Takdir Indonesia: Kisah Jenderal yang Tidak Bisa Dibaca

Kali ini saya membaca Indonesian Destinies karya sejarawan Theodore Friend. Diterjemahkan menjadi Takdir Indonesia di tahun 2024 oleh Penerbit Gading, buku ini membahas sejarah kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di Indonesia pasca proklamasi. Bagi Friend dan dunia pada umumnya, penduduk Indonesia itu gentle, orang-orang yang lembut dan manis. Namun terjadi paradoks yang mengherankan bagi orang luar: bagaimana penduduk yang manis dan lembut itu bisa berubah saling membunuh.

Friend teringat ucapan Laksamana Besar Cina Zheng He yang menggambarkan penduduk Indonesia sebagai “pembunuh yang suka saling tusuk untuk menguji ketajaman pisau mereka”. Dalam catatan kaki, Friend juga menambahkan Zheng He mengatakan, di Nusantara kejahatan dibiarkan tanpa hukuman. Paradoks itu membuat Friend bingung, orang-orang Indonesia yang dianggap Zheng He bengis itu ternyata menghasilkan budaya yang adiluhung.

Kebingungan Friend, tentang paradoks “manis tapi bengis, bengis namun budayanya adiluhung”, terlihat jelas saat Friend mengutarakan kisah atau pandangannya tentang presiden kedua RI, Soeharto. The Smiling General. Diawali dengan mengutip cerita George Benson, seorang atase militer di Kedubes Amerika untuk Indonesia pada sekitar tahun 1965. Masa itu Benson kerap makan siang bersama para eselon atas dari kalangan militer Indonesia. Rekan-rekannya itu kerap memintanya untuk mengajak Soeharto juga. Soeharto menjabat sebagai Panglima Kostrad saat itu. Biasanya Benson akan mampir ke kantor Soeharto. Benson selalu mendapati Soeharto sedang sibuk membaca majalah dengan meja kerja bersih dari kertas-kertas. Soeharto selalu menolak ajakan Benson dalam Bahasa Inggris. Alasannya pun selalu sama:  Ibu bilang saya harus pulang lebih awal hari ini. Artinya, Bu Tien, istrinya, melarang.

Di tahun-tahun menjelang peristiwa September 1965 itu, Theodore Friend mencatat, secara politik ada empat kelompok di kalangan elit. Pertama adalah lingkaran istana, dengan pusatnya Presiden Soekarno diikuti Menlu Soebandrio. Kemudian adalah kelompok jenderal-jenderal yang menentang kedekatan istana dengan PKI. Kelompok ini di masa itu sering disebut Dewan Jenderal. Yang ketiga adalah kelompok Politbiro. Kelompok ini bersimpati pada istana tetapi mempunyai rencana sendiri. Pucuk pimpinannya adalah DN Aidit, diikuti lima pemimpin PKI lainnya. Di hari-hari itu, Politbiro merasa menang karena banyak aksinya cukup populer menggaet massa. Kelompok terakhir terdiri dari para perwira progresif. Mereka ini bersimpati pada komunis dan membuat kelompok Politbiro makin percaya diri. Letnan Kolonel Untung ada di kelompok ini.

Di luar empat kelompok itu ada Soeharto. Bukan bagian dari bagian kelompok apapun. Benar-benar orang luar. Dia tidak punya kedekatan dengan Soekarno, tidak dekat dengan kelompok Islam yang saat itu penentang keras PKI, dan tidak dekat juga dengan komunis. Lone wolf. Bertahun-tahun sebelumnya Soeharto pernah terkena hukuman saat menggunakan jabatannya untuk berbisnis bareng Bob Hasan. Hukuman Soeharto diberikan langsung oleh Jendral A. Yani saat Soeharto menjabat Pangdam Diponegoro. Soeharto menjadi sulit dekat dan berhubungan dengan kelompok Jendral A. Yani.

Satu-satunya keterkaitan Soeharto dengan Jendral Yani yang meninggal pada peristiwa 30 September 1965 itu, tulis Friend, hanya karena Kolonel Abdul Latief yang mengunjunginya di Rumah Sakit karena anaknya tersiram sup panas. Abdul Latief saat itu menceritakan tentang rencana “dewan jenderal” untuk menggulingkan Soekarno pada 5 Oktober 1965, juga rencana Gerakan 30 September untuk melakukan pencegahan.

 Siapa dalang dari peristiwa 30 September tetap samar hingga saat ini. Dalam bukunya Friend menulis, pada 1 Oktober 1965 pagi, publik Indonesia mendengar pengumuman dari Gerakan September Tiga Puluh yang menurut mereka telah menangkap Dewan Jendral yang dituduh mereka dibiayai CIA dan akan melakukan kudeta pada tanggal 5 Oktober 1965. Sore harinya, komandan Angkatan Udara, Oemar Dhani mengumumkan telah menempatkan angkatan udara di belakang “semua gerakan revolusioner-progresif”. Namun sekitar pukul 9 malam, Soeharto berpidato singkat, mengumumkan telah terjadi penculika enam jenderal termasuk Panglima Angkatan Darat oleh “gerakan kontra-revolusioner”. Soeharto pun berkata telah mengambil alih komando Angkatan Darat dan bersama Angkatan Laut serta Polisi, akan menghancurkan Gerakan 30 September.

Soeharto segera mengultimatum Pangkalan Udara Halim sebagai markas G30S agar segera bubar dan mengevakuasi diri. Presiden Soekarno, Dhani dan Aidit berkumpul di sana saat itu. Perintah meninggalkan Halim itu sebenarnya perintah terselubung Soeharto pada Presiden Soekarno. Ketika Presiden Soekarno menurutinya, maka usailah era Demokrasi Terpimpin. Sejak itu jalan Soeharto menuju kursi Presiden RI mulai terbuka. Soeharto sendiri mengambil alih pangkalan pada dini hari tanggal 2 Oktober 1965. Lima batalion infanteri dari Jawa Tengah yang berada di bawah komando pemberontak dapat dikuasai Soeharto dalam waktu singkat.

Legitimasi atas Soeharto makin kuat setelah Jenderal AH Nasoetion menulis sebuah perintah untuk “membebaskan” Soekarno dengan menempatkan Soeharto sebagai penanggung jawab operasi dan menginformasikan kepada rakyat tentang “fakta-fakta yang sebenarnya”. Soeharto dengan cepat menguasai istana presiden, RRI dan menguasai seluruh Jawa.

Kecepatan Soeharto menguasai keadaan, yang berujung dengan naiknya Soeharto menjadi Presiden kedua RI, sering menimbulkan banyak dugaan keterlibatan Soeharto dalam pemberontakan itu. Titik awalnya adalah kesaksian Abdul Latief tentang dirinya yang menceritakan rencana G30S pada Soeharto. Peneliti dari Universitas Cornell, Ben Anderson mengartikan pernyataan Latief sebagai pembiaran Soeharto dengan sengaja agar G30S bisa beroperasi, tanpa melaporkan hal tersebut pada Nasoetion dan Yani selaku atasannya. Menurut Anderson, tujuannya agar persaingan di puncak rantai komando berkurang.

Sampai di sini Friend kemudian menulis, penafsiran Ben Anderson itu menempatkan Soeharto sebagai seseorang dengan perhitungan berdarah dingin. Kelompok yang mengancam kedudukan Presiden Soekarno ternyata bukanlah orang-orang di sekitar Yani dan Nasoetion, meski keduanya berasal dari kelompok yang kerap kontra dengan presiden. Justru orang-orang yang dekat dengan Soeharto.

Di mata Friend, Soeharto adalah seorang penyendiri. Bukan salah satu dari lingkaran A. Yani. Soeharto mungkin diam-diam kritis dan tidak setuju pada pemikiran Soekarno, tetapi tidak menyuarakan apapun tentang hal itu. Dia tidak berkomplot dengan siapapun dalam pengertian menyusun kekuatan. Soeharto tersenyum pada semua orang. Membuatnya tidak termasuk dalam daftar aktivis anti Soekarno dan Anti PKI yang ditangkap Gerakan 30 September. Ironisnya, lanjut Friend, meski Soeharto menjadi pihak yang paling kurang “aktif” secara politik, justru Soeharto yang keluar sebagai pemenang.

Cerita Friend kemudian berlanjut tentang rencana Soekarno untuk mengadakan rapat kabinet. DN Aidit berada di Jawa Tengah dan kesulitan untuk melakukan perjalanan kembali ke Jakarta. Soeharto kemudian memanggil Komandan Brigade IV Infanteri Kostrad, Kolonel Yasir Hadibroto. Mengirim Yasir ke Jawa Tengah untuk menjemput Aidit. Mereka mendapatkan informasi tentang keberadaan Aidit dari pengawal pribadi Aidit yang tidak menaruh curiga pada Yasir. Yasir pun ditangkap di sebuah desa tidak jauh dari Solo pada 22 November 1965.

Seorang Mayor yang ikut dalam penangkapan itu, menyarankan Yasir untuk melakukan penahanan Aidit sembari memberi kabar pada Soeharto. Yasir pura-pura setuju. Mereka melakukan konvoi, dengan sang mayor berada di depan. Yasir kemudian berbelok menghindari sang mayor. Berhenti di suatu tempat, memerintahkan anak buahnya untuk mengikat dan menembak mati Aidit. Jenazah Aidit kemudian dibuang ke dalam sumur.  

Ketika sang mayor mengetahui apa yang terjadi, dia berkata, “Itu mengerikan. Seseorang harus bertanggung jawab untuk ini.”

Yasir menjawab, “Dia sudah ditangani. Ini adalah masa perang, bukan?”. Yasir pergi ke Yogya untuk bertemu Soeharto dua hari kemudian. Menjelaskan seluruh operasi. Kemudian Yasir bertanya, “Apakah ini yang Bapak maksudkan dengan ‘bereskan’ itu?” Soeharto tersenyum dan tidak berkata apa-apa.

Membaca bagian ini saya lama terdiam. Berpikir tentang banyak kemungkinan.  Soeharto yang gemar memberi perintah dengan simbol, Yasir yang terlalu ingin mengambil hati atasannya, atau Soeharto yang tersenyum karena diuntungkan oleh tindakan anak buahnya. Tapi semua itu berujung pada fakta tentang pemimpin yang ‘tidak terbaca’, berdarah dingin, dan membungkus segala hasratnya dalam senyum.

Jendral Soeharto selalu tersenyum. Senyumnya memikat. Bukan senyum gaya Hollywood yang mempertontonkan gigi putih kemilau, seperti senyum Soekarno yang selalu gembira ria, memancarkan keintiman pribadi, persaudaraan, kedermawanan sekaligus secepat kilat menjadi gertakan amarah. Menurut Friend, senyum Soeharto terukur. Senyum kebapakan, terkendali, teatrikat, mampu menabiri beragam perasaan atau hasrat, termasuk balas dendam. Jenderal Soeharto menggunakan senyumnya untuk mencekik secara perlahan. Demikian kesan Friend.

Friend kemudian menulis, manajemen penuh sindiran, intimidasi dan hukuman akan menjadi ciri gaya kepemimpinan Soeharto. Soeharto jauh melampaui Soekarno dalam urusan monopoli kekuasaan. Ia membuat para jenderal mematuhinya luar biasa, karena takut bila Soeharto tak lagi berkuasa, akan terjadi pengusutan demokrasi yang menjerat mereka karena saat melayani Soeharto, mereka terpaksa memberangus demonstrasi dan memburu para aktivis dengan cara-cara yang melanggar HAM. Banyak pula anak buahnya yang bersih, anti korupsi, anti tindakan represif, tapi mereka berutang pangkat dan jabatan pemberian Soeharto. Soeharto, tulis Friend, secara terus menerus, nyaris sembunyi-sembunyi, memerangkap kekuasaan untuk digenggam kuat dalam tangannya sendiri.

Pada akhirnya Presiden Soeharto bisa dilengserkan. Menjadi tugas kita agar senantiasa waspada sehingga sejarah kelam kekuasaan tidak berulang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *