), jembatan desa (1.494.804 meter), pasar desa (11.944 unit), embung (5.202 unit), irigasi (76.453 unit), bahkan sarana olahraga (27.753 unit). Dana Desa juga dipergunakan untuk membangun infrastruktur yang meningkatkan kualitas hidup masyarakat, seperti penyediaan air bersih (1.281.168 unit), sarana MCK (422.860 unit), Polindes (11.599 unit), drainase (42.846.367 meter), PAUD desa (64.429 kegiatan), Posyandu (40.618 unit), dan sumur warga (58.259 unit).
Yang luar biasa adalah kemajuan yang dicapai Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Usaha perekonomian yang dilakukan oleh BUMDes berhasil memberikan pendapatan luar biasa bagi kesejahteraan masyarakat Desa. BUMDes kini menjadi penggerak ekonomi di banyak Desa. Di sektor pariwisata, kita mengenal obyek wisata hasil pengelolaan BUMDes yang berhasil seperti di Desa Ponggok, Klaten, Jawa Tengah. Ada pula pengelolaan perkebunan plasma, pengelolaan hasil pertanian bahkan sentra industri rakyat.
Sejak Dana Desa digelontorkan, angka kemiskinan menurun pesat. Dari Data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di desa saat Dana Desa digelontorkan di tahun 2015 adalah 17,89 juta jiwa. Di tahun 2020, sebelum pandemi, penduduk miskin menurun menjadi 15,26 juta. Turun 14 persen dalam 5 tahun.
Dana Desa memang amanat yang wajib dilaksanakan Presiden sesuai UU Nomor 6 Tahun 2014 yang dikenal dengan istilah UU Desa. Namun demikian, meski UU Desa disahkan di era Presiden SBY, baru Presiden Jokowi yang bisa mengeksekusi Dana Desa, karena memang tidak mudah mengalokasikan dana yang begitu besar di tengah ketatnya penganggaran Belanja Negara dan pengawasan pengelolaan APBN.
Presiden Jokowi berani mendahulukan Dana Desa dibanding banyak anggaran kegiatan lain karena sadar betul akan pentingnya hilirisasi industri. Bila selama ini perdagangan komoditas Indonesia bertumpu pada bahan baku, maka dengan hilirisasi industri, komoditas yang dipasarkan mendapat nilai tambah menjadi produk jadi. Desa memegang peranan penting dalam hilirisasi, karena semua bahan baku berasal dari Desa.
Selama ini pembangunan seringkali gagal menyentuh Desa, meski seharusnya pembangunan bersifat inklusif. Ekonomi dan industri harus digerakkan oleh berbagai komponen bangsa, serta memberikan akses yang setara bagi semua. Tidak hanya di perkotaan, tetapi juga perdesaan. Tidak hanya digerakkan oleh korporasi, industri besar dan BUMN, tetapi juga oleh UMKM dan BUMDes. Inilah yang kemudian dilakukan Presiden Jokowi dengan mengoptimalkan Dana Desa sebagaimana amanat Undang Undang. Ruang lebih besar bagi Desa untuk menjadi subjek dalam proses pembangunan. Membangun Indonesia dimulai dari desa, sebagaimana strategi banyak negara yang kini berhasil menjadi negara maju dengan strategi hilirisasi industri.
Jika banyak orang lupa bahwa Dana Desa adalah prestasi besar Presiden Jokowi, banyak orang lupa pula pada inisiator Dana Desa. Dialah Budiman Sudjatmiko. Namanya tak asing karena ia aktivis Reformasi sekaligus mantan demonstran dan politisi kawakan dari PDIP. Ia termasuk aktivis 98 yang selamat karena namanya tidak tercoreng kasus korupsi seperti yang banyak terjadi pada aktivis lain.
Sebagai anggota DPR RI sepanjang tahun 2009 hingga 2019, karya monumentalnya tentu saja adalah lahirnya UU Desa. Diawali keprihatinannya karena selama 50 tahun terakhir, paradigma pembangunan Indonesia belum melihat desa sebagai fondasi pembangunan yang kokoh dan berkelanjutan. Ini akibat Indonesia dalam ekonomi global hanya berkutat sebagai sumber bahan baku, perakit produk industri global, atau sekadar target pasar yang menggiurkan. Belum menjadi penentu kebijakan sehingga kerap terombang-ambing kepentingan-kepentingan global yang merugikan Indonesia.
Berbeda dengan di negara maju, ketimpangan wilayah dan ketimpangan kota desa memang merupakan masalah klasik dalam pembangunan di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Kegiatan perekonomian terpusat di kota dengan pelaku usaha tinggal di kota. Kota berkembang pesat sementara wilayah perdesaan tidak mampu mengejar laju pekembangan kota. Ketimpangan melebar, memicu permasalahan sosial, ekonomi, dan politik.
Budiman kemudian menyadari, pola keberhasilan pembangunan yang membuat banyak negara menjadi maju, menekankan pengembangan ekonomi lokal yang didorong oleh aktor-aktor lokal dan diinisiasi lokal. Di sini Desa menemukan momentumnya untuk menjadi garda depan dalam pembangunan karena semua nyaris semua bahan baku berasal dari Desa. Ditambah pelaku usaha yang didominasi UMKM dan bukan korporasi. Di samping itu, Nawa Cita yang ketiga menyatakan bahwa pembangunan Indonesia dari wilayah penggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
Budiman Sudjatmiko bukan hanya sejalan dengan Presiden Jokowi, tetapi ia juga memuji Presiden Jokowi, “Saya kagum pada Pak Jokowi,” demikian kata Budiman dalam wawancaranya dengan influencer Mazdjo Pray. “Pak Jokowi presiden di negara berkembang, demokratis, bukan negara yang punya jajahan dan koloni di mana-mana, tapi bisa membangun banyak infrastruktur. Ini belum pernah ada padanannya di dunia.”
Infrastruktur fisik di negara berkembang biasanya akan maju di era rezim otoriter. Korea Selatan di masa lalu contohnya. Hebatnya, pemerintahan Presiden Jokowi yang demokratis mampu melakukan pembangunan infrastruktur masif dengan hasil spektakuler. Jauh melampaui Soeharto yang otoriter meski mengklaim diri sebagai Bapak Pembangunan. Dengan pemerintahan tangan besi yang membungkam demokrasi, Soeharto hanya mampu membangun jalan tol kurang dari 100 km, gagal membangun bandara dan pelabuhan modern untuk menunjang perekonomian.
Dalam mazhab ekonomi, pembangunan infrastruktur ini akhirnya akan mendatangkan modal. Kebijakan yang khas kaum kanan. Para kapitalis. Tapi Presiden Jokowi juga melakukan hal-hal yang kerap dilakukan kelompok kiri yang otoriter, meski (lagi-lagi) Presiden Jokowi seorang yang demokratis. Misalnya kebijakan Prona dan menasionalisasi atau mengakuisisi saham perusahaan-perusahaan asing. Termasuk juga kebiajakan pemberian bantuan sosial yang biasanya menjadi ciri khas rezim kiri demokratis. Dalam waktu hanya sepuluh tahun, Presiden Jokowi mampu melakukan kebijakan-kebijakan yang biasanya hanya dilakukan rezim kapitalis, sosialis maupun rezim otoriter sekaligus. Ini fenomenal di dunia.
Bagi Budiman, cita-cita menjadi negara maju dan makmur di tahun 2024, harus bertumpu pada pembangunan Desa. Tidak hanya penguasaan teknologi. Negara maju umumnya hanya memiliki sedikit UMKM namun memiliki banyak koperasi atau asosiasi. Ketika terjadi resesi, masyarakatnya ibarat jatuh di kasur busa tanpa pegas. Bukan spring bed. Tidak patah tulang. Tidak fatal, namun tetap terasa sakit.
Sebaliknya negara berkembang punya banyak UMKM, namun minim koperasi dan asosiasi. Ketika terjadi resesi, masyarakat ibarat jatuh di atas pegas. Terpental-pental, sakit namun tidak mematikan. Ekonomi tetap berjalan meski terengah-engah. UU Desa kemudian diibaratkan Budiman sebagai kasur busa dengan pegas. Spring bed. Menjaga perekonomian dari resesi tanpa ekses.
Di situlah kemudian Budiman mengusulkan Revisi UU Desa. Revisi tentang periode jabatan Kepala Desa menjadi 9 tahun dan hanya dapat dipilih dua kali sempat menghebohkan. Selama ini periode jabatan kepala desa adalah enam tahun dan dapat dipilih tiga kali. Sejumlah media dan oknum kemudian memelintir berita, mengatakan kepala desa tetap dapat dipilih tiga kali dengan masa jabatan 9 tahun. Budiman pun dituduh melanggengkan kekuasaan kepala desa karena maksud-maksud tertentu.
Faktanya, usulan Revisi UU Desa mengisyaratkan kepala desa maksimal menjabat selama 18 tahun. Masa jabatan 9 tahun yang lebih panjang dari masa jabatan saat ini bertujuan agar pembangunan yang dilakukan di Desa lebih berkelanjutan. Di samping biaya politiknya menjadi lebih murah. Calon-calon yang lebih kompeten bisa menang, meski minim dana. Periode lebih panjang juga mengurangi dampak perpecahan yang kerap timbul dalam Pemilihan Kepala Desa.
Revisi lain yang diusulkan Budiman adalah tentang Dana SDM Desa, yaitu penambahan anggaran khusus untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM) Desa. Dana desa selama ini lebih berfokus kepada pembangunan infrastruktur desa. Menghadapi situasi revolusi industri SDM Desa harus dibenahi, agar industrialisasi teknologi tidak menciptakan kesenjangan sosial. Mendengar usulan tersebut, Presiden Jokowi langsung merespons agar usulan itu dijadikan Peraturan Pemerintah terlebih dahulu sehingga bisa lebih cepat dieksekusi. Pembahasan di DPR seringkali memang berlarut-larut. Ini menjadi bukti betapa Presiden Jokowi dan Budiman bukan hanya sama-sama concern dengan pembangunan Desa, tetapi juga bersinergi.
Dana SDM Desa ini berbeda dengan Dana Desa yang diberikan pemerintah selama ini. Peruntukan dana SDM Desa bukan hanya untuk membiayai pendidikan, tapi juga penanganan kesehatan, gizi masyarakat dan masih banyak lagi. Membangun SDM Desa dari sejak kandungan sampai ke perguruan tinggi. Sampai mereka jadi manusia yang punya jiwa entrepreneurship namun tetap pulang ke desa.
Pembangunan SDM Desa menjadi basis bagi pengembangan sumber daya manusia. Presiden Jokowi telah merintis pembangunan infrastruktur sehingga tak ada lagi hambatan transportasi ataupun komunikasi yang membuat Desa menjadi terpencil. Tak terjangkau karena akses ke desa berbiaya tinggi. Kini waktunya pengembangan sumber daya manusia, dimulai dari Desa. Dimulai dari memilih pemimpin yang punya concern pada pengembangan SDM, termasuk juga menyiapkan perangkat hukum dan aparat yang adil. Dan tentu saja berkomitmen mengembangkan Desa.
Ini tahun politik, waktunya kita meluangkan waktu untuk menilai, mempertimbangkan dan memilih pemimpin yang terbaik untuk Indonesia.
Vika Klaretha Dyahsasanti