Ki Wangun Carito, seorang paranormal terkenal yang tidak ingin diekspos berlebihan, baru-baru ini menceritakan terawangannya tentang fenomena Mbak Rara, pawang hujan yang berhasil mengusir hujan di Mandalika. Dan terawangannya itu ada hubungannya dengan pemimpin Indonesia selepas Jokowi.
Terawangan atau menerawang adalah salah satu kemampuan metafisika yang dipercaya sebagai kemampuan melihat jarak jauh, melihat tembus pandang, melihat yang tak kasat mata, melihat masa depan dan mengerti isyarat-isyarat halus. Terawangan termasuk salah satu kemampuan kewaskitaan (clair voyance),kemampuan untuk mendapatkan informasi secara gaib. Terdapat banyak bentuk kewaskitaan yang dikenal masyarakat. Misalnya saja, ada orang yang selalu tahu siapa yang menelpon meskipun baru mendengar suara dering teleponnya. Bisa melihat apa isi rumah seseorang, padahal tidak pernah datang ke rumah orang tersebut. Bisa menemukan benda-benda yang hilang atau orang hilang. Bisa melihat benda-benda yang disembunyikan di balik pakaian, dan sebagainya. Seseorang yang dikatakan memiliki kemampuan waskita sering disebut sebagai peramal. Bisa dikatakan Ki Wangun Carito adalah peramal.
Mbak Rara, kata Ki Wangun, adalah gambaran orang Indonesia di masa depan. Dekat dengan alam, tidak gemar meributkan soal agama, tetapi jauh lebih spiritual. Bagaimana yang dimaksud spiritual itu? Ki Wangun menjelaskan spiritual itu sebagai orang yang kembali ke agama budi. Budi bukan agama, tetapi budi pekerti maksudnya. Agamanya bisa apa saja, tetapi menjunjung tinggi kemanusiaan, yang terlihat dalam perilakunya sehari-hari.
Jadi pemimpin sesudah Jokowi harus beragama budi? Ki Wangun mengangguk. Maksudnya berbudi pekerti tegasnya lagi. Lalu Ki Wangun menarik nafas dalam-dalam sebelum berkata tegas, “Pemimpin sesudah Jokowi akan seperti Mbak Rara. Bukan hanya karena beragama budi, tetapi fisiknya. Artinya punya paras dan perawakan yang mirip.”
Berarti pemimpin berikutnya perempuan dong? Kali ini Ki Wangun hanya tersenyum.
Bagaimana kalo dia tidak berprestasi atau dianggap bodoh? Ki Wangun Carita tertawa, “Pemimpin Indonesia selalu punya mungsuh, musuh alias haters. Habibie punya sekelompok orang yang selalu mencelanya. Apalagi Gus Dur dan Megawati. Jokowi, jangan tanya… sejumlah hoax dan fitnah kejam ditujukan padanya. Bahkan SBY, mungkin kita sering mentertawakan SBY saat berkata prihatin, sebenarnya artinya kita tak bisa menerima SBY juga kan. Haters kelas ringan…”
Terus bagaimana dengan ramalan Jayabaya, pemimpin Indonesia itu Notonogoro. Berarti yang berinisial ‘Go’ dong. Ganjar atau Gatot? Ki Wangun kembali terkekeh, “Orang salah menginterpretasikan ‘notonogoro’ itu….”
‘No’ yang pertama memang mengacu pada Sukarno. ‘To’ juga memang berarti Suharto. Tapi ‘No’ berikutnya bukan Yudhoyono. ‘No’ di situ merujuk huruf ‘n’ yang mengakhiri nama Bacharuddin dan Abdurrahman. Nama depan BJ Habibie dan Gus Dur. ‘Go’ berikutnya memang artinya Mega, panggilan Ibu Megawati. Dan ‘ro’ yang terakhir itu tidak menunjuk nama orang. Tapi simbul ‘ratu adil’. Itu artinya Indonesia sudah cukup kondusif sebagai suatu bangsa. Sudah meletakkan pondasi demokrasi, pembangunan dan kesejahteraan. Dimulai sejak SBY dan semakin kuat saat Jokowi dan pengganti-penggantinya kelak. Apalagi kalau kelak ibukota sudah pindah. Artinya ‘ro’ itu menunjuk Nusantara.
Mbak Rara itu juga ‘ro’, jangan-jangan dia pemimpin Indonesia berikutnya? Ki Wangun mengelus-ngelus dagunya. “Bisa-bisa, Kuasa Gusti itu apa saja mungkin. Paling tidak orang yang serupa Mbak Rara. Ya wajahnya, ya agama budinya. Dalam arti, dia bisa diterima semua kelompok agama. Dan ingat… Mbak Rara itu banyak dihujat orang sebagai klenik, musyrik, atau hanya kebetulan. Pemimpin yang ini pun sama… dihujat. Aji mumpung dan lain-lain. Tapi seperti Mbak Rara, dia tidak peduli. Yang penting kan terwujud. Makbul, terkabul.
It worked, kata MotoGP bilang…
Aisha Khanzaniyya Hamid