Malam Tahun Baru Hijriyah kali ini, terasa menjadi malam yang bersejarah. Bukan hanya karena bertepatan dengan 1 Sura tahun 2023, sehingga kerap dikaitkan dengan fenomena-fenomena spiritual, tetapi juga karena di Rumah Kertanegara malam itu benar-benar telah menjadi malam ‘hijrah’ sebagaimana sejarah awalnya Tahun Hijriyah.
Tentu saja bukan hijrah dalam pengertian sempit, perpindahan partai atau perpindahan dukungan. Hijrah di sini merujuk adanya pola baru dalam berpolitik menjelang Pilpres di Indonesia. Prabowo Subianto, bakal capres dari Partai Gerindra bertemu dengan aktivis Reformasi Budiman Sudjatmiko di Rumah Kertanegara, kediaman Prabowo Subianto pada malam 18 Juli 2023 itu. Inilah silaturahmi dua tokoh nasionalis.
Menjelang Pilpres 2024 yang makin dekat, hari-hari kita sebagai warga negara kerap disuguhi berita pertemuan politik antara tokoh-tokoh a, b, c tanpa membahas hal-hal esensial dan strategis. Berbeda dengan pertemuan-pertemuan itu, pertemuan Prabowo dan Budiman di Rumah Kertanegara itu memang benar-benar menjadi ‘hijrah’ dari pola-pola lawas pertemuan politik. Keduanya membuat silaturahmi bukan menjadi sekadar ruang untuk ‘deal-deal’ politik.
Selain tak berpola sebagai ‘politik dagang sapi’. Pertemuan juga tidak dalam patron ‘tokoh dan pengikutnya’. Tak ada pengkultusan berlebihan pada sosok Prabowo. Tidak ada juga deklarasi ‘pejah gesang nderek Prabowo’. Semuanya wajar dan setara. Dalam keterangan pers, terlihat jelas kapasitas keduanya sebagai orang berintegritas yang sangat peduli pada bangsanya. Pertemuan dua intelektual dengan kedalaman dan keluasan berpikir. Terlihat santai namun juga tidak dapat menutupi kharisma keduanya. Kita sering melihat pertemuan dimana tokoh-tokohnya terlihat gagap dalam berbicara karena kedangkalan wawasan, dan ini sama sekali tak terjadi dalam pertemuan Prabowo – Budiman itu. Kesamaan chemistry. Masyarakat Indonesia rindu pertemuan-pertemuan seperti ini dari tokoh-tokoh politiknya.
Dalam pertemuan itu,, Budiman memang tidak mewakili partai. Ia datang dalam kapasitasnya sebagai pribadi yang bertukar pikiran dengan Prabowo. Sebagai seorang yang memiliki wawasan luas dalam geopolitik dan sejarah, Prabowo juga seorang ahli strategi. Ia diyakini Budiman mampu merumuskan kebijakan-kebijakan untuk menghadapi aneka krisis global yang kini bermunculan satu persatu. Mulai dari krisis kesehatan hingga krisis peradamaian sebagaimana yang terjadi di Ukraina. Jika Indonesia diibaratkan kapal besar, “Kapal Indonesia harus dikayuh oleh orang yang paham strategi, paham geopolitik, paham sejarah,” kata Budiman.
Peran pemimpin sebagai ‘nakhoda’ sangat penting untuk memboyong rakyat menuju kemakmuran sekaligus memelihara persaudaraan bangsa. “Karena Indonesia merupakan kapal besar, bukan panggung entertainment saja,” kata Budiman.
Prabowo di mata Budiman, mewakili cara pandang kepemimpinan politik yang cocok dengannya. Di tengah krisis global saat ini, dibutuhkan dua latar belakang kepemimpinan, yakni militer dan aktivis, sehingga mampu berbicara hal-hal strategis secara komprehensif.
Sebagai sesama tokoh nasionalis, Prabowo dan Budiman meyakini tujuan pertemuan ini agar kaum nasionalis di Indonesia saling mendukung. Kerugian besar bagi kaum nasionalis jika tidak ada persatuan. Di sinilah Budiman mewakafkan dirinya untuk menjadi pencair kebekuan menjelang Pilpres 2024. Pencairan kebekuan ini penting untuk membangun persatuan nasional. Prabowo sebagai tokoh nasionalis dapat menjadi pelopornya. Apalagi Budiman menyebut Prabowo salah satu tokoh terbaik di Indonesia untuk memimpin. “Dan saya ingin orang Indonesia layak untuk mendapatkan orang terbaik, salah satunya Pak Prabowo,” kata Budiman malam itu.
Namun bukan negeri +62 kalau tidak gampang heboh. Masyarakat penggemar ghibah politik sontak menjadi ramai dengan pertemuan yang dianggap tidak lazim ini. Beropini a, b, c, sampai z. Aneka teori konspirasi bermunculan. Apalagi kemudian ada panggilan buat Budiman dari partainya terkait pertemuan itu.
Artinya, pertemuan itu dianggap fenomenal. Sukses menjadi trending topic di mana-mana, baik di darat maupun di medsos. Berita bakal capres lain yang juga berkegiatan saat yang sama langsung sepi tanggapan. Begitu juga berita tentang tokoh-tokoh yang menghadiri deklarasi dan apel siaga pada keesokan harinya. Karena sekali lagi, ada yang baru dari pertemuan kedua tokoh besar itu.
Budiman sendiri telah siap bila pertemuan ini menuai polemik. termasuk juga siap bila dipanggil PDIP, partainya. Ia bahkan mengaku sudah biasa dipanggil oleh partai. “Ini memang ada kaitannya sama pilpres. Kan saya bilang, harus ada persatuan kaum nasionalis. Maka saya bilang, Pak Prabowo ayo buktikan dong kenegarawanannya. Persatuan kaum nasionalis,” kata Budiman dengan berani.
Tak kalah beraninya dengan Budiman, Prabowo pun mengatakan heran bila semua pertemuan dengannya kerap diartikan sebagai perpindahan partai. Apa yang dikatakan Prabowo ini benar sekali. Tokoh-tokoh nasional dan masyarakat kita selama ini menjadi sangat terbiasa memandang suatu pertemuan hanya dalam kacamata sempit: deal politik yang berujung bagi-bagi kekuasaan.
Pertemuan di Rumah Kertanegara malam tahun baru Hijriyah itu juga mencatat suatu fakta baru. Rekonsiliasi Nasional. Prabowo seorang perwira tinggi militer di masa Orde Baru, sedang Budiman adalah seorang demonstran. Sebagai aktivis Partai Rakyat Demokratik, Budiman bahkan ditangkap dan dipenjarakan Orde Baru. Pertemuan itu menjadi momen bergandengnya dua orang yang pernah berseberangan saat Orde Baru. Prabowo bahkan mengatakan bahwa mereka berhadapan saat itu bukan karena ingin berhadapan tetapi situasi membuat mereka harus begitu. Fokus mereka sama, kepentingan Bangsa di atas kepentingan dan ambisi pribadi. Bahkan Prabowo mengatakan kalimat pamungkas, “Kita bertanding untuk bersanding…”
Rekonsiliasi Nasional ini menjadi penting karena dalam dua Pilpres terakhir, masyarakat Indonesia terpecah oleh polarisasi yang kemudian berimbas terjadinya gesekan-gesekan di masyarakat. Polarisasi ini bahkan terkesan dipelihara oleh para tokoh politik untuk kepentingan tertentu. Persatuan nasional, seperti yang ditegaskan Prabowo dan Budiman, harus kembali diperkuat. Kompetisi haruslah dalam patron kekeluargaan. Dan yang terbaik adalah saling bersinergi.
Rekonsiliasi nasional menjadi penting, kesadaran baru yang harus digaungkan dalam berpolitik. Tak perlu mempermasalahkan perbedaan pandangan, sekaligus juga tak perlu mempermasalahkan apa yang menjadi sejarah. Move on, kata para milennial. Budiman bisa dikatakan korban dalam perjuangan Demokrasi di era Orde Baru, namun ia tak menyimpan dendam. Ia bersalaman, berdiskusi dan berbagi ide untuk kepentingan Bangsa dengan Prabowo. Budiman paham, situasi Prabowo sebagai perwira tinggi di masa itu, dan Prabowo telah menunjukkan integritas dan loyalitasnya. Menjadi aneh, bila seorang yang bukan korban di era Orde Baru itu terus membicarakan pengkhianatan Reformasi. Ada kepentingan politik apa?
Terlepas dari itu semua, apa yang dikatakan Prabowo tentang ‘bersaing untuk bersanding’ bisa jadi adalah bisikan masa depan. Kedua tokoh besar ini bergandengan tangan memimpin negeri ini. Apalagi Prabowo terang-terangan menyebut Budiman sebagai pemimpin masa depan.
Amin….
Jefferson Adji Nugroho