Saya sudah mendengar dari 2 orang teman beberapa Minggu yang lalu bahwa Mahkamah Keluarga maksud saya Mahkamah Konstitusi akan mengabulkan permohonan bahwa salah satu syarat pencapresan adalah berusia minimal 40 tahun atau pernah menjadi kepala daerah. Dan saya terheran-heran setelah MK menolak 3 permohonan sebelumnya, tetiba dengan entengnya MK mengabulkan permohonan uji materi yang membawa embel-embel pernah atau sedang menjadi kepala daerah.
Dengan demikian MK menambah norma baru dalam UU Pemilu 2017 yang sebetulnya BUKAN ranah kewenangannya. Jadi peringatan Mahfud MD dan Yusril Ihza Mahendra bahwa MK itu negatif legislator sama sekali hanya dianggap sebagai angin lalu.
Ini kayak syarat orang yang berhak memilih yaitu berusia minimal 17 tahun atau sudah/pernah menikah.
Selamat menjadi POLITISI selamanya….Pak Lurah. Dan sulit sekali bagi saya untuk memandang Anda sebagai seorang NEGARAWAN.
Betewe…. jangan salahkan Gibran lho karena MK mengabulkan permohonan yang memberikan dia peluang untuk digandeng Prabowo. Meskipun secara pribadi saya menilai dia belum layak menjadi cawapres karena berbagai pertimbangan, Pilpres 2024 adalah momentum bagi dirinya untuk naik dengan cepat mengingat Bapaknya presiden dan om iparnya ketua hakim konstitusi.
Dan kalau nanti teman-teman pers menanyakan kesediaannya untuk menjadi cawapres dan dia menjawab tidak tertarik, tidak berminat atau ogah-ogahan, menurut pengamatan saya itu hanya jawaban untuk membuat pers penasaran. Karena saya meyakini bahwa Gibran sangat berambisi untuk bisa menjadi orang kedua. Kalau memungkinkan dan terjadi tsunami politik , bisa saja dia menjadi RI-1.
Saya teringat akan AHY yang kerap diledek, mantan Mayor kok pengen jadi Gubernur. Bandingkan dengan ini, Wali Kota kok pengen jadi Wakil Presiden. Apa yg positif dari hal ini? Minimal spanduk dan banner yang disiapkan untuk menyambut keputusan MK, bisa segera dipasang di berbagai penjuru.
Seorang politisi bisa menjadi negarawan jika Ia memegang teguh Etika Politik dalam sikap dan tindakannya. Kalau yang menjadi pegangannya adalah diperbolehkan atau tidak diperbolehkan oleh Konstitusi atau hukum, itu tidak cukup membuat seorang politisi bahkan seorang Presiden sekalipun menjadi negarawan. Sayangnya saat ini kita sangat kekurangan negarawan alias kaderisasi parpol gagal total.
Kekuasaan itu memang betul-betul menggoda politisi. Hanya bedanya, yang terbiasa berpegang pada etika politik tahu kapan ia merasa cukup dan berhenti untuk berkuasa sedangkan yang tidak, akan cenderung mencari alasan atau segala cara untuk tetap berkuasa. Kalau dirinya tidak memungkinkan lagi untuk berkuasa, maka ia akan menyiapkan jalan tol buat istri atau bisa juga anak-anaknya untuk berkuasa, termasuk mengubah aturan main bila perlu.
Politisi dan politik kita sebanal itu, kawan.