Jokowi tiga periode….
Jokowi diperpanjang masa jabatannya….
Tunda Pemilu 2024….
Semua wacana selalu punya pro dan kontra, dan masing-masing punya argument yang kuat. Begitu juga dengan pembatasan masa jabatan Presiden. Sisi baiknya tentu saja menjauhkan suatu negara dari kekuatan otoriter. Namun di sisi lain, masa jabatan terlalu singkat menjadikan suatu negara sulit untuk melakukan suatu pembangunan yang berkelanjutan. Tak mampu menyelesaikan masalah besar di masyarakatnya akibat waktu yang terlalu singkat, sementara pemimpin pengganti lebih fokus dengan masalah lain.
Fakta yang juga harus disadari, pemimpin yang baik tidak lahir setiap saat. Belum tentu dalam 20 tahun akan muncul kembali. Maka ketika lahir pemimpin yang dianggap berintegritas dan berkompetensi, tak heran masyarakat segera berinisiatif untuk memilihnya kembali. Amerika Serikat misalnya.
Di masa depresi Franklin D. Roosevelt terpilih menjadi presiden. Roosevelt berhasil membawa negerinya melalui krisis, bahkan menjadi rujukan bagi banyak negara di dunia tentang cara-cara bangkit dari krisis ekonomi. Tak heran setelah dua kali menjabat, rakyat Amerika berani melanggar konvensi yang ada, dan memilih Roosevelt kembali hingga empat periode.
Di awal abad 21, masyarakat Amerika pun sempat gusar dengan pembatasan masa jabatan presiden. Saat itu Presiden Bill Clinton telah dua kali menjabat, hingga tak dapat dipilih lagi. Clinton dianggap pemimpin yang cukup berhasil membawa kemakmuran Amerika, sekaligus menjadikan negerinya adidaya tunggal menyusul hancurnya Sovyet dan negara-negara blok Timur. Keberhasilan Clinton ini pula yang menyebabkan rakyat Amerika tak menghiraukan skandal pribadi Clinton dan Monica Lewinsky. Semasa menjadi Gubernur Arkansas, Bill Clinton bahkan pernah mendapat perpanjangan masa jabatan.
Pengganti Clinton, George W. Bush dianggap kurang cakap. Kemenangan Bush dalam pemilu Presiden sendiri terasa kurang afdol, karena melalui sengketa berlarut-larut. Selisih kemenangannya pun sangat tipis dengan Al Gore. Bahkan secara total, jumlah suara yang memilih Gore jauh lebih banyak, meski Gore kalah dalam jumlah electoral votes.
Kepemimpinan Bush juga tidak mengesankan. Belum satu tahun menjabat, terjadi tragedi 911 yang menghancurkan menara kembar WTC. Peristiwa 911 juga menyulut era baru terorisme, yang diikuti agresivitas Bush untuk memulai Perang Teluk atas nama pembersihan terorisme. Perang Teluk yang berlarut-larut serta menghabiskan anggaran sangat besar itu jelas menggenapi keraguan masyarakat Amerika selama ini terhadap Bush.
Bush selalu dianggap hanya beruntung karena putra Presiden George Bush Sr. Bahkan masyarakat memperoloknya sebagai satu-satunya presiden Amerika yang semasa kuliah nilai raport-nya dominan nilai C. Nilai pas-pasan. Kekurangcakapan Bush pula yang membuat Amerika akhirnya bisa menerima Obama menjadi presiden meski tidak berkulit putih. Obama yang sarat prestasi dan selalu beride brilyan itu membuka kesadaran warga Amerika untuk tak lagi terkurung nilai-nilai SARA.
Kelak ketika Obama telah terpilih untuk dua periode, masyarakat Amerika kembali menyesali aturan pembatasan masa jabatan. Setelah Franklin Roosevelt, Obama dianggap orang yang paling pantas menjabat presiden untuk tiga periode. Di masa pemerintahannya, Amerika bukan saja tak lagi menghabiskan anggaran untuk Perang Teluk, namun juga membangun pondasi jaminan Kesehatan bagi warganya. Setelah Obama, Amerika seperti krisis calon pemimpin. Tak ada yang berkualitas negarawan, bahkan seorang pendukung isu-isu SARA seperti Donald Trump dapat menjadi presiden.
Kisah-kisah itu pada dasarnya memperlihatkan keinginan untuk memperpanjang masa jabatan seorang Presiden selalu terjadi karena dua faktor. Pertama karena prestasi Presiden yang bersangkutan, dan kedua karena krisis belum lahirnya calon pemimpin baru yang dianggap cakap. Hal ini pula yang terjadi di Indonesia saat ini.
Pembatasan masa jabatan memang baik, menghindari kekuasaan hanya terpusat pada satu kelompok yang akhirnya melahirkan kepemimpinan otoriter. Namun pembatasan masa jabatan juga bukan tanpa ekses. Penelitian menunjukkan, masa jabatan yang terlalu singkat menghambat adanya pembangunan yang berkelanjutan. Alih-alih suatu negara akan membangun, sumberdaya yang ada habis hanya untuk pemilihan umum.
Pemilihan umum yang terlalu sering tak hanya berimbas pada keuangan negara, tetapi juga pada politik berbiaya tinggi. Akhirnya mereka yang mencalonkan diri bukanlah orang yang berintegritas, tetapi yang berduit saja. Politisi-politisi dan pemimpin yang berorientasi mengumpulkan kekayaan saat menjabat kelak. Ini tentu menggerogoti demokrasi.
Mereka yang tak menyetujui pembatasan jabatan sendiri bukan tanpa argument. Pemilu sendiri sebenarnya adalah bentuk pembatasan jabatan seorang pemimpin. Ketika masyarakat tak lagi menghendaki seseorang menjabat, tentu yang bersangkutan tak akan memenangkan pemilu. Sehingga pembatasan masa jabatan seorang pemimpin cukup dilakukan dengan adanya pemilu yang fair. Bahkan bagi banyak peneliti demokrasi, pembatasan masa jabatan adalah sesuatu yang sangat tidak demokratis, karena menghambat aspirasi masyarakat untuk tetap dipimpin oleh pemimpin yang berhasil.
Di beberapa tempat atau negara, pembatasan masa jabatan justru melahirkan politik dinasti dimana seorang pemimpin yang tak bisa maju lagi akan mengajukan keluarganya untuk menjadi penggantinya. Terkadang keluarganya tersebut hanya menjadi pemimpin boneka karena terlalu tidak berkompetensi.
Dalam suatu wawancara, mantan petinggi Partai Demokrat, Gede Pasek menceritakan bila SBY pernah ingin menunjuk istrinya, Ibu Ani, untuk menjadi Ketua Umum Partai Demokrat, sehingga kelak dapat maju mencalonkan diri menjadi presiden menggantikan dirinya. Kasus-kasus dinasti politik ini banyak terjadi di level pemerintah daerah. Kita tentu tak bisa melupakan koruptor Ratu Atut, yang seakan seluruh keluarganya menguasai politik di wilayah Banten. Adalagi nama Rita Widyasari, Bupati yang terbukti korupsi dari Kutai Kartanegara. Rita sendiri menjabat setelah menggantikan ayahnya.
Bagaimana tentang wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi? Wacana ini tidak lahir begitu saja dan sekonyong-konyong. Semuanya berkait dengan survei kepuasan pada pemerintahan Jokowi yang mencapai 71 persen. Pahkan 20 persen lebih menyatakan sangat puas. Artinya, secara mayoritas masyarakat Indonesia memang tidak bermasalah dengan kepemimpinan Jokowi, bahkan sangat mengapresiasi, hingga wajar bila kepemimpinannya diteruskan. Daripada calon baru yang belum jelas. Siapa yang mau membeli kucing dalam karung?
Bukan tidak sering kita mendengar keraguan masyarakat terhadap calon-calon yang digembor-gemborkan sekarang. Bahkan calon-calon yang menguasai survei saat ini. Prabowo Subianto misalnya, keraguan utama terhadap sang Jendral adalah usia dan kesehatannya, ditambah belum ada karyanya yang fenomenal semenjak menjadi Menhankam. Menjadikan Indonesia produser alutsista misalnya.
Dua nama berikutnya, Ganjar dan Anis sejauh ini pun belum ada karya yang fenomenal. Meski keduanya memang humble dan santun, ditambah fans garis keras yang siap nyolot. Erick Thohir, Airlangga Hartarto, Puan Maharani pun begitu. Hanya wajah mereka terpampang di mana-mana. Calon lain ada yang cukup berprestasi, misalnya karena terbukti berhasil membangun infrastruktur di mana-mana, atau mengendalikan Covid, mendistribusikan vaksin, mengembalikan Freeport ke Indonesia, justru terlihat tidak tertarik menjadi presiden. Angka-angka survei pun masih lemah sekali.
Ini jelas berbeda sekali dengan kemunculan Jokowi. Hasil survei Jokowi sebelum terpilih menjadi Presiden sungguh mencengangkan. Dalam survei Kompas yang dilakukan berturut-turut pada tahun 2012, 2013, dan 2014, popularitas Jokowi selalu meningkat pesat. Sesaat setelah terpilih menjadi Gubernur DKI, popularitas Jokowi mencapai 17,7 persen sebagai calon Presiden. Saat itu nama-nama capres didominasi nama-nama senior seperti Megawati, Aburizal Bakrie, dan Prabowo Subianto.
Seiring prestasi Jokowi setelah menjadi Gubernur DKI, popularitas Jokowi di tahun 2013 melesat menjadi 32,5 persen. Pada Januari 2014, popularitasnya makin tak terbendung menjadi 43,5 persen. Bandingkan dengan capres-capres yang ada saat ini, popularitas mereka seakan stuck, tak bergerak, karena memang belum menelurkan prestasi yang mencengangkan.
Dari situ tentu wajar jika kemudian wacana-wacana perpanjangan masa jabatan Jokowi terus terdengar. Dan bukan tidak mungkin memang inilah yang diinginkan sebagian besar masyarakat Indonesia. Di media sosial misalnya, berita-berita tentang Jokowi selalu memancing viewers dan subscribers jauh di atas para calon-calon presiden lain. Viral se viral-viralnya. Mereka yang menolak Jokowi menjabat lagi mungkin saja karena sudah terlanjur menjadi bagian timses politisi tertentu yang bakal ikut kompetisi 2024. Hehehehe…
Sebagai info, Presiden Rusia, Vladimir Putin akhirnya bisa mencalonkan diri sebagai presiden hingga tahun 2036, setelah sebelumnya Parlemen Rusia mengamandemen Undang-undang yang membatasi masa jabatan Presiden. Putin sendiri mengatakan dirinya belum memutuskan apakah akan kembali mencalonkan diri lagi pada tahun 2024. Kenapa fakta ini diungkap di sini? Karena masyarakat Rusia pun menganggap masyarakatnya krisis kepemimpinan seperti di Indonesia. Bukankah Putin belakangan ini banyak disukai masyarakat Indonesia? Selain Rusia, Parlemen Mesir pun mengadakan amandemen dan referendum untuk memperpanjang masa jabatan Presiden Abdel Fattah al-Sisi. Perpanjangan ini disetujui nyaris mutlak, karena rakyat Mesir menginginkan stabilitas di negaranya, tak hanya pesta demokrasi.
Indonesia bisa mempertimbangkan hal ini.
Iwan Raharjo