Jagad maya sedang ribut oleh laporan seorang Badrun tentang dugaan korupsi yang dilakukan Gibran dan Kaesang. Ekonom sekelas Rizal Ramli, juga Refly Harun, sampai influencer Mardigu Wowiek, ikut angkat bicara. Menyoal dua hal yang intinya sama. Pertama, bagaimana bisa sebuah perusahaan yang belum lama didirikan oleh anak-anak muda tiba-tiba mendapat kucuran dana begitu besar (90 milyar lebih). Kedua, uang negara mana yang dikorupsi dua anak Pak Jokowi itu? Pendapat mereka ini menggelikan.
Tentu sebagian kita bertanya di mana letak ‘menggelikan’ nya? Saya yang sudah tidak muda lagi ini merasa jengkel dengan sinisme generasi tua ini. Menurut saya mereka hanya mempermalukan diri saja, karena tidak memahami karakter investasi startup company yang saat ini memang sedang jamannya. Disamping itu komentar-komentar yang dilontarkan bukannya mencerahkan publik, tetapi justru terdengar semata-mata kekurangan bahan demi prasangka buruk terhadap lawan politik. Mari kita lihat mengapa pernyataan mereka mempermalukan diri.
Logika yang sedang mereka bangun adalah bahwa yang namanya investasi (biasanya berupa penyertaan modal, yang ditandai dengan pembelian saham perusahaan) tentunya ditujukan kepada perusahaan yang sudah berdiri lama, jelas track record dan prestasi serta menunjukkan kinerja yang profitable dalam portofolionya. Jadi bagi mereka, berinvestasi pada perusahaan baru,milik anak muda yang belum ada riwayat keuntungannya itu mustahil. Pasti ada apa-apanya.
Ini pelecehan terhadap anak-anak muda dan bisnis-bisnis startup yang memang dibangun dari mimpi-mimpi visioner. Apakah inverstasi pada startup ini hal baru?
Investasi para pemodal kepada bisnis-bisnis rintisan (startup company), sudah ada sejak jaman dulu. Rockefeller Brothers Fund yang berdiri tahun 1940-an di Amerika telah banyak berinvestasi pada usaha-usaha rintisan. Henry Ford tidak akan pernah bisa mewujudkan mimpinya menjadi perusahaan mobil raksasa kalau semua pemodal otaknya sepengecut Rizal Ramli. Intel, perusahaan microprosessor tidak akan pernah menjadi perubah peradaban kita kalau tidak ada pemodal pertama yang berani mengambil resiko mendanai teknologi yang belum pernah ada contohnya. Dan kita tak akan bertemu kata intel inside dalam setiap komputer handal. Steve Jobs dan Steve Wosniack mungkin tidak akan pernah mewujudkan imperium bisnis bernama Apple Computer tanpa keberanian Mike Markkula yang pertama kali mempertaruhkan uangnya sejak embrio Apple masih di garasi mobil. Dan karenanya kata apple tak hanya berarti buah-buahan.
Investasi-investasi terhadap perusahaan rintisan dilakukan oleh perusahaan modal ventura (venture capitalist). Mengapa disebut venture capital karena karakter investasinya memang menantang resiko (dare to take a risk). Biasanya memang perusahaan yang diincar venture capital adalah yang memiliki prospek bagus, sekaligus merupakan inovasi atau melibatkan teknologi yang sedang dikembangkan atau masih dalam riset.
Berbeda dengan Venture Capital, perusahaan Private Equity lebih tertarik untuk penyertaan modal pada usaha yang sudah jalan dan membukukan keuntungan yang menjanjikan. Meskipun demikian, sasaran keduanya adalah perusahaan yang masih belum melantai di bursa saham, atau melakukan Initial Publik Offeering alias go public. Kalau Modal Ventura sepenuhnya adalah ekuitas yang berasal dari modal sendiri, Private Equity biasanya modal berasal dari pinjaman sebagian atau seluruhnya.
Mengapa tertarik membiayai startup company, karena modal ventura memproyeksikan nilai saham di masa depan yang melonjak berlipat-lipat, misalnya 10 kali lipat dari modal awalnya, manakala perusahaan mulai IPO nanti. Lihat saja saham Apple Computer yang di tahun 1980-an hanya $22 per lembar saat ini mencapai $22.000 lebih. Seribu kali lipat dalam 40 tahun.
Di Indonesia Modal Ventura sudah dikenal sejak awal tahun 1990-an dan diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/1988. Lembaga Modal Ventura pertama adalah PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia, sebuah BUMN bentukan Bank Indonesia (82,2% saham) dan Departemen Keuangan (17,8% saham) .
Lompatan-lompatan kuantum seperti itulah yang menjadi visi dari anak-anak muda jaman milenial ini. Bisa jadi ini merupakan evolusi Gibran dan Kaesang saat terjun di dunia usaha. Kalau dulu orientasi usahanya masih self oriented, seiring waktu dan berkembangnya amanah, ‘battle field’ semakin luas. Apa yang mereka lakukan ini cerdas dan itu sudah semestinya diikuti banyak pengusaha lain. Baik muda atau tua.
Dari pilihan-pilihan usaha yang dilakukan Gibran dan Kaesang, nggak sulit kok melihat arah keberpihakan keduanya. Pertama sektor riil, yang menyerap banyak tenaga kerja; lalu orientasi ekspor sebagai perjuangan devisa; dan modal ventura, mendorong usaha kecil kerakyatan yang biasanya baru mulai (startup), serta inovasi untuk menumbuh kembangkan keragaman usaha baru dan kreatif.
Nggak ada yang salah dengan menjadi kaya. Itu baru setengah perjalanan. Yang lebih penting adalah apa yang dilakukan dengan kekayaan itu. Berinvestasi tidak otomatis menjadi kaya, karena masih ada resiko usaha. Siapa yang tidak tahu kenal Pak Jusuf Kalla, seorang pengusaha kaya yang juga pernah sekaligus menjadi pejabat Negara. Selama tidak ada aturan yang dilanggar, berusaha dan berinvestasi adalah sah-sah saja.
Nasehat saya untuk para politisi generasi tua apalagi yang tidak pernah berjuang merasakan susahnya menjadi inisiator usaha, nggak usah NYINYIR, karena itu hanya akan menjadi penanda akhir budaya dari selapis generasi yang akan tersingkirkan jaman.
Saya sendiri tidak akan pernah lupa bagaimana susahnya 25 tahun yang lalu meyakinkan orang untuk menginvestasikan uangnya pada usaha yang saya rintis dari nol, memperkenalkan teknologi informasi dan internet. Apalagi di kota kecil seperti Solo ini,. Jadi empati saya untuk kalian anak-anak muda yang tidak cengeng membangun usaha.
Sekadar info, bonus demografi membuat jumlah penduduk Indonesia berusia di bawah 40 tahun akan mendekati 60 persen pada 2024. Ini artinya arah masa depan bangsa akan ditentukan oleh kaum muda. Generasi tua yang selama ini merasa sebagai penentu arah politik dan kebijakan nasional siap-siap tersingkir kalau tidak paham pergerakan zaman, alih-alih perkembangan teknologi.
Sunu Prasetya