Seorang teman muda di lingkaran dalam Istana baru-baru ini bercerita kepada saya. Dulunya dia pendukung berat Jokowi, mendukung usulan tiga periode bahkan kalau perlu lima periodepun nggak madalah, karena keberhasilan program-programnya. Itu dulu, sebelum dia dan kawan-kawan satu timnya dikirim diklat ke Lemhanas.
Seusai mengikuti pendidikan di Lemhanas pandangan anak-anak muda ini berubah total, mereka jadi paham bahwa sebuah negara demokrasi mesti membangun sistem, dimana penerus pemerintahan haruslah dipersiapkan melalui sistem kaderisasi yang terstruktur rapi, dijalankanya meritokrasi sesuai kaidah keilmuan manajemen pemerintahan. Selain itu, sebagai sistem, negara demokratis mesti dijalankan atas dasar prosedur dan aturan-aturan/ konstitusi. Kurang lebih seperti SOP di sebuah perusahaan modern.
Karenanya para pendukung muda ini lalu kehilangan minat dan respect atas usulan perpanjangan masa jabatan, apalagi usulan tiga periode yang dihembuskan dari lingkaran dalam istana. Mereka sadar ada gelagat presiden yang menjauh dari sikap demokratis.
Herannya usulan tiga periode yang ditolak PDIP sebagai partai pengusung Jokowi itu berevolusi dalam bentuk lain yang sekarang kita lihat menjadi pencalonan Gibran sebagai penerus kekuasaan Jokowi. Seperti menggenapi penampakan otoritarian, pencalonan itupun prosesnya jauh dari SOP bahkan merubah aturan secara dipaksakan.
Gestur gerak-gerik otoritarian seperti ini jelas berseberangan kutub antar kutub dengan PDIP yang idiologinya menganut sistem politik Demokrasi. Demokrasi adalah “midle name”nya PDIP. Maka siapapun yang membisiki dan memotivasi Jokowi untuk menabrak sistem demokrasi melalui obrak-abrik konstitusi jelas motifnya menunjukkan kepada khalayak bahwa Jokowi, sebagai icon PDIP tidak mengimani Demokrasi. Sesuatu yang diperjuangkan Bung Karno melawan feodalisme otoritarian. Bukankah ini pembusukan? Borok yang alih-alih disembunyikan malah sengaja diekspose.
Kurang diekspose bagaimana lagi ketika upacara perayaan HUT kemerdekaan RI agustus lalu bahkan presiden didandani kostum Raja Solo, dan dengan penuh kebanggaan dia dibiarkan mendeskripsikan kostum itu kepada awak media.
Beberapa waktu sebelumnya ketika punya kerja pernikahan Kaesang, keluarga ini “at any cost” menggunakan istana Mangkunegaran sebagai venuenya, Hal yg semula hanya bisa dilakukan keluarga istana Mangkunegaran yg sedang berkuasa saja. Beberapa kalangan yang terlibat dalam perhelatan itu sudah mulai curiga dengan dihembuskannya isu tiga periode diantara panitia.
Kalau saja PDIP terlambat memproklamasikan perceraian dengan icon simboliknya: Jokowi; siapa yang akan dicoreng mukanya dengan pembusukan ini? PDIP tentu saja.
Pertentangan antara dua sistem politik: Demokrasi dan Otoritarian, dalam sejarah nasional jelas menemukan “locus” nya di kota Solo. Rasanya tidak ada kota lain lagi di Indonesia yang menyimpan memori tragis manakala terjadi pergolakan berdarah menentang pemerintahan Swapraja. Maka, lengkap sudah icon pembangkangan atas Demokrasi itu dimunculkan dalam diri Presiden yang wong Solo ini ketika dia memilih sistem trah untuk suksesi kepemimpinannya.
Sangat mudah membaca gestur orientasi sistem kekuasaan Jokowi, maka sekali lagi, alih-alih menutupinya dari penglihatan rakyat, para pembisik malah seakan ngompor-ngompori, “njlomprongke” bahasa jawanya, agar terlihat menantang kehendak rakyat akan Demokratisasi.
Maka lagu “Rungkad” yang diperdengarkan di Istana dalam rangka upacara HUT Kemerdekaan Agustus lalu, dikoreografi oleh para tentara dan polisi dengan apik, lucu dan menjadi sanepan seakan mengolok2 situasi sekarang ini… “…entek-entekan.. kelangan kowe…tega tenan… tangis-tangisan.
Kalau Jokowi pernah sesumbar kepada seseorang “hebat kalau bisa mengalahkan saya”…hhmmm… rakyat dilawan……