Tentang Masyarakat Samin

Salah satu bahasan yang saya suka dari buku Ratu Adil karya Romo Sindhunata adalah tentang Gerakan Samin. Gerakan unik yang dipelopori Surontiko Samin ini unik. Gerakan non violence, damai tanpa kekerasan tapi karena memutar balik logika dan aturan yang ada, cukup membuat pemerintah Hindia Belanda kerepotan juga. Romo Sindhu menyamakan Gerakan Samin ini dengan nihilisme. Anarki yang dilakukannya anti sosial. Tanpa kekerasan namun sukses membuat aturan negara, sipil, dan kepemilikan tidak berfungsi.

Samin sebagai pelopor ajaran ini sering diidentikkan dengan Werkudara, tokoh Pandawa yang tentu saja berbudi namun kasar, tidak peduli tata krama dan tidak bisa berbahasa halus. Seorang yang jujur, tulus, benar dan setia. Samin juga berwatak murah hati, jujur, sabar dan suka menolong. Cuma itu tadi, logikanya terbalik-balik.

Suatu ketika, seekor lembu diumbar di ladangnya dan memakan habis semua panen kacang Samin. Samin melaporkan kejadian yang merugikannya itu pada polisi setempat. Akhirnya diputuskan pemilik lembu harus membayar uang ganti rugi pada Samin. Samin justru menolak meneruma uang itu. Alasannya sederhana, yang salah adalah lembu dan bukan si pemilik lembu. Menurut Samin, justru si Lembu harus dihukum dengan dicambuk beberapa sabetan.

Sepolos dan seunik itu Samin. Kelak Ilmu Samin atau Ajaran Surontiko Samin mengajarkan tentang ketahanan untuk menanggung beban, ketulusan dan kemurahan hati. Samin menuturkan dalam perintah-perintah:
“Jangan mengambil bagi dirimu barang yang kamu temukan! Jangan berdusta! Jangan mencuri! Jangan mengambil yang bukan hakmu! Jangan menerima uang atau makanan!”

Dalam praktiknya, Samin segera saja menularkan sikap yang terasa aneh dan tidak serupa aturan dan nilai yang berlaku. Saat ditanya akan pergi kemana misalnya. Seorang Saminis (pengikut Samin) akan menjawab santai, “Ke depan.”

Ke ‘depan’ di sini tidak menunjuk suatu tempat yang posisinya berada di depan tempat Saminis itu berada. Mereka mengatakannya hanya karena manusia sewajarnya berjalan maju ke depan, dan bukan berjalan mundur ke belakang. Karenanya semua tujuan orang berjalan akan berada di ‘depan’.

Logika Samin dan para Saminis yang lain daripada yang lain itu akhirnya dianggap menimbulkan problem bagi pemerintah. Samin dianggap tidak peduli adat istiadat dan tradisi setempat. Akhirnya Kontrolir Blora menangkap Samin dan para Saminis dengan mudah, karena memang para Saminis tidak akan melawan.

Para pengikut Samin lainnya tentu saja tergoncang. Lebih parahnya lagi, masa itu pemerintah menaikkan pajak secara ugal-ugalan. Berawal dari Politik Etik yang mulai dilaksanakan dengan giat. Tujuan pemerintah kolonial saat itu cukup indah, yang diaplikasikan dalam program-program yang dianggap mensejahterakan rakyatnya: pemeliharaan sapi ras baru menggantikan ternak lama yang dianggap kurang produktif, pembaruan irigasi, pengisian kas desa, dan lainnya. Program yang indah ini sayangnya menimbulkan masalah baru bagi masyarakat. Bertambahnya pajak dan sumbangan-sumbangan yang menjadi kewajiban masyarakat. Dan parahnya lagi, pungutan-pungutan itu dilakukan sebelum panen, sehingga membuat masyarakat terjerat rentenir dan lintah darat.

Menghadapi masalah ini, para Saminis kemudian bersikap untuk memboikot pajak dan sumbangan-sumbangan. Tentu saja perlawanan itu dilakukan dengan damai. Mereka menganggap para penarik pajak itu jahat dan leluhur mereka tidak berurusan dengan hal itu. Esensi pajak asing bagi mereka. Saat ditagih pajak, mereka akan berkata dengan polos, “Apa itu pajak?”

Para Saminis sudah berhitung, mereka akan ditempeleng oleh para petugas, tapi mereka pasrah dan menerimanya dengan ikhlas. Ketika rumah dan harta benda mereka disita karena tunggakan pajak, para Saminis menerima dan tidak protes. Kemudian dilakukan lelang atas harta mereka itu untuk melunasi tunggakan pajak. Sisanya akan diberikan pada Saminis..

Di sinilah terjadi keanehan yang fenomenal. Para Saminis akan menolak mnerima uang sisa lelang tersebut sambil berkata, ”Mboten rumaos sade barang.” (tidak merasa menjual barang). Sikap ini membuat bingung para petugas di lapangan dan akhirnya membuat pemerintah kolonial pusing.

Tidak cukup di situ keajaiban Saminis. Ketika pemerintah mewajibkan semua warganya setor watu (batu) untuk memperbaiki jalan, tentu saja Saminis akan taat. Hanya saja yang disetorkan mereka bukan watu, melainkan sejumlah kecil kerikil. Dalihnya tentu karena kerikil juga watu.

Kali lain Saminis diminta dan diperintah mengawasi sebagian jalan desa. Dengan entengnya Saminis memagari sebagian jalan itu dengan pagar bambu sehingga orang tidak bisa lewat. Alasannya, pagar membuat jalan tersebut tidak bisa diambil. Para Saminis memang ahli menyalahpahami peraturan atau perintah, karena memang itulah cara mereka protes tanpa kekerasan.

Membaca semua itu, saya mulai paham mengapa kisah-kisah Samin cukup fenomenal di kalangan masyarakat Jawa. Lepas dari itu semua, Saminisme masa itu dihargai meski ditertawakan, karena terbukti para penganutnya tahan susah, tahan lapar, dan sangat tidak bisa diiming-imingi materi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *