Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak RUU Kesehatan Omnibus Law. Mereka meminta Presiden Joko Widodo mempertimbangkan pembahasan RUU tersebut. Surat penolakan terhadap RUU Kesehatan Omnibus Law ini dikirim ke Presiden Jokowi pada 24 November 2022. Poin yang tercantum dalam surat tersebut antara lain menganggap pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law dinilai sangat tidak transparan dan tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, tidak ada naskah akademik yang dibicarakan bersama pemangku kepentingan dan masyarakat untuk melihat dasar filosofi, sosiologis, dan yuridis. IDI juga menuduh RUU Kesehatan Omnibus Law sarat kepentingan atas liberalisasi dan kapitalisasi kesehatan yang akan mengorbankan hak kesehatan rakyat selaku konsumen kesehatan.
Tuduhan ini tentu saja tidak beralasan. Draft RUU Kesehatan Omnibus Law bahkan belum dikeluarkan. IDI memang terlalu cepat beraksi tanpa didukung data. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sampai mengatakan, jika draft sudah ada, para dokter maupun organisasi profesi kedokteran sebaiknya berdiskusi dengan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Ini kan inisiatif DPR, kalau belum keluar, ini-nya (draft) juga belum ada. Saya rasa tunggu dulu deh seperti apa,” kata Menkes pada 28 November 2022 untuk menanggapi buruk sangka IDI.
Tentu saja pernolakan IDI ini makin menggenapi anggapan masyarakat bahwa IDI sebagai organisasi profesi dokter selalu punya agenda tertentu dan tidak benar-benar mengedepankan kepentingan masyarakat. Seperti kita ketahui, belum lama ini IDI pernah memecat Dr. Terawan dengan alasan yang dianggap mengada-ada dan politis. Masyarakat juga kerap mengeluh dengan tingginya biaya pendidikan kedokteran dan IDI terlihat tak punya usaha serius untuk mengurai masalah ini. Ini masih ditambah keluhan para dokter saat harus menghadapi hegemoni IDI sebagai organisasi profesi ketika mengurus Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktek (SIP). Belum lagi kasus-kasus bullying atau perundungan yang dialami dokter-dokter saat mengambil spesialis dari para seniornya mengatasnamakan organisasi profesi.
Tak cukup di situ blunder yang dilakukan IDI. Pengurus Besar IDI beserta angggotanya nekat berunjuk rasa dengan memadati area gerbang gedung DPR RI untuk menolak RUU Kesehatan Omnibus Law pada 28 November 2022. Mereka beralasan RUU Kesehatan Omnibus Law melemahkan peran-peran organisasi profesi. Sebelumnya, Kemenkes menerbitkan surat edaran yang mengingatkan dokter agar tidak meninggalkan tugas memberikan layanan pada jam kerja tanpa alasan sah dan izin dari pimpinan. Surat edaran dengan nomor UM.01.05/I.2/17473/2022 ini menanggapi imbauan IDI mengajak anggotanya melakukan aksi damai menolak RUU Kesehatan Omnibus Law di depan gedung DPR dan di wilayah masing-masing pada hari Senin 28 November 2022. “Pegawai aparatur sipil negara dan pegawai non aparatur sipil negara khususnya dokter pada unit pelaksana teknis tidak diperkenankan meninggalkan tugas memberikan pelayanan pada jam kerja,” demikian sebagian isi surat edaran tersebut.
Surat tersebut ditandatangani Sekretaris Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan, Azhar Jaya. Ia mengingatkan agar dokter mengedepankan pelayanan kepada pasien pada fasilitas pelayanan kesehatan. Tidak hanya itu, Kemenkes juga mengancam akan menjatuhkan sanksi disiplin kepada dokter yang meninggalkan pelayanan dan mengikuti aksi damai. “Bagi pimpinan unit pelaksana teknis dan dokter yang meninggalkan pelayanan untuk mengikuti aksi damai akan dikenakan aturan disiplin,” demikian bunyi poin keempat surat edaran tersebut.
Berbeda sikap dengan IDI, Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI) mendukung pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law. PDSI yakin Pemerintah mengutamakan kepentingan masyarakat dalam membentuk RUU Kesehatan Omnibus Law. Menurut PDSI, RUU ini mempermudah akses pendidikan bagi tenaga kesehatan di dalam dan di luar negeri, termasuk memulangkan tenaga kesehatan WNI lulusan luar negeri untuk pulang mengabdi di tanah air.
Yang terpenting, RUU Kesehatan Omnibus Law ini mengembalikan wewenang negara dalam hal izin praktik, distribusi dokter, dan lain-lain, tanpa intervensi berlebihan dari organisasi masyarakat manapun yang selama ini mengaku statusnya sebagai organisasi profesi tenaga kesehatan. Pengembalian wewenang kembali ke negara tentu akan memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan dan keamanan bagi masyarakat.
RUU Kesehatan Omnibus Law itu dilandasi semangat untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan kesehatan yang terjadi di Indonesia. Termasuk tentang carut-marut regulasi yang mengakibatkan kurangnya dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia akibat tingginya biaya untuk berprofesi sebagai dokter maupun tenaga kesehatan. Harapannya, akses masyarakat ke dokter dan dokter spesialis akan jauh lebih mudah karena jumlah dokter dapat lebih banyak. Pendidikan kesehatan mencetak banyak dokter dan tenaga kesehatan tanpa hambatan. Ini semua akan memperpendek antrian pasien di Rumah Sakit, serta biaya berobat bagi masyarakat menjadi lebih murah, karena pungli-pungli yang membebani dokter dan tenaga kesehatan hilang. Hilangnya pungli, akan membuat kualitas dokter menjadi lebih bagus dan tata kelola kesehatan menjadi jauh lebih transparan. Dan yang terpenting, kesempatan untuk menjadi dokter makin terbuka lebar bagi siapa pun, termasuk juga mereka yang kurang mampu.
Alasan-alasan ini membuat IDI menolak keras RUU Kesehatan Omnibus Law. Bisa jadi karena takut kehilangan banyak keuntungan yang selama ini mereka nikmati. Bisa jadi karena mungkin selama ini banyak oknum-oknum IDI kerap melakukan tindakan-tindakan yang bisa dikategorikan pungli. Selama ini Dokter dan tenaga kesehatan kerap dibuat tak berdaya oleh ulah oknum organisasi profesi saat mengurus Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Ijin Praktek (SIP).
Dalam RUU Kesehatan Omnibus Law yang diusulkan ini, Surat Tanda Registrasi (STR) akan berlaku seumur hidup dan GRATIS. Bukan harus diperpanjang 5 tahun sekali dan menimbulkan biaya mahal untuk dokter dan nakes seperti selama ini. Surat Izin Praktek (SIP) tetap 5 tahun namun tanpa kewajiban dokter harus mencari rekomendasi dari Organisasi Profesi. SIP pun dapat diterbitkan GRATIS. Di sinilah Pemerintah membatasi kewenangan IDI yang kerap disalahgunakan itu. Demi kepentingan masyarakat….
RUU Kesehatan Omnibus Law juga memberikan proteksi terhadap dokter dari gugatan dan kriminalisasi dengan memperkuat fungsi Konsil Kedokteran Indonesia sebagai lembaga pengawas etik dan disiplin. Organisasi Profesi tak lagi dapat memecat dengan semena-mena anggotanya dan membekukan ijin prakteknya. Belum lagi kesempatan bagi dokter yang mengambil program spesialis akan dipermudah dan DIGAJI melalui pendidikan spesialis berbasis rumah sakit. Makin ke sini, makin terlihat jelas mengapa IDI bereaksi negatif pada RUU tersebut. Dan IDI tanpa sadar, telah menunjukkan praktek-praktek negatif yang selama ini kerap dilakukan oknum-oknumnya.
Sudah selayaknya praktik-praktik pungli yang selama ini dilakukan organisasi profesi dihilangkan. Untuk itu fokus pemerintah dalam membentuk RUU ini hanya dua. Pertama, meningkatkan layanan kesehatan bagi masyarakat, dan kedua mengembalikan peran pemerintah dalam mengatur regulasi dan tata kelola kesehatan.
Dalam rapat kerja bersama Baleg DPR, 22 November 2022, Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono mengungkap masalah-masalah kesehatan di Indonesia yang perlu diubah. Pertama, minimnya akses ke layanan primer yang ada di masyarakat. Akses layanan primer ini semakin terbatas di daerah timur Indonesia. 90 persen dari 171 kecamatan yang ada di Papua dan Papua Barat, tidak memiliki Puskesmas.
Kemudian masalah kedua, kurangnya kapasitas pelayanan rujukan di rumah sakit terutama untuk empat penyakit katastropik utama penyebab kematian di Indonesia adalah jantung, stroke, kanker, dan ginjal. Seperti juga layanan primer, layanan rujukan rumah sakit di Indonesia masih timpang alias masih berkonsentrasi di kota-kota besar.
Masalah ketiga, ketahanan kesehatan di Indonesia yang masih lemah. Indonesia masih banyak bergantung pada impor dan teknologi hasil riset negara maju. 90 persen bahan baku obat selama ini masih impor.
Masalah keempat, pembiayaan kesehatan yang masih belum efektif. Sehingga memerlukan solusi untuk menciptakan pembiayaan yang adil serta meningkatkan manfaat promotif dan preventif.
Masalah kelima, SDM kesehatan yang kurang dan tidak merata. Standar jumlah dokter yang ada di Indonesia memiliki 270 ribu dokter. Sementara jumlah dokter yang tersebar di Indonesia dan berpraktik di fasilitas kesehatan masih berada di kisaran 120 ribu orang. Namun agaknya untuk menangani masalah kelima ini, IDI menolak keras solusi-solusi yang ditawarkan dalam RUU Kesehatan Omnibus Law. Bahkan juga melupakan bahwa RUU Kesehatan Omnibus Law itu juga punya tujuan-tujuan lain yang baik dan bukan sekadar mengurangi privilege IDI. Entah agenda apa yang ada dibaliknya.
Jangan salahkan masyarakat bila berpersepsi: “dokter yang benar sibuk kerja di Cianjur, sedang dokter yang ‘gak bener’ sibuk demo di DPR. Dokter yang benar sibuk mengobati pasien, dokter yang ‘gak benar’ sibuk merebut kekuasaan. Dokter yang benar menghabiskan waktu di Fasilitas Kesehatan, dokter yang ‘gak bener’ habiskan waktu di jalan. Sudah saatnya dipisahkan dokter yang berpolitik dan dokter yang benar-benar kerja.
Fatimah Wardoyo