Sebuah aksi massa berlangsung di Patung Kuda, Jakarta Pusat. Massa aksi mengatas namakan Front Persaudaraan Islam (FPI) Reborn menggelar aksi long march di Jalan Medan Merdeka Selatan menuju Patung Kuda di Jakarta Pusat, tepat di hari Senin, 6 Juni 2022. Puluhan massa, termasuk serombongan ibu-ibu, memakai baju serba putih dengan ikatan tali hijau di lengan masing-masing.
Parahnya, peserta aksi tersebut juga mengibarkan bendera Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia meski kedua organisasi itu sudah dibubarkan pemerintah dan terlarang di Indonesia. Mereka juga mengarak poster Rizieq Shihab, pentolan FPI yang kini mendekam di tahanan Mabes Polri. Aksi ini dilakukan untuk mendeklarasikan dukungan kepada Gubernur DKI, Anies Baswedan menjadi presiden 2024.
Di tengah ramainya pemberitaan tentang aksi tersebut, muncul juga video rekaman KH Khoerul Anam, ulama asal Ciawi, Bogor yang mengaku sebagai koordinator massa. KH Khoerul meminta maaf atas ulahnya mengajak para jamaah mengatasnamakan FPI. Ia mengaku, aksi itu diperintah seseorang Bernama Edy, tanpa memerinci siapa sosok tersebut.
Edy meneleponnya pada pada malam sebelum demo, memintanya membaca doa di Monas. Ketika sampai di lokasi demo, ia pun kaget lantaran ada mobil komando yang membagi-bagikan bendera FPI. Sementara, ia menyaksikan sendiri tidak melihat satu pun pengurus atau tokoh besar FPI yang berada di area demo.
“Saya merasa tertipu dan dibohongi dan diperalat oleh orang tersebut.” kata KH Khoerul dalam video permintaan maaf kepada FPI melalui unggahan di akun Twitter @DPP_LIP dan channel Youtube Islamic Brotherhood Television pada 7 Juni 2022. Bukan cuma mengaku ditipu, ia juga menyebut jemaahnya yang menjadi massa demo mendapat bayaran sebesar 150 ribu rupiah per orang. Belum ada keterangan lebih lanjut mengenai siapa sosok “Edy” yang disebut-sebut itu.
Muhammad Alattas selaku Ketua Umum DPP FPI kemudian menegaskan bahwa massa berpakaian serba putih yang mengatasnamakan diri sebagai FPI Reborn adalah aksi fiktif dan palsu. “DPP Front Persaudaraan Islam sejak berdiri hingga saat ini tidak pernah terlibat dalam Aksi Dukung Mendukung Capres 2024 mana pun, dan DPP FPI pun hingga saat ini belum menentukan sikap apa pun terkait Capres 2024,” tegas Alattas lewat keterangan tertulis..
Ucapan Alattas ini sedikit banyak melegakan, karena sudah lama masyarakat Indonesia gerah dengan aksi massa yang penuh ujaran kebencian, kata-kata intimidatif dan sering berujung dengan kerusuhan sebagaimana yang kerap dilakukan FPI selama ini. Pembubaran FPI dan pelarangan HTI disambut dengan kelegaan hati bagi banyak warga masyarakat yang memang sudah jengah dengan politisasi agama. Lebih jauh lagi, masyarakat mulai jengah dengan polarisasi di masyarakat, yang membuat masyarakat kita seolah-olah terbelah, tak pernah bisa bersatu. Ribut melulu.
Sejak awal menjabat Presiden, apalagi menjelang Pemilu 2024 yang meningkatkan suhu politik Indonesia, Presiden Jokowi telah banyak melakukan kegiatan untuk mencairkan polarisasi di masyarakat. Yang terakhir, Jokowi bersama-sama Ketua DPR, Puan Maharani dan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, hadir dalam perhelatan Balap Formula E di Sirkuit Ancol. Ketiganya terlihat akrab.
Seperti biasa, segala yang baik belum tentu langsung disambut baik oleh sebagian masyarakat. Tetapi depolarisasi yang diupayakan Jokowi ini belakangan marak dilakukan oleh tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Ini seperti memberi harapan baru bagi kita.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada acara Puncak Milad PKS ke-20 yang digelar di Istora Senayan Jakarta, 29 Mei 2022 bahkan dengan tegas mengungkapkan ingin mengakhiri polarisasi ditengah masyarakat yang masih berlangsung. Hal itu disampaikan langsung oleh Sekretaris Jenderal PKS Habib Aboe Bakar Al Habsyi. Bahkan tema Milad PKS tahun ini adalah Kolaborasi Melayani Indonesia.
“Kami ingin menegaskan bahwa PKS mengusung politik kolaborasi, yakni politik yang mengedepankan titik temu untuk saling kerja sama, menjaga keutuhan bangsa dan negara di atas kepentingan kekuasaan semata,” ucap Aboe. PKS pun siap mensukseskan perhelatan pemilu 2024 mendatang. Juru bicara PKS Gamal Albinsaid pun menambahkan, polarisasi dan saling curiga sesama anak bangsa harus segera diakhiri.
Apa yang diungkapkan petinggi PKS dalam acara tersebut layak kita aminkan, meski selama ini PKS adalah salah satu yang dianggap paling getol memainkan politik identitas. Perubahan yang mereka lakukan ini perlu diapresiasi. Lalu bagaimana bila PKS ingkar dengan apa yang mereka katakan dalam Milad itu? Sederhana saja, Bung. Tunjukkan saja semua jejak digital mereka, bila masih lalai, biar masyarakat yang menghukumnya dalam Pemilu mendatang. Partai yang berbohong tentu tak akan dipilih rakyat.
Bukan Hanya PKS, Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto dalam acara Silaturahmi Nasional (Silatnas) Koalisi Indonesia Bersatu 4 Juni 2022 mengajak menyudahi politik identitas yang menimbulkan polarisasi yang tajam, yang dapat mengoyak persatuan. Airlangga menyatakan, KIB bakal menciptakan atmosfer politik persatuan dalam kebersamaan untuk menghadapi kontestasi politik tahun 2024.
” Kondisi ini merefleksikan implementasi dari Pancasila untuk tidak memecah belah masyarakat demi kepentingan politik sesaat,” katanya.
KIB, koalisi yang dimotori Golkar, PPP dan PAN ini sudah menargetkan memunculkan sekurang-kurangnya tiga pasangan calon (paslon) pada Pilpres 2024. Alasan mendorong dihadirkannya tiga paslon adalah untuk memecah polarisasi politik. Pada Pilpres di tahun 2014 dan 2019, hanya ada dua paslon, dan akibatnya polarisasi menguat. KIB juga menegaskan KIB tidak ingin terjerat populisme di Pemilu 2024.
Politik populisme diyakini sebagai salah satu pemicu kuat polarisasi di masyarakat kita. Namun demikian, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno waspada bahwa sejumlah orang sengaja menggunakan populisme untuk menaikkan elektabilitas. Populisme bisa mengatasnamakan agama, identitas kesukuan, primordial, dan isu kebangsaan.
Di tahun 2019, Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet) pernah menyerukan pada semua komunitas agar mengakhiri polarisasi ini. Polarisasi akan berdampak pada ketahanan nasional. Berbagai pendekatan terus diupayakan untuk mengakhir polarisasi. Namun, tanpa kesadaran, kemauan, dan peran serta masyarakat, semua upaya pendekatan itu akan sia-sia.
Patut diingat, kata Bamsoet, bagi para politisi tidak ada rivalitas abadi, tidak ada musuh abadi, dan tidak ada teman atau anggota koalisi yang abadi. Satu-satunya yang abadi dalam politik adalah kepentingan. Kalau sudah bicara kepentingan, selalu muncul pertanyaan siapa mendapat apa dan siapa yang harus lebih didahulukan.
Sialnya, masyarakat menganggap serius semua hal yang dikatakan para politisi. Menjadi emosional untuk membela mati-matian. Setiap kubu percaya bahwa mereka memiliki dasar valid untuk mengekspresikan pandangan hidupnya. Polarisasi kemudian menjadi bahan bakar yang kerap digunakan provokator untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang bukan untuk kemaslahatan bersama. Tak banyak masyarakat sadar bahwa para politisi yang terlihat saling ribut dan berdebat itu terkadang saling berteman akrab. Seperti yang ditunjukkan Fadli Zon dan Budiman Sudjatmiko. Kedua meski kerap berdebat di media, sering didapati mengobrol akrab di café.
Salah satu yang paling memprihatinlan dari polarisasi ini adalah labeling bagi lawan politik yang sangat intens terjadi. Labeling sendiri adalah pemberian label atau cap kepada orang lain. Pemberian label itu kerap berkonotasi negatif dengan memberi predikat buruk kepada orang lain. Labeling yang cukup mengkhawatirkan adalah soal sebutan cebong dan kampret. Bahkan, labelling tersebut bergeser menjadi cebong dan kadrun. Labeling mengubah ‘Kita’ dan ‘Kami’ menjadi ‘Kita’ versus ‘Mereka yang dianggap tidak sejalan’.
Polarisasi ekstrim pernah terjadi di Rwanda dan berujung pada genosida suku Hutu dan Tutsi. Peristiwa bernuansa konflik etnis itu menewaskan 800 ribu jiwa tersebut, juga sarat akan bumbu labeling kepada pihak musuh.
Mungkin kita dapat belajar dari Kota Ambon di Maluku mengenai upaya-upaya depolarisasi. Perbedaan agama telah memantik pertikaian antara komunitas Islam dan Kristen dari tahun 1999 hingga 2004 dan kemudian mencuat kembali pada 2011 hingga 2012. Namun kini Ambon telah menjadi kota yang kondusif, damai bahkan menorehkan sejumlah prestasi.
Pada 2019, kota Ambon ditetapkan sebagai salah satu Kota Kreatif Dunia oleh UNESCO. Ambon masuk dalam kategori Kota Kreatif Musik (Creative City of Music), dan merupakan Kota Musik UNESCO pertama di kawasan Asia Tenggara. Awalnya untuk memperbaiki citra kota Ambon, musik menjadi titik berangkat. Salah satu alat untuk mempromosikan perdamaian saat kekerasan berlangsung pada akhir 90-an dan awal 2000-an.Secara umum ada tiga cara yang dilakukan Kota Ambon yang dapat kita replikasi dalam rangka depolarisasi masyarakat di Indonesia. Pertama adalah dekonstruksi masa lalu. Mencari akar polarisasi berasal. Di Ambon, dan juga Indonesia, warisan kolonialisme seperti segregasi kelas, agama, dan etnis perlu dipugar, dan dibangun ulang.
Penting untuk tidak menggunakan amarah dan prasangka sebagai landasan untuk melihat kelompok lain. Narasi-narasi SARA yang mengukuhkan polarisasi dengan kesadaran penuh dibuang dari ruang publik, dengan sanksi keras bagi mereka yang melakukannya. Media, misalnya, sebaiknya lebih memfokuskan pada praktik-praktik yang membawa masyarakat untuk bersatu alih-alih terbawa dalam agenda politik tertentu. Politisi yang masih nekad memainkan jurus polarisasi, termasuk yang gemar playing victim, jangan beri kesempatan mereka berkiprah.
Kiat kedua adalah fokus pada tujuan masa depan bersama. Pendapat, pandangan hidup, nilai dan ideologi bisa jadi berbeda, tetapi, tujuan kolektif masa depan kita sama: Indonesia yang damai dan sejahtera. Perbedaan bisa dinegosiasikan agar rasa kebersamaan meningkat.
Yang ketiga dengan berbagi informasi di ruang publik dengan kelompok yang berbeda dapat menumbuhkan rasa kebersamaan. Warung kopi di Ambon, misalnya, menjadi salah satu ruang untuk membaur dengan kelompok berbeda. Melalui interaksi di warung kopi, potensi kolaborasi muncul di antara kelompok dari beragam minat dan latar belakang. Belajar memahami bukan hanya dari kacamata kita, tapi dari kacamata “mereka”.
Untungnya, di negeri ini, kita memiliki ajaran Pancasila, budi pekerti dan kearifan lokal dari tiap-tiap daerah Nusantara yang amat kaya. Seharusnya ini mempermudah kita membangun narasi positif yang terbebas dari politik identitas, labelling, dan berujung memperbesar polarisasi.
Katakan tidak pada para tokoh yang masih memanfaatkan polarisasi demi elektabilitas. Secerdas apapun dia, seganteng apapun dia…..!!!
Iwan Raharjo