Social Climber dan Ketidaksukaan Dunia Dengan Yang Instan

Setiap mendengar kata pansos, ingatan saya selalu pada kisah klasik The Great Gatsby karya F. Scott Fitzgerald. Kisah tentang tokoh flamboyan Jay Gatsby…
Jay, seorang social climber sukses. Lahir sebagai Jay Gatz di pedalaman Amerika, ia dibesarkan miskin dan tidak terpelajar tapi mampu mengubah nasib menjadi kaya raya, meski juga karena bisnis-bisnis ilegal. Berdagang barang ‘spanyol’ alias separuh nyolong. Mengubah namanya menjadi Jay Gatsby, untuk menutup asal usulnya. Setelah sukses, Jay bukan cuma kaya dan terpelajar, tapi juga dermawan. Jay juga tampil terdepan dalam pesta-pesta kalangan atas, tanpa sedikit pun ada yang mampu mencium masa lalunya sebagai orang susah. Semua orang berlomba-lomba untuk dekat dengannya. Sosialitaaaah….

Jay mungkin contoh social climber yang berhasil. Orang yang berhasil meningkat jauh melampaui ‘kasta’ asalnya. Terlepas dari bisnis ilegalnya, kesuksesan utama Jay Gatsby bisa diterima di kalangan Sultan karena Jay mampu mengubah cara berbicaranya. Bukan Cuma mengubah aksen pedalamannya menjadi terpelajar dan aristokrat. Tapi tentu saja mengubah cara ia berbahasa. Karena konon bahasa itu mencerminkan kecerdasan, pengetahuan, tingkat literasi, wawasan… bahkan kepekaan, kebaikan, juga kadar kegombalan. Maka jangan gampang baper dan naik darah bila ada yang menganggap kita bodoh. Meragukan kualifikasi kita, karena mungkin semua itu tidak terpancar dalam cara kita berbahasa dalam jangka panjang. Bukan dalam satu atau dua perhelatan.

Gesture mungkin juga sesuatu yang harus diperhatikan. Jay Gatsby segera saja memenangkan kepercayaan orang karena sopan santun dan perilakunya di depan umum yang mempesona. Hangat tanpa menjadi murahan, berkelas tanpa harus belagu. Tidak songong. Para perempuan histeris dan terbakar cemburu karena ketika Jay memandang perempuan yang disukainya ‘He looked at her the way all women want to be looked at by a man’.

Sayang F. Scott Fitzgerald sinis dengan social climber. Di penghujung kisah, asal usul Jay terungkap, dan masyarakat yang mengelu-elukannya itu mendadak berbalik arah. Mungkin memang begitulah fakta yang banyak terjadi pada para social climber. Mereka menjadi meteor… terlalu cepat melesat naik… sekaligus terlalu cepat padam.

Karena alam tidak suka hal-hal instant? Bisa jadi…
Bisa jadi juga, meski dermawan, cara Jay Gatsby memperoleh harta diawali dengan kegiatan kriminal. Ada energi negatif di situ. Karma buruk.

Dalam Gone With The Wind, Margaret Mitchell lebih sinis lagi pada para social climber. Dikisahkan setelah Tentara Konfederasi kalah dalam Perang Sipil, Selatan termasuk Atlanta dibanjiri orang-orang Republik. Mitchell menyebut mereka ini orang-orang Oportunis, karena biasanya mereka yang mendadak membanjiri Atlanta itu adalah para pengangguran, penipu, orang miskin yang mendadak kaya karena korupsi proyek rehabilitasi Selatan pasca Perang. Sikap mereka semena-mena terhadap orang-orang Selatan, apalagi karena masyarakat Selatan umumnya bangkrut setelah uang Konfederasi tidak berlaku lagi.

Mitchell menggambarkan kaum Oportunis itu mengalami gegar budaya. Gemar mengenakan busana yang seronok dan memamerkan kekayaan dengan vulgar. Jauh dari estetik. Karena memang estetika dan rasa tidak dapat dirubah dalam semalam. Digambarkan tokoh flamboyan di buku itu, Rhett Butler lebih memilih anak perempuannya diundang ke pesta ulang tahun sederhana meski hanya dengan hidangan remah-remah roti, daripada harus ke pesta meriah kaum Oportunis. Rhett Butler pun terpaksa mengajak anak-anaknya berputar-putar keliling dengan kereta saat hujan karena di rumahnya kaum oportunis sedang bertamu pada istrinya. Rhett khawatir anaknya akan mendengar bahasa-bahasa tak snonoh yang kerap diucapkan kaum Oportunis itu.

Bagi Rhett, dalam kesederhanaan dan kemiskinan kaum Selatan itu, di situlah terpancar nilai-nilai mulia. Sesuatu yang tentu saja tidak dapat diukur oleh materi. Dan tentu saja tidak dapat diubah instan dalam sesaat. Mitchell sendiri cukup obyektif dalam Gone With The Wind, setelah kaum Oportunis didapati banyak melakukan korupsi dan kolusi, Federal mengkaji kembali keberadaan mereka. Proyek kini dipimpin langsung oleh orang-orang yang memang qualified. Orang-orang pusat sejati. Dikisahkan, orang-orang Republik sejati ini lebih berkelas. Tepatnya sama berkelasnya dengan orang-orang Selatan yang rela makan remah-remah roti tetapi tetap berlaku mulia sebagaimana tuntunan nilai-nilai yang mereka pegang.

Sering saya bayangkan, kaum Republik yang dipuji Mitchell itu adalah keturunan dari kaum Puritan. Nilai-nilai puritanisme dari orang-orang Protestan awal inilah yang kemudian dianggap sebagai pembentuk narasi besar Amerika Serikat sebagai bangsa dan negara. Dalam hal ini, nilai-nilai kebajikan yang dipegang teguh dan menjadi sikao sehari-hari itulah yg menjadi motor kemajuan Amerika. Agama bisa apa saja.

Bagaimana dengan Nusantara? Dalam pandangan saya pribadi, kisah Petruk jadi Ratu adalah bentuk-bentuk social climber. Petruk ditertawakan karena itu. Tentu saja karena pada dasarnya orang tidak menyukai hal-hal instan. Meragukannya. Semua yang hebat selalu didapat dari perjuangan yang berat. Laku yang tidak mudah.

Apakah ada social climber yang berhasil? Pasti ada, dan tentu saja banyak. Tetapi peradaban telah terlanjur dibentuk untuk selalu mempertanyakan apapun yang terlalu cepat. Alam memperlihatkan, proses pembentukan berlian bukan satu hari, dan tak ada katalisnya. Di situlah mengapa berlian mahal. Mungkin karena sejarah panjang peradaban selalu berhasil menunjukkan, tatanan yang terbentuk di masyarakat pun biasanya hanya dapat dilewati setahap demi setahap. Berat sekali untuk melakukan terobosan di luar itu. Jay Gatsby sekalipun, yang sukses bertransformasi menjadi manusia baru, gagal menghadapinya.

Jadi, tidak bolehkah kita menjadi social climber?

Saya kira sangat boleh.. sangat boleh bahkan harus. Seseorang sebaiknya menjadi ‘naik kelas’ dalam hidupnya. Cuma saja, hati-hati dengan caranya. Cara-cara yang kurang baik, melawan nilai-nilai yang berlaku apalagi hukum, selalu akan menimbulkan resistensi. Ini bukan saya sok etik atau sok moralis, tapi resistensi ini pada akhirnya sering sulit tertanggulangi….

Satu per satu…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *