Berawal saat Perdana Menteri Sutan Sjahrir mengirim Sumitro untuk menjadi perwakilan perdagangan dan keuangan untuk Amerika Serikat di New York pada tahun 1947. Sumitro saat itu telah lulus sebagai Doktor Ekonomi lulusan Belanda. Ia juga putra dari pendiri Bank Sentral di Indonesia, Margono Djojohadikusumo. Penunjukan itu sempat membuat Sumitro memprotes Sjahrir karena merasa tidak punya pengalaman apapun tentang Amerika. Sjahrir menjawab enteng, “Tidak ada seorang pun yang punya pengalaman.”
Sampai di sini saya cukup terharu. Di masa perang kemerdekaan itu, para pendiri bangsa ini justru orang-orang yang tidak mau jabatan, menghindarinya. Bukan orang yang mengejar kekuasaan.
Sumitro kemudian berangkat ke Amerika bersama kedua temannya, Soedarpo Sastrosatomo dan Soedjatmoko. Pada saat keberangkatannya, Sumitro dan teman-temannya nyaris tidak memiliki kontak yang dikenal juga uang tunai. Sedihnya lagi, kapal Indonesia yang membawa barang perdagangan ke Amerika tidak mampu menembus blokade Belanda dan disita . Kapal lainnya berhasil memasukkan barang ke New York, tetapi uangnya tidak dibayarkan ke Republik Indonesia.
Ketiganya kemudian berkenalan dengan pebisnis yang lihai me-lobby, Matthew (Mattie) Fox. Mattie ini membuka jalan bagi Sumitro dan teman-temannya masuk ke Amerika, meski paspor Indonesia belum diakui secara de jure. Sebenarnya Mattie bukan orang yang idealis, ia bahkan amat sangat pragmatis. Ia punya kemampuan untuk menjual masa depan demi keuntungan pribadinya di masa sekarang. Ia juga punya koneksi yang luar biasa. Bila orang lain memerlukan rekening bank, Mattie hanya membutuhkan telepon.Mattie bukan konseptor, tetapi ia operator jempolan. Orang lapangan.
Mattie sudah lama mengamati bahwa Indonesia punya sumber daya alam yang kaya. Ini bahkan tidak disadari oleh orang Indonesia sendiri. Mattie kemudian membantu untuk menyelundupkan karet dan vanili agar Indonesia mendapat devisa yang cukup besar. Mattie kemudian membantu Indonesia mendapat kredit pertamanya sebesar 80.000 Dollar dengan jaminan Mattie sendiri. Mattie juga memberi dana talangan untuk pendirian agen perdagangan Indonesia yang dinamai American-Indonesian Corporation (AIC) untuk memenuhi persyaratan hukum korporasi di Amerika. Mattie benar-benar melakukan pertarungan besar, karena Indonesia belum diperhitungkan di dunia internasional. Sebagai imbalan, Indonesia mengizinkan Fox memperdagangkan tekstil dan menjadi agen Chrysler di Indonesia.
Sumitro sangat terkesan pada Mattie karena menganggapnya paham politik sekaligus paham potensi-potensi komersial dan berjasa menyarankan Sumitro dan teman-temannya untuk segera mencari pemodal besar dalam pertemuan pertama mereka. Di New York, Sumitro bersama teman-temannya hidup dengan 500 Dollar sebulan. Jumlah yang sangat minim, namun kemudian kemurahan hati Mattie memungkinkan ketiganya membangun jaringan advokasi global bagi Indonesia mulai bergerak, meski masih lemah.
Pasca Agresi Militer Pertama, ditambah perjanjian Renville yang menciutkan wilayah RI, posisi Indonesia kian melemah secara militer. Presiden Soekarno meminta pada Mattie Fox untuk mencarikan pesawat besar untuk mengangkut anggota kabinet republik bila harus ke luar negeri. Untuk membayarnya, Sumitro dan Sudarpo mengeluarkan emas batangan Belanda yang disita dan disimpan di Bank Sentral Indonesia yang waktu itu berada di Yogyakarta. Kebetulan pula kepala Bank adalah ayah Sumitro yang kebetulan juga teman dekatnya Hatta.
Pada malam sebelum Agresi Militer Kedua, Soekarno dijadwalkan akan bepergian dengan pesawat yang baru dibeli itu. Mendadak Soekarno membatalkan rencananya. Pesawat itu, dengan Sumitro dan teman-temannya ikut serta, kemudian dengan diam-diam terbang membawa kotak-kotak kecil berisi emas ke Manila. Dari sana Carlos Romulo, yang juga perwakilan Amerika di PBB, membantu rombongan Indonesia itu untuk terbang masuk ke Amerika. Tepat sehari kemudian, Belanda melakukan agresi militer. Soekarno dan pemimpin-pemimpin Indonesia ditangkap.
Beruntung emas-emas batangan tersebut sudah berhasil diterbangkan ke luar negeri. Di sana emas itu dijual dengan segala cara. Termasuk juga di pasar gelap. Beruntung Mattie Fox punya relasi yang luar biasa, mulai dari pejabat, organisasi internasional hingga mafia. Tak hanya emas, pesawat juga membawa opium dan garam. Opium ini merupakan opium mentah yang disita Jepang dari gudang-gudang pemerintah kolonial Belanda saat penjajahan Jepang dimulai. Wewenang untuk menjual semua ini diberikan langsung oleh Wakil Presiden Hatta.
Sebagian uang hasil penjualan itu kemudian digunakan untuk pembelian senjata bagi tentara Indonesia. Sisanya digunakan untuk pendanaan kantor Indonesia di New York yang akan mengangkat kasus Indonesia ke kancah dunia. Uang yang diperoleh itu sangat membantu kemenangan advokasi anti kolonial Indonesia dengan klimaksnya pengakuan kedaulatan RI. Semenjak itu segalanya menjadi lebih mudah.
Kisah republik muda bernama Indonesia kemudian mulai beredar dan berhasil “dijual” di Kongres Amerika dan PBB. Semua mendadak mengecam Belanda. Yang paling menarik, tulis Theodore Friend, Amerika marah-marah karena bantuan tahunan yang diberikan negara itu untuk Belanda, nyaris semua digunakan untuk membiayai Angkatan Bersenjata Belanda melakukan agresi di Indonesia. Dengan kata lain, bantuan Amerika dipakai Belanda untuk menyerang Indonesia. Satu tahun kemudian, Indonesia mendapatkan pengakuan kedaulatan penuh.
Kelak, Sumitro mengingat perjuangan kemerdekaan Indonesia sebagai sebuah perjuangan yang dibiayai oleh vanili dan karet, emas serta opium. Saya terharu membaca ini, sekaligus menggaris bawahi pendapat Theodore Friend tentang Mattie Fox. Seorang yang jauh dari idealis, namun demikian usaha-usaha Mattie terbukti mempercepat pengakuan internasional pada kemerdekaan Indonesia. Tindakan-tindakan heroik yang dilakukan Mattie tidak sepenuhnya karena rasa simpati pada Indonesia, melainkan murni berdagang. Mattie Fox, seperti juga banyak kelompok kepentingan asing di masa kini, tergiur dengan kekayaan alam Indonesia. Beruntungnya, pada masa itu para founding fathers melakukannya atas idealisme besar untuk kemerdekaan Indonesia. Sekarang… entah.
Sumitro kemudian menjadi Menteri Perdagangan dan Perindustrian setelah pengakuan kedaulatan Indonesia. Selama masa Perang Dunia dan kemudian disusul Perang Kemerdekaan, perekonomian Indonesia tidak bergerak. Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 1950 bahkan lebih rendah dari PDB tahun 1939 di era akhir penjajahan Belanda. Semua karena Indonesia hanya memiliki pengusaha pribumi kecil dan belum memiliki pengusaha level multi nasional.
Sumitro kemudian mendorong tumbuhnya kewirausahaan agar tercipta pengusaha Indonesia yang mampu bersaing dengan perusahaan ekspatriat yang mendominasi industri dan perdagangan. Pemberian bantuan modal kepada perusahaan dalam negeri juga diberikan. Mencoba membentuk kekuatan tandingan bagi perusahaan-perusahaan Belanda yang masih menguasai Indonesia, termasuk pembatasan pasar.
Rencana Sumitro itu ditentang oleh Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara. Bagi Sjaffruddin rencana Hatta itu terlalu nasionalis, perubahan kepemilikan dan kontrol harus dilakukan dengan lebih lambat dan alami. Ketika PBB menolak mosi Indonesia tentang masa depan Irian Barat pada November 1957, Soekarno membalas dengan mengalihkan perusahaan-perusahaan Belanda sekaligus mengusir warganya. Pengambilalihan tanpa kompensasi ini tidak hanya menyebabkan penurunan output perdagangan, tetapi juga menjauhkan Indonesia dari para investor besar selama satu dekade. Di dalam negeri sendiri terbentuk persepsi ketidakpercayaan pada kapitalisme karena mengaitkannya dengan kolonialisme.
Tindakan yang “anti bisnis” ini bukan tanpa efek buruk. Dalam tulisannya Friend mengutip ucapan Soedarpo Sastrosatomo. “Korupsi? Semuanya memburuk ketika militer mengambil alih bisnis Belanda. Mereka hanya bertanya: di mana rumah? Mobil?” demikian kata Soedarpo. Bagi Soedarpo, bila nasionalisasi itu dilakukan dengan benar, maka Indonesia tidak akan mengalami kebangkrutan berat di tahun 1964. Soedarpo mengatakan, selalu ada yang makan buahnya meski tidak menanam benih dan merawat kebun. Sekilas mungkin kita akan mengingat kasus-kasus pertambangan hari ini setelah membaca ini.
Soedarpo pun sempat diancam militer, jika mereka tidak diberi hak kendali, maka Soedarpo tidak mendapat hak untuk mengekspor serta harus meninggalkan bisnis. Soedarpo menyelamatkan diri dengan menemui Hashim Ning, teman Tionghoa Soekarno. Entah apa yang dilakukan, Soekarno sendiri yang kemudian membela Soedarpo. “Soedarpo pengusaha sejati. Kita membutuhkan dia. Anda menyakitinya, Anda keluar….”
Ketika akhirnya Orde Baru berkuasa, Sumitro dipanggil kembali dari pengasingan selama 10 tahun. Keahliannya dalam ilmu Ekonomi dibutuhkan pemerintahan baru Soeharto. Sumitro kemudian menyusun Undang Undang Investasi Asing tahun 1967 bersama-sama dengan para ekonom lulusan Barat yang juga dipanggil pulang Soeharto. Mereka kemudian kerap dijuluki Mafia Berkeley. Para teknokrat ini menekan inflasi hingga turun hingga satu digit pada tahun 1969. Seiring dengan itu, hibah dan pinjaman luar negeri mencapai sepertiga penghasilan negara. Di era inilah investasi asing secara besar-besaran masuk. Dengan segala eksesnya. Di era ini pula hutang luar negeri menjadi kebijakan negara.
Demikian kisah Theodore Friend. Kualifikasi keilmuannya, tentu tidak membuatnya serampangan menulis dan beropini. Layak menjadi pertimbangan kita…